Kawas Rolant Tarigan

-now or never-


Doa terakhir
(Yohanes 17:6-23)


Aku berdoa untuk mereka… (Yoh 17:9)

Sebuah anekdot ringan yang mungkin sudah sering kita dengar, mengkhayalkan percakapan iblis dengan Tuhan Yesus, sesudah Dia tidak lagi di dunia ini. Iblis bertanya, “Apa cara yang Kau lakukan agar seluruh dunia percaya kepada-Mu?”. Yesus menjawab, “Aku pakai murid-murid-Ku, mereka yang akan memberitakannya”. “Bagaimana kalau mereka gagal? Apa plan B-nya?”, iblis balik bertanya. Dan Yesus langsung menjawab, “Tidak ada plan B!”.

Fiksi singkat ini memberi tahu kita bahwa cara Allah untuk menyebarkan kasih-Nya dan membuat dunia percaya kepada-Nya adalah melalui murid-murid-Nya. Bukan hal yang sulit bagi Allah untuk melakukan hal-hal yang spektakuler dan mengagumkan (entah melalui alam ciptaan-Nya, atau hal-hal ajaib) untuk menunjukkan ke-maha-kuasa-an-Nya dan keadilannya, sehingga semua orang di dunia ini –mau tidak mau –harus sujud menyembah Dia. Tapi Yesus tidak pakai cara itu, Dia punya cara sendiri: murid-murid!
Bacaan pagi terakhir ini berisi doa syafaat Tuhan Yesus untuk 12 murid-Nya (ay.6-19) dan semua orang yang percaya kepada-Nya(20-26). Yohanes mencatat bagian ini sebagai doa terakhir Sang Guru sebelum terpisah dari murid-Nya, tepat sebelum penggenapan karya salib Kristus.
Doa terakhir... Isinya pasti sangat penting. Dan yang Yesus lakukan ialah mendoakan murid-murid-Nya, agar Bapa memelihara mereka (11), menguduskan mereka (17). Dia ingin agar mereka dilindungi dari yang jahat, disempurnakan dalam kekudusan, dan supaya mereka menjadi satu. William Barclay menulis, “Kekristenan tidak pernah bermaksud menarik manusia dari kehidupannya, namun bertujuan untuk memperlengkapinya dengan lebih baik dalam kehidupannya. Kekristenan tidak membuat kita terlepas dari masalah, tetapi menawarkan suatu jalan keluar untuk menyelesaikan masalah. Kekristenan tidak menawarkan kedamaian dengan mudah, tetapi menawarkan suatu kemenangan atas pergumulan hidup. Kekristenan tidak menawarkan suatu kehidupan yang terbebas dari masalah, tetapi menawarkan suatu kehidupan, di mana masalah harus dihadapi dan diselesaikan... Orang Kristen tidak boleh berkeinginan untuk meninggalkan dunia, tetapi harus selalu berkeinginan untuk mengalahkan dunia... Orang Kristen harus dikuduskan dari dunia, tapi tidak berarti bahwa ia harus hidup sendirian. Orang Kristen membutuhkan saudara seiman lainnya. Kesatuan orang Kristen memberikan kekuatan bagi orang percaya dan menjadi saksi bagi yang belum percaya –dua pertolongan penting bagi para pengikut Yesus dalam menghadapi masa-masa sulit”.
Di pagi terakhir ini, berdoa jugalah. Ambil waktu untuk mengingat semua yang didapatkan selama retreat, mengapa retreat ini ada dan diikuti berbagai mahasiswa, berbagai kampus. Ingatlah jemaat yang Tuhan percayakan, murid-murid yang dihasilkan. Doakan agar Tuhan memelihara, menguduskan, dan kita dimampukan berjuang menjaga kesatuan, seperti kerinduan-Nya. Sepulang dari sini, kita tidak tahu tantangan pelayanan ke depan. Tapi, 2000 tahun yang lalu, Yesus telah berdoa syafaat untuk umat-Nya, termasuk dirimu, termasuk kampusmu. Kerjakanlah bagianmu...
Doakan kerjamu, kerjakan doamu.


(bahan saat teduh Retreat Antar Kampus Medis Jakarta, 19-21 Nop 2010)

Read More..


Mau pergi?
(Yohanes 6:60-71)

Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?" (Yoh 6:67).

Saya terlarut dalam narasi ini. Seakan-akan saya masuk dalam cerita itu, berada di sana, menyelip di antara gerombolan murid. Saya takjub melihat Yesus. Saya hadir ketika Dia melakukan mujizat, ketika Dia menyembuhkan, apalagi ketika Dia memberi makan 5000 laki-laki (belum termasuk perempuan dan anak-anak), saya kekenyangan. Saya juga ikut menyeberang menemui-Nya, dan kagum mendengar khotbah-Nya. Saya turut terkejut ketika Dia mengatakan "Akulah roti hidup… sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu….” (ay.48-58). Saya mengerutkan dahi, mencoba mengerti dan menerima pernyataan Guru yang saya kagumi itu. Tapi selagi berpikir, eh, gerombolan murid yang jumlahnya banyak tadi mulai membubarkan diri. Saya heran, lho bukannya mereka itu yang ikut menyeberang mencari Yesus? Bukannya mereka tadi juga ikut melihat langsung mujizat Yesus dan makan roti, ikan? Mengapa mereka kini pergi? Saya ragu bila mereka tidak mengerti apa yang Yesus katakan, justru saya yakin mereka mengerti, sehingga mereka bersungut: "Pengajaran ini terlalu berat. Siapa yang dapat menerimanya!" (ay.60 BIS). Oh, jadi itu masalahnya, bukan tidak mengerti, tapi tidak mau menerima, dan akhirnya memilih pergi. Kekerasan itu sebenarnya ada di dalam hati mereka, bukan pada perkataan Yesus.

Saya kaget juga ketika Yesus bertanya, "Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?”. Ternyata Yesus tahu keberatan mereka, dan Dia mengatakan hanya oleh Roh kita bisa mengerti apa yang dikatakan-Nya, dan hanya atas karunia Bapa kita bisa percaya lalu mengikut-Nya.
Rombongan yang tadinya puluhan ribu orang, hanya tinggal sedikit sekali, tinggal belasan (itupun ada yang tidak setia). Walau belum mengerti sepenuhnya, saya memilih untuk tinggal di situ, berdiri di samping Petrus. Tiba-tiba Yesus menatap kami dalam-dalam… bukan tatapan mengusir, justru sangat menguatkan. "Apakah kamu tidak mau pergi juga?”, kata-Nya. Saya diam, tapi saya tahu Yesus mengharapkan jawaban “tidak” dari pertanyaan-Nya. Ah… untunglah Petrus menjawab mewakili kami, "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah."
Saya masih saja terkagum. Yang dicari Yesus bukan popularitas, ketika banyak orang yang mengikut-Nya, Dia tidak melunakkan pengajaran-Nya. Yang diprioritaskan-Nya bukan kuantitas, tapi kualitas. Karena yang dicari-Nya bukan sekedar pengikut (TEV: follower), tapi murid (disciple) yang siap dengan segala konsekuensi mengikut-Nya. Itulah yang Dia ingin kita kerjakan: menghasilkan murid. Berapa banyak orang di kampus yang ramai-ramai ikut retreat, kebaktian, kelompok kecil atau persekutuan doa? Tapi berapa banyak murid yang dihasilkan? Kalau tidak ada, sebenarnya kita tidak sedang mengerjakan apa-apa.
Jadilah murid, dan hasilkanlah. Bayangkan saat ini dirimu juga ada di barisan itu, dan Yesus sedang menatap penuh makna ke arahmu, bertanya pertanyaan yang sama: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?". Jawablah di retreat ini.


(bahan saat teduh Retreat Antar Kampus Medis Jakarta, 19-21 Nop 2010)

Read More..

Selamat buat alumni yang akan bekerja. Selamat berkarya bersama Allah, bagi masyarakat, bagi gereja, keluarga, dan bangsa.
Aku heran, setiap kali mendengar/ melihat orang yang luar biasa senang ketika dia ditempatkan di kota besar, di tempat yang tidak jauh (bukan di luar jawa sumatera misalnya), mungkin memang dia punya pergumulan sendiri, masalah keluarga, kesehatan, dan aku sangat menghargai itu. Tapi, yang aku sangat heran, kalau alasan rasa syukurnya itu, hanya karena apa yang dipikirkannya selama ini terkabul semua/ sebagian. Ini juga berlaku terbalik, aku tak habis pikir melihat orang yang begitu sedihnya ketika "apa yang ada di kepalanya" tidak terkabul. Jangan2 dia lupa, Allah punya rencana besar yang seringkali tidak bisa langsung kita mengerti, dan sering tidak sesuai rencana kita. Lagian kalau mau jujur, seringkali semua subjek atas rencana kita, cuma aku, aku dan aku... Puji Tuhan, aku ditempatkan di sini, supaya aku... nanti aku... trus aku bisa... mudah2an aku... syukurlah aku... coba kalau aku di situ, aku bisa... aku pasti... aku mau... Kapan giliran Allah? Kapan mereka/ orang lain merasakan kehadiran kita? Tidakkah Allah memakai orang yang dikasihi-Nya untuk menunjukkan kasih-Nya kepada orang lain lagi? Apakah Indonesia sesempit Jawa Sumatera? Tidakkah Allah sayang umat-Nya dari barat sampai timur?

Allah tidak pernah membiarkan seseorang pergi ke tempat di mana kasih karunia-Nya tidak cukup untuk menyertai. Allah tidak pernah membuat kesalahan! Ragukah engkau akan hal
itu???
Bagian kita hanya taat dan setia, ke manapun DIA suruh. Mungkin padang rumput, mungkin air tenang, bahkan lembah kekelaman, tapi itu bukan soal, ketika TUHAN yang jadi Gembala. Masalahnya bukan apa yang kita lewati, tapi bersama SIAPA kita berjalan. Kita tidak tahu apa yang terjadi di depan, entah enak atau tidak, tapi satu hal yang pasti kita tahu, TUHAN ada di sana, dan itu sudah CUKUP!
Ada 2 lagu yang sampai sekarang sanggup menenangkan hatiku: (semoga juga hatimu)

Shepherd of my soul I give you full control,
Wherever You may lead I will follow.
I have made the choice to listen for Your voice,
Wherever You may lead I will go.

Be it in a quiet pasture or by a gentle stream,
The Shepherd of my soul is by my side.
Should I face a mighty mountain or a valley dark and deep,

The Shepherd of my soul will be my guide.

Shepherd of my soul Oh You have made me whole,
Where’er I hear You call how my tears flow.
How I feel your love how I want to serve
I gladly give my heart to You O Lord.

Be it in the flowing river or in the quiet night,
The Shepherd of my soul is by my side.
Should I face the stormy weather or the dangers of this world.
The Shepherd of my soul will be my guide.

Lagu yang satu lagi:

I will follow wherever He leads
ev’ ry problem my sa viour He knows
Though the path may be long with His help I’ll be strong
I will go just wherever he goes

Reff:
He may lead me to countries Where troubles surround
Eventhere He’ll be with me I know
I promise I’ll follow
Where ver Christ leads me, and so
I will go just wherever He goes

When the sun starts to set in the sky
I shall know that I’m nearer my home
But until that great day I shall still trust and pray
I will go just wherever He goes
Reff:

Kalau hidup adalah perjalanan, ku ucapkan selamat berjalan. Have a great journey with God.

Read More..


Alumni: perwujudan visi

I was not disobedient to the vision from heaven... (Paulus – Kis26:19)


Ketika dihubungi untuk sharing tentang visi PMK di buletin ini, saya merasa tidak layak, apalagi sharing sebagai alumni. Sharing tentang visi - sebagai alumni - apa yang dinikmati - apa dampaknya. Ah... Saya ini masih sangat muda. Rasanya untuk tema sepenting dan sangat esensi ini, ada orang yang lebih baik, lebih senior, lebih berpengalaman, dan lebih tangguh. Itu yang pertama. Yang kedua, apalah yang telah dihasilkan PMK STAN, persekutuan yang pernah saya pimpin bersama tim inti yang lain. Kampus diploma, kedinasan, gratis, yang sudah berdiri lebih dari 3 dekade, setiap tahunnya meluluskan alumni yang langsung bekerja di Kementerian Keuangan, yang katanya “banyak uang”, namun terlanjur di-cap miring oleh masyarakat awam, terlebih lagi dengan seringnya media memberitakan kasus korupsi dan penyelewengan di Direktorat Jenderal Pajak, Bea Cukai, sampai-sampai sempat muncul slogan masyarakat “kampus penghasil koruptor”, atau yang lebih rohani: dari jaman Alkitab, orang pajak dan pemungut cukai-lah orang paling berdosa. Miris. Bagaimana mengobarkan visi menghasilkan alumni yang menjadi garam dan terang di kondisi yang demikian?
Dua alasan ini membuat saya tertunduk, tapi sekaligus menganggukkan kepala pertanda setuju untuk menulis sharing ini dengan apa yang saya punya, dengan apa yang telah saya saksikan, dengan apa yang telah Allah kerjakan dalam diri saya dan PMK STAN.

Sudah 6 tahun belakangan ini, dari ribuan mahasiswa yang masuk STAN, rata-rata 10%-nya (200 ratusan lebih) mahasiswa Kristen menambah jumlah anggota PMK STAN setiap tahun. Kebanyakan dari daerah (luar Jakarta) dan banyak dari golongan ekonomi menengah ke bawah, yang rela meninggalkan kesempatan kuliah di PTN lain, demi kuliah gratis dan langsung kerja. Dari latar belakang ini, ada dua kondisi (baca: kenyataan) yang mungkin terjadi setelah alumni: sangat bersyukur atas anugerah Allah, punya pola hidup menderma dan sederhana sekalipun penghasilan yang lumayan, atau yang kedua: lupa daratan! Tentu opsi pertama yang selalu saya doakan dan harapkan. Dan mimpi itulah yang kami kerjakan di PMK: nantinya mahasiswa ini menjadi alumni yang makin cinta Tuhan dan benci dosa, berintegritas, mampu mengintegrasikan iman dan ilmunya, sebagai Penjaga Keuangan Negara (slogan Kementerian Keuangan: Nagara Dana Rakca). Mereka bukan sekedar alumni, tetapi alumni KRISTEN, yang harusnya berdampak, menunjukkan rasanya sebagai garam dan cahayanya sebagai terang. Bekerja jujur, rajin, bukan hanya sekedar kode etik, tapi sebagai perwujudan takut akan Allah. Visi yang sederhana: menghasilkan alumni yang dewasa dan berdampak. Entah apapun kalimatnya: menghasilkan murid Kristus, garam terang, mimpinya tetaplah sama. Visi itulah yang terus ditularkan dari satu orang ke orang lainnya, yang dikerjakan dalam bentuk misi dan program dengan waktu yang singkat selagi berada di kampus. Untuk apa ada Penginjilan, Pemuridan, Pelipatgandaan, Pengutusan? Dalam rangka mewujudkan visi itu. Untuk apa tiap Jumat sore ada persekutuan? Untuk menghasilkan alumni yang berakar dalam Kristus. Untuk apa ada kelompok kecil? Untuk menghasilkan alumni yang dewasa. Untuk apa persekutuan doa dan pembinaan lain, dan program-program lain? Untuk menghasilkan alumni yang siap menyaksikan Kristus dalam hidupnya. Dalam setiap kegiatan, pengurus harus menyadari sasarannya apa. Saya selalu menanyakan: ini untuk apa? Ngapain mengadakan itu? Mereka harus tangkap visinya. Jadikan visi ini sebagai visi pribadi, tularkan ke pengurus yang lain, tularkan ke jemaat, tularkan ke semua orang menjadi visi bersama, visi ilahi. Ini memang mimpi besar, tapi tidak ada hal besar yang terjadi tanpa diawali oleh mimpi/ visi yang besar. Dalam suatu KTB, saya pernah berkata: “siapa bilang PMK STAN tidak bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik? Tunggu waktu-Nya Allah!! Kita tetap kerjakan visi ini”. Think globally act locally. “Mimpi bagi bangsa ini dimulai dari membina mahasiswa STAN”, itu saya katakan dalam beberapa kesempatan. PMK STAN ada di dalam visi besar Allah, untuk memperbaiki bangsa ini. Beberapa kali sharing dengan orang-orang kunci, bahkan dengan beberapa generasi di bawah, saya sering katakan: tiap melihat wajah-wajah jemaat, milikilah visi ilahi, penglihatan ilahi, cara Allah berbelas kasihan, mereka ini mahasiswa-mahasiswa yang bisa dipakai Allah menjadi pemimpin seturut kehendak-Nya. Memang mereka mahasiswa, tapi nantinya mereka jadi pemimpin. Bukankah itu visi besar? Student today, leader tomorrow.
Saya teringat ketika menjadi Ketua Umum, setiap ikut pembinaan, retreat, kamp, selalu VISI digaungkan, dan harus meresap dalam diri setiap pelayan. Bahaya terbesar dalam pelayanan mahasiswa adalah hilangnya atau semakin kaburnya visi. Kegiatan tetap ada, dana tetap tersedia, orang-orang masih ada, tapi tidak ada lagi “nyawa” dalam setiap hal yang dilakukan, hanya sebatas organisasi dengan banyak program. Tanpa visi, PMK hanya sebagai kumpulan pengurus yang sibuk melakukan ini itu tanpa tahu “mimpi besar” dari hal yang dikerjakannya. Gerakan-gerakan (movement) tetap dilakukan: doa, belajar Alkitab, penginjilan sampai misi; tapi tanpa visi, movement itu hanya menjadi monument yang menjulang tinggi tanpa dampak. Dan kenyataan sekarang: movement-movement yang selama ini kita cap sebagai keunikan PMK, sekarang tidak unik lagi. Prayer movement, bible movement, evangelism movement, discipleship movement, mission movement, tidak eksklusif menjadi ciri pelayanan PMK, sudah banyak gereja yang mengerjakan movement itu. Mungkin yang tertinggal hanyalah interdenomination movement dan student movement, itupun sepertinya tidak lagi, sudah banyak organisasi pelayanan dan parachurch yang juga memperjuangkan kedua hal itu. Jadi, keunikan PMK sudah tidak unik lagi. Tapi, pelayanan mahasiswa haruslah tetap unik. Dan apa yang bisa menjaganya tetap unik? Cuma satu: VISI. Hanya pelayanan mahasiswa yang mempunyai visi menghasilkan alumni yang menggarami dan menerangi dunia ini dengan iman dan ilmunya. Darimana kita jelas melihat keunikan PMK itu? Dari outputnya: alumni. Kapan PMK dikatakan mempunyai discipleship movement? Ketika ada alumni-alumni yang masih rindu memuridkan di tengah kesibukannya sebagai alumni, ketika ada alumni yang berjuang keras membentuk komunitas-komunitas di kantornya, di gerejanya, atau lingkungannya. Kapan PMK dikatakan unik dalam hal prayer movement, bible movement dan yang lainnya? Ketika ada alumni-alumni yang tetap menjadi pendoa yang setia, mencintai firman Tuhan, atau sederhananya: memperjuangkan relasi pribadi dengan Tuhan dalam saat teduh, doa, bible study, pelayanan, sesibuk apapun, sejauh manapun Tuhan tempatkan dia di bagian Indonesia ini. Itulah kekuatan VISI, itulah kehebatan VISI. Visi-lah yang menggerakkan pengurus-pengurus terus berjuang membina mahasiswa untuk mimpi besar: menghasilkan alumni yang berdampak bagi dunia ini. Visi-lah yang membuat seorang alumni tetap mau ikut Yesus sekalipun susah bahkan menderita. Dan itu bukan isapan jempol belaka. Itu sangat mungkin terjadi. Ketika ada orang-orang yang berjuang dan tetap TAAT demi visi ilahi itu. Alkitab sudah mencatatnya. Sejarah sudah membuktikannya. Ada Abraham, Musa, Nehemia, Daniel, Petrus, dan rasul-rasul yang lain, ada Paulus. Ada Polikarpus, John Sung, Wiliam Carey, A.W Tozer, Nommensen, C.S Lewis, David Livingstone, William Wilberforce, Marthin Luther King Jr, Leimeina, T.B Simatupang, dan pejuang-pejuang visi lainnya, yang telah membuktikannya. Teruskan nama-nama itu sampai ke namamu. Dan biarlah kampusmu menghasilkan nama-nama itu. Itulah VISI, mimpi, dan bersama Allah, sangat mungkin terwujud jadi kenyataan. Trust and obey.
Sekarang saya memang masih sangat muda dan belum menjabat apa-apa. Tapi visi itu terus bergema di hati, terjaga dalam KTB, apalagi setiap dihubungi menjadi pelayan dalam pelayanan mahasiswa. Saya tersenyum dan bersyukur bahwa saya tidak pernah sendiri, teman-teman saya yang lain juga sedang berjuang. Kami turut bersedih lalu berdoa ketika melihat visi itu memudar bagi beberapa orang alumni. Saya selalu mengingatkan pengurus: orang yang berintegritas itu tidak banyak, biarlah PMK STAN menghasilkan orang yang tidak banyak itu. Untuk visi itulah, PMK STAN ada.
Ah... saya terlalu banyak bercerita tentang STAN. Tapi saya memang dihubungi untuk itu: sharing sebagai alumni STAN, yang menikmati visi Allah sewaktu mahasiswa. Tapi bukan berarti pekerjaan Allah hanya di STAN. Ketika kamu membaca artikel ini, ketika buletin Nehemia ini ada di tanganmu, Tuhan juga bisa memakai dirimu untuk visi besar-Nya. Dia bisa bekerja memakai kampusmu, menghasilkan alumni yang v(m)isioner, dalam setiap bidang ilmu, ekonomi, hukum, sosial, politik, teknik, kesehatan, Indonesia membutuhkan alumni dari kampusmu, yang takut akan Tuhan. Mimpikanlah. Kerjakanlah. Dream your work, work your dream.

Kawas Rolant Tarigan, alumni STAN, sekarang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak.

[tulisan ini dimuat dalam NEHEMIA edisi Nopember 2010; Buletin Doa PMKJ]

Read More..

Roleplay
The Greatest Love --- Yoh 3:16

Setting: small group konseling, dengan 1 konselor dan 3 konseli (siswa, mahasiswa, alumni). Kostum dan aksesoris membantu untuk menunjukkan karakter. Alumni sibuk dgn Blackberry-nya. Semua duduk di kursi, konseli duduk sebaris, konselor berhadapan dgn konseli. Posisinya serong, agar tidak membelakangi dan dapat dilihat jemaat.
(musik pengiring dgn lembut: Think about His love)

Konselor : Ayo, gimana, sharinglah kondisi nya...

Siswa : Yah... Gitulah kak. Di sekolah, rasanya lama-lama gimanaa gitu aktif di rohkris. Kayak ada jaraknya gitu kalau mau gabung ama anak-anak yang lain, kalau mau main, jalan, nongkrong. Trus rasanya sayang juga ngabisin waktu banyak buat ngurusin kebaktian, yang datang juga itu-itu aja. Aku kan udah kelas 3, mau fokus utk persiapan kuliah, les, bimbel, belom lagi diomelin ama orang tua. Apa berhenti dulu ya dari “kegiatan rohkris” ini? Ntar takutnya gagal lagi cita-citaku gara2 ngurusin ini mulu... Ah, gak taulah...


Konselor : Ehm...

Mahasiswa : Gw juga dulu gitu waktu siswa, capek sih, takut juga, tapi puji Tuhan, bisa kok lulus di kampus yg gw harapin. Yakinlah... Tuhan pasti kasi yang terbaik kok... Tapi... gw jg lagi capek sekarang, di kampus jadi pengurus lagi, udah berapa tahun... hehe

Konselor : wess... udah sering ikut pembinaan dong. Hehe. PPA di sana-sini, MC sana-sini, PKK, trainer, Udah berapa orang yg dibawa pada Kristus?

Mahasiswa : hahahaha... Malu aku, kak, kalo ditanya gitu... Itu juga sih yg ku pikirkan.Utk apa ya record pelayananku yg banyak itu. Hampa. Banyak ikut training Penginjilan, tapi gak pernah menginjili. Sibuk sana sini, tapi apakah itu aku lakukan dgn sungguh? Apakah Tuhan senang, atau hanya sekedar segudang kegiatan pelayanan? (sedih)

Alumni : aku dengar cerita gini, jadi rindu banget dgn suasana itu.

Konselor : Maksudnya?

Alumni : udah alumni gini, sibuk kerja, gak pernah lagi terlibat pelayanan. Padahal dulu waktu masih di kampus, sekolah, aku aktif jd pengurus.

Siswa : sekarang kenapa kak?

Alumni : gak sempat. Sibuk bgt kerjaan. Ku pikir aku udah di jalan yg benar, aku kerja, gak terhisap isme-isme alumni: hedonisme, materialisme, konsumerisme, aku gak terpengaruh. Tapi kerjaan ini malah mengambil seluruh waktuku. (sekali-sekali melihat Blackberry). Penghasilan sih lumayan. Tapi, jangankan waktu utk pelayanan, utk keluarga aja makin lama makin kurang, belum lagi aku rencana utk lanjut kuliah..

Mahasiswa : kakak kerja dimana sih?

Alumni : di bank

Mahasiswa : oh… berarti kakak dulu jurusan ekonomi dong..

Alumni : enggak. Aku alumni Fakultas Teknik (mahasiswa bingung). Ya, namanya kerjaan.

Siswa : Lho kok?? Ah, udahlah… jadi pelayanan kakak sekarang?

Alumni : sebatas donatur. Ah,,, aku tau pasti ada yg salah..

Mahasiswa : jadi takut gw jadi alumni.

Konselor : ok deh. Gini... Dengar... Aku mau tanya, kalian tau Allah sangat mengasihi kalian?

Semua : tau... (menganggukkan kepala)

Konselor : apakah kalian mengasihi Allah?

Semua : iya... (mengangguk)

Konselor : urutan ke berapa Dia dalam hidup kita? (semua tertunduk)... (sambil konselor pergi) Dia sangat mengasihimu. Kalau kalian tau itu... (satu-satu pergi melangkah lambat).

Read More..


Aku baru aja servis motor. Setelah kecelakaan waktu itu memang satu demi satu bagian harus di servis lagi. Kemarin tiba-tiba semua bagian mati, gak bisa starter, lampu sign, lampu utama, lampu rem, klakson, semua lampu yang di kepala motor, gak ada yang nyala. Aku pikir masalah baterai aki, terus lihat skringnya putus, coba-coba ganti skring, eh ternyata bisa. Besoknya, kumat lagi, semua mati lagi, dan skringnya putus lagi. Aku pikir berarti ada yang gak beres, ada yang korslet mungkin. Tapi gak sempat ke bengkel, karena jam 5 pagi aku harus berangkat dari Jakarta ke Karawang, hujan pula lagi. Pikirku siang aja, atau malam, ternyata gak jadi karena hujan seharian. Besoknya baru kesampaian. Aku bawa ke bengkel, tukang bengkelnya cek, dan memang berkesimpulan ada yang korslet, cuma belum tau yang mana. Dicek kabelnya –yang banyak banget itu, satu per satu, semua bodi motor dibuka. Dan............. akhirnya ketemu. Switch rem belakang korslet. Kabelnya putus, dan menimbulkan percikan api, udah meleleh sebagian. Aku baru ingat, memang switch rem itu baru ku ganti waktu awal bulan karena rusak, tapi ternyata gak rapi waktu dipasang, jadi korslet. Aku terperanjat sejenak waktu dengar tukang bengkelnya bilang: “Untung mas cepat-cepat bawa kemari, kalo gak, motor ini bisa terbakar, ’kan dekat bensin”... Pikiranku langsung berimajinasi: udah berhari-hari rusak tapi belum dibawa ke bengkel, ternyata bisa bahaya banget. Bisa terbakar. Gimana kalo aku lagi di motor, dan tiba-tiba motor terbakar? Atau kalo aku lagi tidur, atau kalo aku lagi di dekat motor? Ah, bisa mati aku… hanya karena percikan api kecil...
Tapi nyatanya itu tidak terjadi!! Aku masih di bengkel, aku masih hidup, malamnya aku masih bisa nulis artikel ini. Tuhan masih membiarkan aku hidup. Kenapa? Kenapa harus aku?
Aku sering terpikir begitu... Waktu beli nasi goreng, capcay atau pecel lele, sambil nunggu dimasak, mataku terus melihat tabung gas elpiji 3kg dan berpikir: gimana kalo tiba-tiba tabung ini meledak? Matilah aku. Atau waktu naik pesawat, begitu banyak hal yang di luar pemantauan manusia, masalah kecil tapi akibatnya fatal. Sering aku kepikiran, gimana kalo ada sedikit aja kabel yang korslet, meledaklah pesawat ini; atau kalau ada satu baut aja yang longgar, olenglah pesawat ini; atau cuaca buruk; atau bencana lain? Siapa yang bisa memastikan semuanya akan baik-baik saja?

Pernah gak kita berpikir demikian? Tapi ternyata kita masih hidup sampai saat ini. Pernahkah kita bertanya: kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang masih hidup? Kenapa harus aku yang selamat? Mungkin pertanyaan ini gampang kita lontarkan ketika kita merasa ditimpa sial, tidak beruntung, malang, sakit, dukacita, kecelakaan, kita tidak sulit mengatakan: kenapa harus aku? Kenapa bukan dia?? Tetapi jika keadaannya sangat baik, kondisi fisik yang sempurna, sehat, multitalent, cukup materi, studi yang baik, pekerjaan yang baik, keluarga yang hangat, pernahkah kita bertanya: kenapa harus aku? Siapa aku ini yang layak mendapatkannya? Bukankah masih banyak orang yang lebih layak? Perenungan ini langsung menghantarkan aku pada sebuah lagu:

Why have You chosen me out of millions Your child to be?
You know all the wrong that I’ve done
O how could You pardon me, forgive my iniquity
To save me, give Jesus Your Son...
# But (Oh) Lord help me be what You want me to be,
Your word I will strive to obey
My life I now give, for You I will live
And walk by Your side all the way
I am amazed to know that a God so great could love me so
He’s willing and wanting to bless
His grace is so wonderful, His mercy’s so bountiful
I can’t understand it, I confess...#

Lagu ini seringkali meneteskan air mataku. Kenapa aku yang dipilih-Nya? Kenapa aku masih hidup? Bagi Rasul Paulus hanya ada 2 pilihan (Filipi 1:20-26): mati, artinya hidup kekal bersama dengan Allah (20); atau hidup di dunia ini untuk bekerja memberi buah (21). Tidak ada pilihan lain: hidup tapi tidak berbuat apa-apa. Kita masih hidup, kamu masih bisa baca tulisan ini, berarti masih ada pekerjaan yang harus kita lakukan...


*buat mereka yang baru, sedang dan akan berulang tahun; buat mereka yang sedang (atau tidak) menikmati hidup

Read More..


Banyak orang terlibat pelayanan, tapi sepertinya tidak banyak yang selalu merenungi, apakah yang dilakukannya benar-benar pelayanan atau bukan. Bagi sebagian orang mungkin itu tetap bisa disebut sebagai pelayanan, tetapi secara radikal bukanlah pelayanan.

1. Pelayanan yang tidak jelas motivasinya
Kenapa melayani? Ya kenapa ya... ya gitu deh. Kan bagus, dari pada tidak berbuat apa-apa. Memang tidak sesalah: ingin cari perhatian, ingin dapat kenalan, ingin tampil, terkenal; tapi tidak jelas dan tidak tajam. Dan itu yang bahaya, padahal kelihatannya baik. Kenapa jadi guru sekolah minggu? Karena suka anak-anak. Kenapa harus jadi guru sekolah minggu? Jadi guru TK aja, kan banyak anak-anak? Kenapa jadi gitaris, MC? Bakat ku kan di situ. Kenapa gak bentuk grup band aja kalau punya bakat di situ? Kenapa mau jadi panitia ini? Kenapa memutuskan untuk jadi seksi acara/ pubdok/ perlengkapan/ dana/ konsumsi, dll? Gak ada yang mau jadi seksi doa, karena berdoa aja kerjanya? Harusnya pertanyaan ini bisa dijawab dengan mantap oleh orang-orang yang komitmen di pelayanan itu. Jika tidak, jangan heran banyak orang berhenti di tengah jalan, tidak jelas motivasinya, sekalipun kelihatan baik, tidak ada sukacita sejati setelah melayani, senang mungkin iya, karena memang cocok mengerjakan hal itu, tapi bukan damai sejahtera. Dan pelayanan apakah yang pantas disebut pelayanan jika tanpa motivasi yang jelas? Atau ada juga pelayanan yang versi ini: waktu ditanya, pelayanan dimana? Jawabnya: hidupku adalah pelayananku, atau aku melayani lewat donasi sih sekarang. Benar juga sih, tapi bisa jadi salah, kalau tidak ada pergumulan untuk terlibat lebih dalam, atas pertanyaan what, where, when, who, why, how?


2. Pelayanan yang bukan dikerjakan oleh pelayan
Pelayanan adalah respon ucapan syukur dari orang-orang yang sudah ditebus Kristus, diselamatkan, dengan kesadaran penuh akan kebutuhan untuk terus berelasi dengan Allah dan sesama, serta rasa berhutang agar orang lain juga dapat menikmati apa yang telah dia nikmati bersama Allah. Melayani dengan sadar bahwa Allah terlebih dahulu melayani, dengan ‘turun tahta’, datang ke dunia, mengambil rupa seorang hamba dan taat sampai mati di kayu salib demi orang-orang yang dikasihi-Nya. Hal ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang hidupnya telah diubahkan Kristus dan membiarkan Kristus yang terus menguasai seluruh hidupnya, hati dan pikirannya. Dia tau apa artinya menghamba, melayani, siapa yang sesungguhnya sedang dilayani, dan apa yang berkenan saat melayani, bukan sekedar berbuat ini itu, bukan sekedar mengerjakan target, deadline, program, atau sebuah event. Tidak jarang melihat ‘pelayanan yang tidak hidup’ karena pemusiknya hanyalah musisi, tapi bukan pelayan (mungkin sedang show); singernya adalah penyanyi, tapi bukan pelayan; panitianya adalah event organizer, tapi bukan pelayan. Selama dia belum terima Kristus, tidak ada relasi dengan Kristus, belum cinta Kristus dan benci dosa, dia bukanlah pelayan. Dan pelayanan apakah yang pantas disebut sebagai pelayanan jika tidak dikerjakan oleh para pelayan?

3. Pelayanan yang egois
Sepertinya ini terjadi secara tidak sadar, bahkan oleh seorang pelayan yang jam terbangnya sudah tinggi, atau pelayan yang sudah begitu banyak terlibat dalam pelayanan di sana sini. Kenapa melayani? Untuk menjaga kondisi kerohanianku, supaya aku tetap terlibat dalam pelayanan, untuk mengisi waktu kosongku dengan hal yang mulia, supaya aku tetap disegarkan oleh firman Tuhan, supaya aku tetap bisa bersekutu, supaya aku, aku, aku... Tidak ada yang salah dari alasan-alasan itu, tetapi adakah alasan lain selain aku, aku dan aku? Kita terlibat begitu banyak pelayanan, tanpa henti, bahkan rangkap, supaya apa? Supaya aku... aku... Sampai di situkah? Tidak heran kalau banyak pelayan yang kelelahan, karena dia sedang melakukan ‘pelayanan yang egois’. Anugerah terbesar dalam kehidupan manusia adalah saat Allah (yang tidak egois) memberikan anakNya, Yesus Kristus, sebagai Juruselamat bagi umat manusia. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka. Pembaharuan ini seharusnya membuat para pelayan mampu mengasihi Allah dan orang-orang yang Allah kasihi. Jadi bukan sekedar supaya aku, tapi supaya Allah, dan supaya umat Allah... Pantaskah disebut pelayanan jika pelayanan itu egois?

Aku jadi teringat cerita 3 tukang batu. Dari satu pertanyaan: “Apa yang sedang kamu kerjakan?”, ada 3 jawaban (yang tidak salah, namun berbeda):
Tukang batu 1: aku sedang meletakkan satu batu di atas batu lainnya.
Tukang batu 2: aku sedang mencari nafkah untuk istri dan anakku
Tukang batu 3: aku sedang membangun sebuah gereja besar, suatu saat nanti semua orang akan menyembah Tuhan di gereja ini.

Kita juga sering terjebak berpikir demikian. Namun tukang batu yang ketiga mampu melihat visi besar dalam hal sederhana yang dia lakukan. Harusnya kita juga berjuang untuk terus melayani dan menyadarinya sebagai bagian kecil dari rencana kekal Allah bagi dunia ini. DIA bisa pakai siapa saja untuk melayani-Nya, tetapi sungguh sayang ketika kepercayaan/ anugerah itu diberikan kepada kita namun kita menyia-nyiakannya dengan tidak memberikan yang terbaik di waktu yang tidak banyak/ terbatas ini.

Ngomong tentang pelayanan juga, pasti teringat perikop Maria dan Marta (Lukas 10:38-42). Marta sibuk sekali melayani. Tidak ada yang salah dengan Marta, tapi dia hampir kehilangan kesempatan terbaik untuk mengenal Tuhan Yesus. Dan itu yang ada dalam diri Maria: “...hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” (ay.42). Banyak hal baik yang bisa kita lakukan, tapi jangan-jangan itu bukan yang terbaik? Saya setuju LAI memberi judul Maria dan Marta, padahal yang disebut duluan dan paling banyak beraksi adalah Marta, baru Maria. Tapi bukan banyaknya aksi, hanya Maria memilih bagian yang terbaik, melakukan apa yang Tuhan mau (bukankah itu pelayanan? Pelayan melakukan apa yang disuruh Tuan), duduk diam dengar Tuhan ngomong. Jadi, bagaimana evaluasi pelayanan kita selama ini?

Mungkin setelah membaca tulisan ini, Anda akan berkata: “ah... tulisan ini mah udah biasa. Semua juga udah pada tau. Apalagi yang udah terbina di pelayanan siswa, mahasiswa, alumni, gereja, sekolah minggu sampai kaum lansia. Gak ada yang baru”. Memang. Sama seperti halnya seorang teman berkata kepada anda untuk membersihkan kamar anda yang berantakan. Anda pasti sudah tau itu. Tapi ketika akhirnya anda melakukannya juga, anda lalu berkata: “Oh... ini nih pulpen yang gw cari dari kemaren-kemaren... Ketemu juga akhirnya... thanks ya...”.

Tidak ada salahnya menjadi Marta, asalkan ada hati Maria di dalamnya...



*buat mereka yang merasa sedang melayani atau mengurus pelayanan...

Read More..


Apa kata-kata paling sering muncul dalam ucapan-ucapan ulang tahun di facebook? “Selamat ulang tahun, Wish you all the best.” (met ultah ye… wis yu ol de bezt). Apa kalimat penutup sms paling populer? “Gbu”. Awalnya menarik, tapi lama-lama kelamaan jadi hambar. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu, sangat baik. Tapi apakah ungkapan itu betul-betul doa dari yang mengucapkan? (supaya yang terbaik, yang terjadi bagi kawanku ini, supaya Tuhan memberkati kawanku ini). Atau sekedar lewat, sekedar kalimat penghias, atau kalimat penutup, supaya tidak dihubungi lagi? Hehehe… “Lagi ngapain?”, “Lagi makan, Gbu”. Habis deh… Padahal tadinya pengen ngobrol lebih panjang. Hihihi…

Terlalu sering kata-kata tersebut diucapkan, jadi bias karena biasa, tidak ada lagi emosi di balik kata-katanya. Bukan karna seringnya, kata itu jadi hambar, sehingga kita harus membatasi mengucapkannya, tapi masihkah kata-kata itu keluar dari hati yang tulus? Seperti kata-kata seorang suami yang telah menikah 30 tahun, kata “sayang, I love you” masih begitu hangat di telinga istrinya, sekalipun diucapkan tiap pagi.

Bukan sembarangan ketika berkat diucapkan. God bless you and keep you… TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. (Bil 6:24-26). Itu Tuhan sendiri yang menetapkan agar melalui para imam, Ia memberkati bangsa Israel. Bukan sembarangan ketika dalam mengawali semua suratnya, Paulus mengucapkan salam, syukur, dan berkat. Roma: Pertama-tama aku mengucap syukur kepada Allahku oleh Yesus Kristus atas kamu sekalian, sebab telah tersiar kabar tentang imanmu di seluruh dunia. Karena Allah, yang kulayani dengan segenap hatiku dalam pemberitaan Injil Anak-Nya, adalah saksiku, bahwa dalam doaku aku selalu mengingat kamu: (Rom1:8-9); Efesus: Dari Paulus, rasul Kristus Yesus oleh kehendak Allah, kepada orang-orang kudus di Efesus, orang-orang percaya dalam Kristus Yesus. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu. (Ef1:1-2), Filipi: Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. (Flp1:3-4), atau salam penutupnya, Kolose: Salam dari padaku, Paulus. Salam ini kutulis dengan tanganku sendiri. Ingatlah akan belengguku. Kasih karunia menyertai kamu. (Kol 4:18), Tesalonika: I pray that the Lord, who gives peace, will always bless you with peace. May the Lord be with all of you. I always sign my letters as I am now doing: PAUL. I pray that our Lord Jesus Christ will be kind to all of you. (2Tes3:216-18). Salam ini benar-benar keluar dari kerinduan hati yang paling dalam, dari rasul Paulus, sekalipun di penjara. Dia berani mengatakan bahwa Allah adalah saksinya betapa dia rindu dengan jemaatnya, dia memang bertindak nyata bahwa dia sangat ingin berusaha untuk menemui/ berkunjung ke jemaat itu… bukan sekedar ucapan atau kalimat pengantar dan penutup.

Ok deh. Semoga mulai sekarang kita tidak gampang lagi mengucapkan kata-kata yang indah itu. Wish you all the best, Gbu, ada yang mau di didoakan?? Benarkah kita berdoa demikian? Supaya jangan jadi bias karena biasa, atau jadi basi karna kelamaan, tapi jadi bisa karena terbiasa, dengan doa senantiasa.
Ah, udahlah… Tengkyu, Gbu. Eh, keceplosan… Ada yang mau didoakan? Ups, kebiasaan… Bye… Lho, kok goodbye? Mungkin lebih baik: see you… Bukan selamat tinggal, tapi see you, berharap bertemu denganmu lagi… Prikitiew… Gbu, cu :)

Read More..


Iman itu sederhana. Percaya saja dan lakukan. Bukan sekedar believe (percaya), tetapi trust (mempercayakan); bukan sekedar do (berbuat), tetapi obey (taat penuh). Sekalipun banyak hal yang tidak dimengerti dan dipahami, tapi tetap taat dan lakukan saja apa yang berkenan kepada Tuhan. Tidak gampang memang, tapi sesederhana itu. Kita harus berlutut dan sadar bahwa kita sangat terbatas dan tidak ada apa-apanya dibandingkan Allah yang tidak terbatas. Kita tidak akan mampu memahami sepenuhnya pikiran dan kemauan Allah. Kita hanya mampu mengetahui sebatas apa yang dinyatakan-Nya pada kita, khususnya yang tertulis di Alkitab. Itu saja. Dan Alkitab cukup, untuk memberi tahu segala sesuatu yang perlu kita ketahui, bukan yang ingin kita ketahui. Jadi jangan paksakan diri kita untuk mengerti dan mengetahui secara utuh pikiran-Nya Allah. Kita akan kecewa. Allah bukanlah objek yang bisa diteliti manusia melalui mikroskop. Manusia adalah ciptaan, dan Dia Pencipta. Mungkin kalau dibandingkan, jika pikiran Allah seluas samudera raya di bumi ini, maka pikiran kita hanyalah seperti gayung kecil. Mana mungkin satu gayung kecil mampu menampung isi seluruh lautan di bumi ini?

Iman itu sederhana. Sesederhana tindakan Abraham meninggalkan keluarganya menuju negeri yang ditunjukkan Allah baginya. Sesederhana perkataan Abraham sewaktu diminta mengorbankan Ishak, Sahut Abraham: "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku." Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. Sesederhana tindakan seorang janda miskin dari Sarfat yang memberi Elia makan dengan segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-bulinya. Sesederhana tindakan Ester saat menghadap Sang Raja Ahasyweros untuk memperjuangkan nasib bangsanya walaupun hukuman mati ada di depan mata. Sesederhana pernyataan Sadrakh, Mesakh dan Abednego saat akan dicampakkan ke dalam perapian yang menyala-nyala: "Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu”. Sederhana bukan? Sesederhana tindakan iman perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan yang mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya dengan harapan "Asal kujamah saja jumbai jubah-Nya, aku akan sembuh."

Iman itu sederhana. Saya rasa perempuan yang sakit pendarahan itu percaya pada Tuhan sekalipun dia belum mengerti apa itu doktrin eskatologi, soteriologi, eklesiologi, dan logi-logi yang lain. Yang penting dia percaya, itu Tuhan, yang sanggup mengubahkan hidupnya. Maka kata Yesus kepada perempuan itu: "Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!" (Luk 8:48). Sederhana bukan? Tapi sayang, iman sesederhana itu jarang dijumpai di kalangan Kristen saat ini. Orang banyak bergantung pada mujizat yang spektakuler, kalau tidak terjadi, dia kecewa, dia meragukan Tuhan. Mungkin dia lupa, banyak mujizat-mujizat sederhana yang telah dia alami. Bukankah masih bangun pagi itu adalah mujizat? Nanti malam masih ada nasi di meja makan, bukankah itu mujizat? Banyak orang semakin pintar, tapi justru makin meragukan imannya, ketika dia tidak bisa memecahkan dengan pikirannya dan menguasai sepenuhnya apa itu: konsep keselamatan, soteriologi, eskatologi, gimana nanti akhir zaman, apa itu Allah Tritunggal, apa itu predestinasi, konsep pilihan, konsep anugerah, keadilan, pengampunan, dst dlsb… Makin dia tidak mengerti, makin ragu dia akan apa yang dia imani. Padahal sederhana: seperti yang sudah saya sebut di atas: kita terbatas, jadi trust and obey aja. Memang, dalam pertumbuhan iman dan kedewasaan seseorang, kita harus semakin bertumbuh dalam knowledge dan character, kita harusnya semakin mengerti dan menguasai apa yang kita imani, tetapi jika kita tidak mampu mengerti seluruhnya, itu wajar, karena kita bukan Allah, dan itu harusnya membuat kita tertunduk takjub dan semakin mengagumi kemaha-kuasaan Allah, bukan malah meragukannya. Belum tentu apa yang tidak kita ketahui sekarang, memang tidak ada, atau bukan kebenaran. Seperti anak SD yang kita paksa mengerjakan soal matematika kalkulus yang rumit, dia akan stress dan mengatakan: jawabannya tidak ada! Benarkah demikian? Oh, ternyata setelah kuliah kita baru mengerti jawabannya. Sederhana bukan? Yang tidak kita ketahui sekarang bukan berarti tidak ada. Ikuti aja. Bukan harus mengerti segala sesuatunya dulu, baru kita ikut Tuhan, tapi itulah uniknya iman, dalam ketidak-tahuan kita, bukan kita yang sibuk untuk menggapai tangan Allah, tapi membiarkan tangan kita untuk dipegang oleh Tuhan. Seperti yang dialami Petrus, ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: "Tuhan, tolonglah aku!" Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" (Mat 14:30-31).
Apakah kau mengerti sepenuhnya cara kerja otakmu? Kalau tidak, mengapa engkau masih memakainya? Apa tidak lebih baik, keluarkan otakmu, pelajari sungguh-sungguh, setelah mengerti, baru pakai lagi? Kalau tidak mengerti, jangan pakai lagi!! Begitu? Kan tidak? Jadi, kita pelajari aja semampunya, dan jangan pernah lepaskan. Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. (Rom12:3)
Jadi, jangan tunggu mengerti dulu baru ikuti, tapi ikuti saja sambil mengerti. Makin mengerti, makin baik. Banyak yang tidak mengerti, pelajari, masih gak ngerti juga, ya imani… Sederhana.


*buat mereka yang pernah satu kelompok denganku, untuk belajar apa artinya beriman.

Read More..

1 Mei, ada 2 Paskah yang pengen banget aku ikutin, Paskah Budi Luhur, dan Paskah PO PTK (Persekutuan Oikumene Perguruan Tinggi Kedinasan). Mana yang harus kupilih, aku tak tahu. Ingin ke BL ketemu dengan AKK yg udah lama gak ketemu. Ingin juga ke Paskah PO PTK, siapa tau makin akrab dengan pengurusnya dan bisa terus dampingi mereka… Ah,,, jam nya tabrakan pula… Harus milih… Ya sudahlah, aku pilih Paskah PO PTK, karena STAN tuan rumah dan di situ aku jadi pendamping sharing kelompok. Ternyata………. Waktu di jalan mau kesana, udah rapi, berbatik, ban motor bocorrrrr di Jalan Thamrin… Ah, sebelnya. Masa di jalan sebesar Thamrin masih ada paku? . Tidak berhenti sampai di situ, tukang tambal ban yang 500m dari situ, mulai meriksa ban. Tapi aku gak ikut jongkok dan periksa, malah lihat yang lain. Gak tau kenapa, setelah diperiksa, kok bocor di banku jadi banyak dan gede-gede? Curiga… Soalnya ini yang kedua kalinya aku jadi korban kejadian serupa. Baru 2 minggu ganti ban dalam. Kejadiannya di bawah flyover Galur, mau masuk kolongnya Senen. Ban kempes, kena paku, karena gak dilihatin waktu meriksa bannya, jadi bocornya gede, dan terpaksa ganti ban dalam. Haduh,,, sial… Makin keras aja usaha orang cari uang di Jakarta ini. Tapi ya sudahlah… Pelajaran: Sekali lagi harus ikut jongkok dan ikut memeriksa ban bocor. Dan… sampai Bintaro, Paskah PO PTK, acaranya udah 30 menit khotbah, berarti aku telat sekitar 1 jam. (-_-‘) Waktu acara sharing, aku mimpin AKIP (perguruan tinggi kedinasan untuk sipir penjara itu…), karena mereka juga telat… Hehehe… Aku hanya berharap, PO PTK bisa dipakai Tuhan, untuk memperbaiki bangsa ini melalui mahasiswanya yang akan menjadi alumni di departemen-departemen strategis di bangsa ini, menjadi PNS yang siap menderita demi bangsa. Tidak ada yang salah dengan pengharapan… *
Pulang dari situ, makan di Mang Kabayan, simpang Depsos Bintaro… Hahaha… Ini unik, karena sejak dari mahasiswa selalu lewat situ untuk Bible Study PMKJ Selatan 2, tiap senin. Tapi baru kesampaian makan di situ setelah alumni… Enak dan tidak terlalu mahal.*
2 Mei, lanjut dengan Paskah Bonapasogit. Aku jadi tim doa. Menikmati bagaimana terus berdoa selama acara (baik di ruang doa maupun di tempat duduk) demi orang bisa menikmati Allah dalam ibadah ini melalui pujian, doa, kesaksian dan firman. Menakjubkan rasanya melihat sekitar 8000-an orang Batak (dan ada juga non batak) sekitar Jabodetabek memenuhi Istora Senayan dan bersama-sama bernyanyi buat Tuhan. Dari pengusaha sampai tidak punya usaha, dari direktur sampai kondektur, dari semua lapisan masyarakat, umur dan pekerjaan. Sangat menyentuh hati. Tapi, tetap aja ada evaluasi pribadiku untuk acara ini: masakan untuk acara yang dari siang sampai sore ini tidak disediakan konsumsi, snack sekalipun? Bagaimana orang bisa fokus bernyanyi apalagi dengar firman dengan kerongkongan kering dan perut lapar? Sekalipun kita berdoa supaya Roh Kudus yang menguasai hati pikiran mereka, tapi masak kita tidak berbuat sesuatu supaya kondisi mereka fit ketika dengar firman? Sekalipun acara ini gratis, dan memakan sangat banyak biaya (apalagi kalau ditambah konsumsi), mungkin lebih baik jika panitia mengutip sumbangsih dana bagi mereka yang mampu memberikan donasi, untuk konsumsi bersama. Terus lagi, karena jemaatnya banyak, durasinya lama, di beberapa bagian tempat duduk mulai tidak tenang (khususnya yang bawa anak kecil), dan terkadang mengganggu khusuknya ibadah. Dan satu lagi, kiranya firman disampaikan dengan sederhana, jelas, kuat dan tepat waktu. Berharap juga, melalui orang Batak yang secara jumlah sangat banyak, ada perubahan bagi perbaikan bangsa ini. Banyak orang batak yang berkualitas dan menjadi berkat bagi bangsa ini, tapi banyak juga yang merusak bangsa ini. Semoga lebih baik. Ido ate?*
Selanjutnya… dihubungin untuk jadi trainer Pemimpin Pujian (MC) di Bea Cukai, tanggal 9 dan 16, lanjut lagi, Pembicara di kebaktian BC tanggal 12. Karena aku lihat jadwal kosong, aku jawab OK. Tapi bukan karena alasan itu saja, lebih dari itu. Ada sukacita besar di hati ini. Ada persekutuan di BC!!! Ini adalah jawaban doa dari sekitar 5 tahun yang lalu, ketika mereka pindah dari Bintaro ke Rawamangun. Dan baru sekarang mulai dirintis dan sudah rutin. Puji Tuhan. Aku gak akan menyia-nyiakan pelayanan ini. Tanggal 9 beres, bawain Hymnology dan teknis MC. Tinggal nunggu tanggal 16, simulasi. Tanggal 12 juga beres, padahal itu hari Rabu (tapi aku lihat besoknya merah/libur), aku laju dari Karawang ke Rawamangun, demi Bea Cukai :) bawain tema Hubungan Pribadi dengan Allah, apa pentingnya menjaga relasi dengan Tuhan dalam saat teduh, doa, bible study, bible reading, dan persekutuan, tanpa itu, hancurlah hidup ini, kita akan mati, sekalipun secara fisik masih hidup! Karena itulah nafas rohani kita.
Tanggal 14 Mei… seakan hidupku berhenti sejenak. Aku kecelakaan. Jumat malam, di Cakung, lagi berhenti, eh, ditabrak Kijang Inova dari belakang, tabrakan beruntun, 2 mobil dan 2 motor… Hah… sial banget rasanya. Si sopir lagi ngantuk, dia sopir perusahaan rental, dan kelelahan antar jemput karyawan katanya. (artikel tentang insiden ini bisa dibaca di Semua dalam kendali). Aku lagi boncengan ama Misni. Waktu aku terhempas, aku masih bisa dengar suara Misni teriak, “kakak…kakak…”, dia jatuh terduduk. Kakiku lecet, motor rusak parah. Orang udah ramai banget, polisi datang, sampai pagi di kantor polisi. Misni bilang: “kak, ini pertama kali aku tabrakan, dan aku bersyukur itu sama kakak…”. Hah… udah kayak sinetron, ada kasih di balik kisah, mengurangi rasa nyerinya luka. Pihak yang nabrak mau ganti. Tapi, beresnya lamaaaaa banget. Gakpapalah, asal tanggung jawab. Dan ternyata… akhirnya si sopir dipecat, padahal baru kerja disitu 4 bulan. Kasihan juga. Bodi motor yang diganti banyak yang imitasi, tapi berpikir 2 kali untuk komplain, karena si sopir pun bingung mau cari kerja dimana. Gara-gara kejadian itu, banyak pelayanan gagal: ketemuan untuk buat bahan PA STAN, bawa firman di pembinaan PKK STAN, tanggal 15 gagal. Dan juga lanjutan training MC di BC, ikut gagal. Yah… mungkin waktunya istirahat dulu.*
Setelah pelayanan di Bonapasogit, sebenarnya langsung ditawarin pelayanan di Panitia HUT Perkantas (tanggal 3 Juli), sebagai koordinator pula. Aku doain dulu, aku bilang. Aku sebenarnya sih butuh pelayanan yang kontinu seperti ini untuk jaga kondisi, karena di Karawang gak ada pelayanan, walaupun Karawang-Jakarta menempuh 80km. Aku terima, sekaligus sebagai rasa “hutang” terhadap pertumbuhan dan pembinaan yang kudapat dari Perkantas dan orang-orangnya. Ternyata Perkantas sudah 39 tahun. Rapat perdanaku tanggal 15 pula… Ikutlah aku rapat perdana ini dengan keadaan pincang-pincang…
Hari demi hari, keadaan semakin baik, tapi motor belom selesai.
Tanggal 22, KTB 2005 ke Kebun Raya Bogor. Dengan bahan Diberkati untuk Menjadi Berkat bab 5, pulang dengan Proyek Ketaatan: bangun persekutuan di kantor masing-masing… Aduh,,, beratnya ini… Gimana aku mau ngomong ama kepala2 seksi?? Waktu ada kebaktian di kantor sebelah aja, miskin respon. Gimana nih?? Tapi mencoba beranikan diri… 1 langkah berhasil, ada yang mendukung, tapi usulnya 3 bulan sekali aja… Waduh, apa ini?? Pikirku. Kebaktian apa 3 bulan sekali, setahun cuma 4 kali? Hubungi yang lain, miskin respon. Padahal di kantor ada yang sintua, kayaknya ada juga ikut persekutuan waktu mahasiswa, tapi setelah di kantor, gak ada passion untuk membuat persekutuan kantor… Bersiaplah kalian para mahasiswa!!! Jangan cepat bangga kalau terbina di mahasiswa, tunjukkan di alumni!!!
Bulan Mei, maybe yes maybe no.

Read More..


Sepertinya saya harus menjelaskan perbedaan antara: “mendukung” dengan “prediksi menang”. Ini hal yang berbeda. Misalnya, kalau suatu saat ada pertandingan sepakbola antara Indonesia vs Inggris, dengan sepenuh hati, jiwa, raga, saya akan mendukung tim Indonesia. Tapi apakah saya memprediksikan Indonesia menang? Tidak. Karena memang saya juga sadar dan yakin, pertandingan itu sangat mungkin dimenangkan oleh Inggris. Tapi, sekali lagi, sekalipun saya prediksikan Inggris menang, tetapi dukungan saya tetaplah buat Indonesia. Bedakan “mendukung” dengan “prediksi”.
Begitu juga di Piala Dunia kali ini. Hati saya, dari dulu, tak akan tergugah dari dukungan terhadap Italia. Alasannya? Nanti saya jelaskan. Tapi, terus terang saja, dari awal saya sudah prediksi, bahwa Italia tidak akan menjadi juara dunia di World Cup kali ini. Mungkin memang karena saya lihat permainannya tidak sebaik seharusnya, dan satu lagi, sangat jarang terjadi, juara musim lalu akan juara lagi musim ini, karena pasti jauh lebih sulit mempertahankan daripada merebut. Prediksi saya siapa? Argentina atau Brasil. Itu prediksi saya dari awal sekali, bahkan sebelum pertandingan pertama dimulai. Karena menurut saya –yang awam dan terbatas ini, 2 negara ini memang sedang berkembang-kembangnya bibit dan skill para pemain. Tapi apakah dengan prediksi ini hati saya akan tergeser dari dukungan terhadap Italia? Sekali-kali tidak. Baik buruk, menang kalah, Italy tetap di hati.
Walaupun memang banyak sekali rasa kesal dalam hati, misalnya tentang pemilihan pemain, pola permainan yang tidak ‘greget’, lama panasnya, regenerasi pemain yang lambat, dll. Tapi saya tetap mendukungnya. Sama seperti saya mendukung persepakbolaan Indonesia. Hati saya cinta PSSI (atau klub PSMS), siapapun lawan tandingnya. Sekalipun: liga tak beres, gaji pemain tak beres, stadion amburadul, pengurus PSSI yang tak jelas (satu-satunya federasi sepakbola yang dipimpin dari penjara), dll, tapi sambil terus berharap perubahan dan perbaikan sepakbolanya, saya tetap mendukung Indonesia.

Atau satu lagi, di Piala Dunia ini, di pertandingan yang ada negara Asia-nya, hati saya mendukung Asia, meskipun –sekali lagi, prediksi saya tidak selalu pada tim Asia, tapi bagi saya, mereka harus didukung, sekalipun lewat teriakan, tepuk tangan, kepalan tangan dan lipatan bibir sewaktu menonton di depan televisi. Korsel, Jepang (yang sudah lolos ke 16 besar), atau Tim fantastis, Korea Utara. Berikut saya kutip potongan berita menarik dari Korea Utara:
Korea memang kalah dan belum tentu mendulang kemenangan pada dua laga (berikutnya), di mana Portugal dan Pantai Gading sudah menanti. Namun, mencetak gol balasan ke gawang raja Piala Dunia, dalam keadaan tertinggal dua gol dan dengan sisa waktu satu menit adalah prestasi.
Bagi Indonesia, pencapaian Korea Utara adalah tamparan (yang sangat menyakitkan).
Korea yang kesulitan mengakses siaran Piala Dunia dan setengah mati meminta restu negara untuk mencari (dan mendapatkan) sponsor, mampu mencapai Afrika Selatan dan mencetak gol ke gawang Brasil, setelah ketinggalan 0-2, dan menjelang masa injury time pula.
Indonesia,yang punya semuanya (kecuali mungkin semangat dan kejujuran), mulai dari sumber daya manusia, sponsorhip, suporter, dan akses informasi yang jauh lebih luas ketimbang Korut, malah berharap tampil di Piala Dunia dengan memenangi bidding tuan rumah. Ironisnya, untuk melewati jalan pintas seperti itu pun, Indonesia juga gagal.
Korea Utara mungkin tak akan meraih poin lagi di dua pertandingan(lagi) dan gagal melaju ke putaran kedua. Namun, mereka tetap berhak pulang dengan kepala tegak karena dengan segala keterbatasannya, mereka mampu menjebol gawang Julio Cesar, yang Lionel Messi pun gagal melakukannya.
Dan, sementara nanti Ji Yun Nam bercerita kepada junior-juniornya, anak-cucunya, atau tetangga-tetangganya, bagaimana ia menjebol gawang jawara Piala Dunia dengan pertandingan cuma menyisakan satu menit, Indonesia mungkin masih cuma sibuk membuat proposal untuk mendatangkan Manchester United atau melobi FIFA untuk menjadikan Indonesia tuan rumah Piala Dunia.Tentu, kita berharap Indonesia akan lebih baik dari itu.

Saya tersenyum membacanya. Saya mendukung Indonesia, sekalipun penuh kegagalan. Saya dukung Italia di Piala Dunia, sekalipun gagal melaju ke babak berikutnya (sesuai prediksi saya), dan berharap ini jadi tamparan dan pelajaran besar, tentang apa yang harus diperbaiki dan betapa susahnya mempertahankan gelar. Walaupun jujur saja, panas hati ini meluap melihat pertandingan kemarin, di luar lambannya permainan Italia padahal sudah ketinggalan, saya masih memimpikan “sportivitas sempurna” dari sebuah pertandingan olahraga. Bukankah itu ciri kental dari olahraga? Sportivitas, jujur, di samping tanpa politik, tanpa rasis, dll… Entah itu mungkin terjadi atau tidak. Andai saja… kemarin malam itu… si kiper licik dari Slovakia jujur dan berkata: saya memang mengulur-ulur waktu pertandingan dan saya memang memukul wajah Quaqliarella, saya layak dapat kartu merah… Atau bek Slovakia, Skrtel dengan jujur berkata: “Sit.. (wasit), memang tadi itu gol, bola udah melewati garis gawang, kaki saya sudah di dalam”. Hehehehehe. Entah kapan kejujuran total ini ada di lapangan, sedangkan ‘gol tangan tuhan’ aja bisa membawa Argentina jadi juara dunia…
Ya, semua penuh harapan. Harapan semoga Indonesia suatu saat masuk pentas dunia. Harapan Italia bermain lebih baik kemudian hari. Selamat jalan Italy. Belajar baik-baik, baju biru itu kupakai selalu :) Itulah kenapa aku suka Italia, karena liga Italia-lah yang mengajari Kawas kecil bagaimana cara menendang bola, awalnya suka nonton bola, mulanya melek bola, ngobrol bola, siapa Pagliuca, Roberto Baggio, Vialli, Ravanelli, Peruzzi, dan tim kesayangan Juventus…
Dukungan saya tidak akan berubah, prediksi mungkin berubah. Itu berbeda.

Salam olahraga –dari orang awam. Kawas.

Read More..


Ada hal-hal yang di luar kemampuan manusia. Hal itu makin memperjelas bahwa manusia terbatas, dan tidak ada alasan untuk sombong apalagi memegahkan diri akan kehebatan. Ada hal yang tidak bisa dikendalikan, dirancangkan manusia. Siapa yang bisa menahan hal-hal berikut: suatu kali sewaktu makan siang, aku menyaksikan langsung sebuah pohon besar tumbang dan menimpa 2 warung serta 1 sepeda motor baru –yang sudah tentu belum lunas kreditnya (Karawang). Orang yang sedang menikmati istirahat, eh... tewas ditimpa bangunan rumah karena gempa hebat (Jogja) atau tsunami (Aceh). Orang sedang tidur, eh rumahnya hancur lebur dihantam meteor (kejadian di Jakarta Timur). Pesawat bisa jatuh hanya karena kabel kecil yang korslet, kapal besar bisa tenggelam hanya karena satu turbin tidak berputar. Sampai ada orang bilang: tidak ada lagi tempat yang aman di dunia ini: di jalan/ berkendara bisa kecelakaan, jalan kaki bisa ditabrak, di rumah bisa bahaya/ kebakaran/ bencana, dll. Semakin sadarlah manusia bahwa kita ini hanyalah debu.
Siapa sangka Jumat malam itu, ketika motorku berhenti di belakang taksi karena macet, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang dari belakang, dan sopirnya ngantuk, akhirnya menghantam 2 motor dan 1 taksi. Salah satunya adalah motorku, dan taksi itu adalah taksi yang di depanku. Semua berantakan. Aku dan boncenganku (Misni) terpental ke taksi dan ke aspal, luka lecet, memar, motorku masih terseret lagi beberapa puluh meter ke depan dan hancur. Kalau mau komplain, apa penyebab aku celaka? Dibilang pelan-pelan, kurang pelan apa lagi, aku dalam posisi berhenti. Mau dibilang kurang pinggir, aku sudah di pinggir, tepat di belakang taksi. Beberapa pelayanan pun batal karena kecelakaan itu. Entahlah... Memang di luar kekuasaanku. Atau sulit memang memahami ‘kemahakuasaan-Nya’ Allah, atau keadilan hukum. Orang yang sering kebut-kebutan, sepertinya lebih sering aman-aman saja, bahkan hampir tidak pernah kena tilang. Orang yang berhati-hati, pakai helm, mengalah/ sopan di jalan, malah sering ‘teraniaya’ di jalan, ditilang pula. Sehabis kecelakaan, sewaktu menuju unit kecelakaan lalu lintas, kami melihat lagi ada kecelakaan. Ternyata ibu-ibu yang jatuh dari sepeda motor, eh.. jatuhnya ke kolong container pula.. Patah kakinya. Supir containernya bilang; “mimpi apa aku semalam, bisa sesial ini? Gak ada salah apa-apa”. Kami ‘dipersatukan’ di laka lantas sampai jam 3 pagi. Yah,, itulah. Ketidak-hati-hatian orang pun bisa jadi celaka bagi kita. Atau memang kita makin disadarkan, banyal hal di luar kendali kita. Tapi kita imani, everything is under God’s control.

Ayub pernah mengalaminya. Sedang santai-santai di rumah, eh... hartanya semua habis, anak-anaknya meninggal. Belum cukup. Tubuh hancur melepuh karena kusta, istri dan teman meng-intimidasi. Entah apa pastinya yang dirasakan Ayub saat itu, karena memang rasanya dia tidak punya ‘andil kesalahan’ dalam ‘kesialan’ itu. Tapi dalam sujud menyembah, ia mampu berkata “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan!... Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (1:20-22; 2:10)
Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas. (23:10).

Biarlah dalam keadaan apapun, jangan sampai bibir kita berhenti mengucapkan “Tuhan itu baik”. Sekalipun dalam ke-tidak-mengerti-an, jangan ragukan kebaikan Allah. Kita terbatas, Dia Allah yang tidak terbatas. Jangan-jangan dalam keadaan yang sulit itu, sebenarnya diizinkan Tuhan terjadi sebagai "ujian naik kelas". Semua dalam kendali-Nya.

Read More..


"What's in a name? That which we call a rose by any other word would smell as sweet."
Begitu kata William Shakespeare dalam mahakarya-nya: Romeo & Juliet. Terjemahan bebasnya: “Apalah arti sebuah nama? Mawar, sekalipun kita ubah namanya, harumnya tetaplah sama manisnya.” Anda setuju? Kalau saya? Ya dan Tidak.

Sebentar saya tidak setuju dengan pernyataan itu. Nama tetaplah penting! Nama adalah doa dan harapan dari yang memberikannya. Begitulah nanti –orang yang namanya baru saja diberikan –dipanggil untuk seterusnya. Pasti orang tua kita dan ‘pihak-pihak yang terlibat’ dalam pembuatan nama kita, ingin memberikan yang terbaik.

Mari sejenak back to Bible. Tuhan tidak pernah sembarangan memberi nama. Setiap nama pasti ada maknanya. Tuhan bukan asal memberi nama kepada Adam (Kej5:2). Begitu juga Adam memberi nama Hawa (Kej3:20). Atau arti nama Nuh (Kej5:29) "Anak ini akan memberi kepada kita penghiburan dalam pekerjaan kita yang penuh susah payah di tanah yang telah terkutuk oleh TUHAN". Bukan sembarangan pula ketika Allah mengganti Abram dengan Abraham (Kej17:5) “Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham, karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa”. Kemudian ketika memberi nama Ishak, berkatalah Sara: "Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku" (21:6). Si kembar Esau dan Yakub: “Keluarlah yang pertama, warnanya merah, seluruh tubuhnya seperti jubah berbulu; sebab itu ia dinamai Esau. Sesudah itu keluarlah adiknya; tangannya memegang tumit Esau, sebab itu ia dinamai Yakub (25:25-26). Lalu ketika Yakub berganti nama menjadi Israel: “kata orang itu: "Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang" (32:28). Terus ke Musa: “sebab katanya: "Karena aku telah menariknya dari air." (Kel2:10).
Ah, banyak sekali. Setiap nama punya arti sendiri. Tak akan cukup halaman ini untuk menuliskan semuanya. Nama-nama para nabi juga punya artinya sendiri. Bahkan Sang Juruselamat Yesus, yang disebut juga Kristus (Mat1:16) “(Maria) akan melahirkan anak laki-laki dan (Yusuf) akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka... Imanuel" -- yang berarti: Allah menyertai kita (Mat1:21,23)" Kemudian ketika Yesus memberi nama baru kepada Simon: Petrus, sang batu karang (Mat16:18), juga arti nama murid-murid Yesus yang lain. Ketika Rasul besar, Saulus berubah menjadi Paulus (Kis13:9 The names mean "asked [of God]" and "little" respectively. It was customary to have a given name, in this case Saul (Hebrew, Jewish background), and a later name, in this case Paul (Roman, Hellenistic background). NIV Study Bible Notes).
Sekali lagi, terlalu banyak untuk diteruskan. Semua nama (orang bahkan tempat) dalam PL dan PB punya arti, dijelaskan tertulis ataupun tidak. Ada kisah, doa dan harapan di nama itu. Makanya makna nama seharusnyalah baik. Entah apapun dasarnya. Entah itu dari bahasa latin, bahasa asing, bahasa daerah, pasti punya makna baik. Atau bisa dengan mengambil nama tokoh besar (entah dari Alkitab atau tokoh dunia), atau tokoh sehari-hari, di lingkungan sendiri, nama teman lama, atau keluarga, semua yang baik-baik. Harapannya: semoga terus bertumbuh dan menjadi seperti nama yang diembannya.

Tapi saya juga setuju dengan ungkapan Shakespeare di atas. Apalah arti sebuah nama, kalau hanya sekedar nama. Toh, karakter kuat seseorang ataupun kharisma dan kenangannya tidaklah hanya ditentukan dari nama. Contoh Alkitab bisa kita lihat dari Daniel dan 3 temannya. Sekalipun diganti namanya, namun ketaatannya kepada Allah tidaklah berubah. Walaupun penggantian nama ini sebenarnya bukanlah hal sepele. Penggantian nama saat itu sebagai satu cara untuk ‘mencuci otak’ dan menjadikan mereka bagian yang utuh dari bangsa yang tidak mengenal Allah. Supaya diterima sebagai pegawai raja, Daniel dan kawan-kawannya memerlukan kewarganegaraan Babel; hal ini terlaksana dengan memberi mereka nama Babel. Bangsawan muda Daniel ("Allah adalah hakimku") dinamai Beltsazar ("Bel, [dewa tertinggi Babel], melindungi hidupnya"); Hananya ("Tuhan menunjukkan kasih karunia") dinamainya Sadrakh ("Hamba Aku," yaitu dewa bulan); Misael ("Siapa yang setara dengan Allah?") dinamainya Mesakh ("Bayangan pangeran" atau "Siapa ini?"); dan Azarya ("Tuhan menolong") dinamainya Abednego ("Hamba Nego," yaitu dewa hikmat atau bintang fajar). Sebagai penduduk Babel mereka kini mempunyai tanggung jawab resmi. Dan sekalipun memperoleh nama-nama baru, para pemuda Yahudi ini menetapkan bahwa mereka akan tetap setia kepada Allah yang esa dan benar, sekalipun diancam api yang menyala-nyala atau gua singa. Begitu namanya, belum tentu begitu orangnya. Misalnya ketika saya pelayanan ke Lembaga Pemasyarakatan/ Penjara, anda tahu nama-nama mereka? Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Paulus. Wah, wah... Saya merasa seperti berada di jemaat mula-mula :) Semua rasul ada di penjara. Tapi kali ini bukan karena Injil, melainkan narkoba. Apakah nama masih mencerminkan seseorang? Sepertinya tidak selalu. Saya juga mengetahui beberapa orang yang namanya: Derita, yang lain namanya Sedih (mereka ini orang Batak, dan saya memang bingung kenapa nama itu diberikan. Kalaupun untuk mengingat, karena kelahirannya bertepatan pula dengan kepergian anggota keluarga yang lain, mungkin ada alternatif nama lain, seperti Mangapul (artinya menghibur, atau Barnabas dalam Kis 4:36), atau kalau perempuan: Happy), namun dalam kesehariannya, mereka tidaklah sesedih namanya. Jadi baik atau buruk hidupmu, tidaklah selalu bergantung penuh dari namamu. Jangan terlalu bangga dengan nama yang bagus atau ‘hoki’, tunjukkanlah itu sebagai sebuah kebenaran. Nama itu sebuah harapan, jangan sampai harapan tinggallah harapan :) Jangan sedih ketika nama kita ‘mungkin tidak se-keren, tidak sehebat seperti yang kita harapkan kemudian’, hidupmu ada di dalam rencana Allah.
Beberapa 'nama rohani' yang belakangan sering 'diplesetin': Petrus: Penembak Misterius, Matius: Mati Misterius, Markus: Makelar Kasus, dan terakhir Lukas: Lupain Kasus. Hehe... Ada-ada aja...

Bagaimana dengan nama Allah? Allah itu kudus. Karena itu jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan. (Kel 20:7). Tapi, dengan sebutan hormat apapun kita memanggil-Nya: TUHAN, Tuhan, Allah, God, Lord, El, Elohim, Adonai, Yahweh, Jehovah, atau langsung menunjuk Pribadi-Nya: Bapa, Anak, Roh Kudus, Dia tetaplah Allah dengan ke-Maha-Kuasa-an-Nya, kasih-Nya, keperkasaan-Nya, dan karakter-karakter-Nya yang kekal itu, tidak pernah berubah!
Sekilas di ingatan saya, ada 3 momen di saat manusia mempertanyakan nama Allah: Kej32:29 Bertanyalah Yakub: "Katakanlah juga namamu." Tetapi sahutnya: "Mengapa engkau menanyakan namaku?" Lalu diberkatinyalah Yakub di situ. Kemudian cerita Musa di Kel3:13-15 “Lalu Musa berkata kepada Allah: "Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? -- apakah yang harus kujawab kepada mereka?" Firman Allah kepada Musa: "AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun”. Dan satu lagi dalam PB, saat Saulus bertanya (Kis9:5): "Siapakah Engkau, Tuhan?" Kata-Nya: "Akulah Yesus yang kauaniaya itu.”

Siapa namamu, kawan? Dan apa artinya?
Namaku, Kawas Rolant Tarigan. Kawas adalah (bahasa Karo) panggilan bagi setiap laki-laki yang bermarga Tarigan Sibero (hampir saja ada wacana namaku Agus, karena lahir bulan Agustus. Tapi bapak memutuskan: Kawas, supaya orang yang mengerti bisa langsung tahu ‘ciri’ nama ini). Rolant merupakan gabungan nama mamak dan bapak (Rol adalah 3 huruf pertama nama mamak, Ant adalah 3 huruf pertama nama bapak. Jadi aku adalah buah cinta mereka). Tarigan margaku.

Kamu?

Read More..

Aku tinggal di mess. Dulu mess ini bekas lahan kosong, penuh semak belukar dan tanah rawa. Sekarangpun tidak terlalu jauh berbeda dengan kondisinya dulu. Karena selain belum pernah direnovasi sejak dibangun, para penghuninya adalah orang-orang yang penuh kesibukan dan ‘hanya menumpang tidur’ di mess, ditambah lagi rumput cepat sekali bertumbuh di tanah kosong. Alhasil dari semuanya itu adalah: banyak banget nyamuknya. Dan bukan nyamuk biasa! Sepertinya mereka (nyamuk itu) sudah cukup tangguh, lihai, sulit sekali di-caplok dengan tangan.
Itulah kondisi yang kuhadapi tiap saat di mess. Entah waktu nonton TV, waktu membaca, waktu tidur, bahkan waktu nulis tulisan ini. Badan habis merah-merah, gatal, digigit nyamuk yang susah banget digampar. Seringkali membuat kesal, seakan semua usaha yang ku lakukan tanpa hasil. Pukul sana, pukul sini, hanya tepukan tangan yang terdengar. Bahkan terkadang yang rasanya sudah kena di tangan, eh tapi hasilnya tidak kelihatan. Sebel !!! Tapi............. diamlah sejenak, dan lihat 15-30 menit lagi, atau besok pagi, di sekitarku banyak bangkai-bangkai nyamuk, tanpa nyawa. Sudah mati. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Ada kok hasilnya. Aku aja yang sering gak sabar melihat hasilnya ‘pengen langsung kelihatan’.


Kejadian sederhana ini spontan membawaku pada perenungan dalam pekerjaan dan pelayanan. Seringkali sesudah aku merasa melakukan banyak hal, malah sering mengeluh karena tidak langsung melihat hasilnya, padahal kepingin, jadi yang dirasakan hanya capeknya saja. Padahal sesungguhnya belum tentu demikian. Siapa bilang TIDAK ada hasil? Mungkin memang BELUM ada hasil, tapi bukan berarti tidak ada, karena mungkin kita-nya tidak sabar. Atau jangan-jangan sebenarnya sudah ada hasil, tapi kita tidak mampu melihatnya karena ‘konsep’ berpikir kita tentang hasil yang ‘selalu spektakuler’.
Sudah setia mengerjakan hal kecil, rasanya langsung ingin lihat ‘dampak’nya, atau tidak sabar ingin hal besar. Sudah melayani, berkorban, namun kok belum ada pertumbuhan, kok belum ada orang lagi yang dihasilkan, kok belum ada pengaruh kepada orang lain... Ah, sudahlah. Jangan sampai ‘obsesi’ hasil membuat kita lupa mengerjakan bagian kita yang sesungguhnya: tetap setia lakukan yang terbaik, seperti yang Tuhan suruh. Nanti pada waktu dan kemampuan-Nya Allah, Dia akan tunjukkan hasilnya, entah kepada kita, atau kepada orang lain –ketika kita tidak punya kesempatan untuk melihat dan menikmati hasilnya. Tapi kerjakan saja. Toh pada akhirnya pujian dari Sang Tuan merupakan hal yang jauh melebihi segalanya, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat25:21,23).

Ingat, bagian yang kita lakukan adalah ‘memukul nyamuk’. Masakan kalau kita tidak melihat hasilnya (nyamuknya mati), kita berhenti melakukannya? Lakukan aja terus. “Pukul nyamuk”nya. Siapa tau “15-30 menit lagi atau besok pagi” kita lihat hasilnya (bangkainya) di sekitar kita. Tapi kalaupun tidak, setiap ada nyamuk lagi, pukul lagi. Karena itulah yang harus kita lakukan setiap ada nyamuk. Entah dia mati atau enggak. Plok! Plok!

Read More..


Banyak sekali hal yang harusnya kita syukuri. Tapi yang sering terjadi malah kita sulit bersyukur karena terlalu sibuk membanding-bandingkan berkat dengan orang lain. Jadinya lupa bersyukur untuk hal yang sebenarnya jauh lebih banyak dari itu.
Aku juga sering bergumul untuk hal itu. Cemburu, andai saja…, coba kalau…, kok bisa begini, kok bisa begitu, beruntung banget tuh orang, dll dst...
Aku cemburu dengan anak sarjana yang baru masuk dengan golongan dan gaji yang jauh lebih tinggi dari aku. Kalau orangnya memang handal sih gak papa. Tapi kalau dilihat, orang itu enggak unggul-unggul amat, malah banyak yang ‘lucky’, misalnya terbukti tidak capable secara ilmu, sikapnya juga pemalas padahal masih pegawai baru, dan tidak produktif. Masa orang seperti itu layak digaji dengan grade tinggi? Ada yang bilang bersyukurlah, was... kuliah udah gratis. Tapi aku pikir enggak juga. Masa karena kuliah gratis artinya nerima-nerima aja? Kalau gitu, mending aku lanjutin kuliahku S1 dulu, toh aku juga udah ketinggalan setahun. Gitu juga sebenarnya sama pegawai lama, atau kepala seksi yang malas. Rasanya gak adil banget orang-orang yang tidak produktif itu digaji mahal-mahal? Aku juga rasanya sulit menerima dengan ikhlas kalau anak S1 yang seumuranku yang baru diterima di Depkeu langsung golongan III/A dan jauh di atasku, padahal ilmu dan kinerja belum tentu jauh lebih baik. Aku juga kesal setiap kali disinggung entah di TV, atau percakapan sehari-hari tentang pekerjaanku di pajak. Sepertinya berdosa kali pekerjaanku ini. Perihal remunerasi. Banyak yang langsung sinis, ngapain digaji tinggi, padahal masih korupsi? Mau ku colok aja lubang hidung yang bilang kalimat itu. Yang gajinya tinggi itu seberapa sih? Kalau mau dibandingkan, gaji di pajak itu (apalagi untuk pegawai seperti grade-ku) gak ada apa-apanya dibanding pegawai instansi lain yang (padahal) tiap tahun merugi itu, atau perusahaan swasta yang lain, jangan langsung bandingkan ke bawah terus. Padahal pajak yang cari duit, instansi lain itu yang habiskan. Kalau remunerasi dicabut, benar-benarlah negeri ini negeri gila! Yang tidak bisa menghargai perjuangan orang benar. Kasihan orang-orang yang selama ini berjuang, bekerja jujur, harus menelan imbas kesejahteraannya terancam akibat ulah orang-orang yang kurang ajar. Padahal pajak memulai reformasi, termasuk dalam hal kesejahteraan pegawai. Harapannya nanti ,semua pegawai, entah itu negeri, swasta, guru, aparat penegak hukum, bahkan buruh, apapun, harus digaji layak, tinggi, namun harus berbanding lurus dengan produktivitas kerjanya (kecuali dalam kondisi kesehatannya) dan integritas kerjanya. Ketika tidak produktif, tidak jujur, langsung kasi punishment, entah itu tidak digaji atau dipecat atau dipenjarakan. Apa nunggu bersih total dulu suatu instansi baru layak digaji tinggi? Kalau begitu, DPR gak akan pernah mendapat gaji tinggi. Aku kesal melihat orang curang tidak kena jerat. Aku kesal melihat orang malas bertambah malas karena tidak pernah mendapat sanksi. Pinter goblok rajin malas gaji sama, bahkan lebih tinggi yang goblok malas. Aku kesal melihat orang kaya bertambah kaya karena ketidak jujurannya. Aku kesal melihat anak yang dengan gampangnya beli handphone, motor, mobil, padahal tidak berjuang apa-apa, hanya karena bapaknya adalah orang kaya, dan dia kecipratan jadi anak orang kaya, gak usah susah cari kerja, tinggal kawin aja gampang. Itupun sebelum kawin udah tersedia rumahnya lengkap dengan isinya, kulkasnya pun dengan isinya, mobilnya, tinggal nempatin doang. Ckckck... Ada juga anak yang udah sekolahnya mahal, gak serius pula belajar. Aku juga kesal melihat anak yang terlalu dihargai berlebihan, masuk kuliah dibeliin mobil, kalau nilai baik liburan ke luar negeri. Aku kesal melihat orang yang sering merendahkan orang berintegritas, sebagai orang sok suci, sok jujur. Pengennya orang-orang itu dilemparkan aja ke penjara yang paling suram dimana ada ratap tangis dan kertak gigi, kalau mereka tidak segera menyadari kesesatannya. Ah, banyak kali yang ku kesalkan. Tapi untuk apa kulanjutkan?
JAUH LEBIH BANYAK HAL YANG HARUS AKU SYUKURI. JAUH LEBIH BANYAK BERKAT TUHAN YANG TELAH TERSEDIA DAN TELAH TERCURAH, YANG TIDAK SELALU BISA DIUKUR DARI MATERI. Terima kasih Tuhan buat jantung yang masih berdetak, buat nafas kehidupan, buat bangun pagi, buat tidur nyenyak, buat doa-doa yang kupanjatkan dan dipanjatkan untukku, buat bapak, mamak, kakak, abang, keluarga yang lain, buat sahabat-sahabat di KTB, rekan pelayanan, teman-teman, buat Misni yang selalu memberi penguatan, buat senyuman yang masih melengkung di bibir, buat kesempatan untuk memberi, buat kesempatan untuk melayani, buat kesempatan untuk bekerja, buat matahari, bulan, bintang, udara, buat air putih yang ku minum dan makanan yang ku makan tadi pagi, siang ini, malam nanti..... ah banyaklah..... terima kasih Tuhan buat semua hal dalam hidupku, buat cinta dan kasih, buat suka duka yang Tuhan pakai untuk kebaikanku, terlebih buat anugerah hidup kekal, sungguh tak ternilai dan tak tergantikan. Tidak pernah habis untuk menuliskan semua berkatmu dalam hidupku. Ketika aku mencoba menghitungnya, aku tak akan menemukan jawabannya. Lagu riang ini justru sempat membuatku menangis. Perhatikan kata per katanya secara lengkap:

Bila topan k’ras melanda hidupmu, bila putus asa dan letih lesu
Berkat Tuhan satu-satu hitunglah, kau niscaya kagum oleh kasih-Nya
Berkat Tuhan mari hitunglah, kau kan kagum oleh kasih-Nya
Berkat Tuhan mari hitunglah, kau niscaya kagum oleh kasih-Nya

Adakah beban membuat kau penat, salib yang kau pikul menekan berat?
Hitunglah berkat-Nya pasti kau lega, dan bernyanyi t’rus penuh bahagia

Bila kau memandang harta orang lain, ingat janji Kristus yang lebih permai
Hitunglah berkat yang tidak terbeli, milikmu di sorga tiada terperi

Dalam pergumulanmu di dunia, janganlah kuatir, Tuhan adalah!
Hitunglah berkat sepanjang hidupmu, yakinlah,malaikat menyertaimu!

“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.“ (1Tes5:18)

Read More..


Saya tidak setuju dengan judul ini. Saya juga merasa judul ini adalah pernyataan yang salah. Tapi kenapa saya tulis judulnya begitu? Karena saya juga mikir jangan sampai begitu, atau bisa juga supaya anda ingin tahu dan baca tulisan saya.
Saya cuma terpikir sekilas tentang judul ini ketika melihat berita di TV (yang sama sekali bukan tentang gereja), ada orang-orang pintar, berbakat, unggul, tapi tidak dihargai di negeri ini, malah dikesampingkan, padahal dunia mengakui keunggulan dan kehebatan orang ini, dan ingin memakai tenaganya untuk kemajuan dunia. Akhirnya ketika diberi kesempatan, dia terima tawaran itu. Muncullah pertanyaan yang sulit dijawab pasti, malah lebih banyak dari mereka yang selama ini tidak menghargai: “Kenapa meninggalkan Indonesia? Apa gak sayang sama Indonesia? Katanya ingin membangun Indonesia?”. Entah apa jawaban sebenarnya dari persoalan itu. Secara netral pasti penuh pergumulan: ingin tinggal dan berkarya di negeri ini tapi tidak dihargai; mengambil kesempatan yang ada untuk berkarya bagi dunia malah harus meninggalkan Indonesia?

Aku terpikir. Jangan-jangan kejadian ini identik dengan yang terjadi di gereja (church) dan lembaga pelayanan sebagai perpanjangan tangan gereja (parachurch).Ada orang yang terlibat aktif dan bertumbuh dari parachurch, entah itu lembaga pelayanan siswa/ mahasiswa/ alumni/ kaum profesional, pelayanan medis, tim misi, pelayanan kaum marjinal. Banyak jiwa yang telah menikmati hasil pelayanan dan pengabdian mereka. Tetapi ketika balik ke gereja untuk membangun gerejanya menjadi komunitas yang sehat dan bertumbuh, malah sering tidak dihargai. Dianggap membawa pembaruan yang aneh, atau tidak se-visi, atau apalah. Memang dituntut kerendahan hati untuk pelayanan ini. Namun tantangan ini seharusnya bukan menjadi alasan untuk setiap orang yang telah menikmati banyak pembinaan dari parachurch untuk tidak kembali membangun dan memperbaiki church. Kembalilah, dan bangun church kita yang dulu, biar orang juga bisa menikmati pertumbuhan yang kita nikmati. Banyak orang memang akhirnya hanya sekedar simpatisan dan pendoa bagi church-nya, karena malah lebih bisa menjadi berkat di parachurch. Ini harus menjadi perhatian penting, butuh pergumulan yang sungguh, supaya kita tidak melayani asal melayani, tetapi pelayanan yang berkenan kepada Allah, dimana Dia ingin kita melayani dan apa yang harus kita kerjakan, sekalipun itu sulit.
Jangan sampai gereja Tuhan hanya sebatas bentuk organisasi dan lembaga-lembaga yang terkotak-kotak dan men-cap pelayanan masing-masing. Gedungnya saja yang semakin tinggi dan megah, namun kehadirannya tidak dirasakan oleh siapapun. Seharusnya church dan parachurch bergandengan tangan, kerja sama-sama. Bukankah kita melayani Allah yang sama? “Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri.Karena (kita) adalah kawan sekerja Allah; (jemaat) adalah ladang Allah, bangunan Allah”. (1Kor3:7-10).
Kalau kita bisa bergandengan tangan mengerjakan visi Allah bersama-sama, pasti akan menjadi kesaksian bagi dunia sekitar kita. Mereka akan merasakan dampak kehadiran gereja Tuhan di tengah-tengah mereka, yang bukan sebatas lembaga, tetapi perwujud-hadiran Allah di tengah dunia. Dan itu akan membawa pengaruh bagi masyarakat sekitar, bagi kota, bagi bangsa, negara atau bahkan dunia.

Read More..

Bulan ini banyak kejutan kecil. 2 April itu Jumat Agung dan tanggal 4 Paskah. Di 4 hari gak kerja di akhir minggu itu, aku ikut jalan-jalan ama keluarga ke Puncak, Bogor. Eh, ternyata, tanggal 4-nya, pas ibadah di rumah, disuruh tante untuk bawa renungan Firman. Kaget, senang dan takut. Kaget karena baru dibilang berapa jam sebelumnya. Senang, karena merasa dianggap, kapan pula ‘anak muda’ bawa firman kepada orangtua dan anak-anak, lagian mereka ingin mendengar firman dari ‘anak persekutuan’ katanya. Senang juga karena ini kesempatan yang entah kapan lagi akan datang untuk memberitakan Injil, bahwa kita manusia berdosa, masalah utama kita adalah dosa, solusi kita adalah keselamatan, makanya Allah datangkan Juruselamat, Yesus mati disalibkan sebagai ganti penghukuman atas kita, dan bangkit sebagai bukti kemenangannya atas maut, sebagai dasar pengharapan kita untuk setia mengikut Dia, karena Dia Allah yang menang. Masalahnya, maukah engkau buka hati dan menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi? (kaget,senang) dan terakhir, jujur aja ada rasa takut karena harus menyampaikan Injil ini dengan persiapan yang terbatas.
Dalam liburan itu juga kami berjalan-jalan ke Taman Bunga Nasional dan Kota Bunga. Di taman bunga, kita memang disuguhkan pemandangan yang sangat indah dengan bunga-bunga bermekaran, dan udara yang sejuk. Suasana ini memang cocok untuk refreshing dan sejenak membuat lupa akan masalah-masalah yang lain. Namun pulang dari sana, kembali lagi ke dunia kita, mungkin tetap menghadapi masalah yang sama, namun dengan pikiran yang lebih jernih dan tenang. Ada kebenaran teologis di sini, bahwa hidup tak selamanya seindah kebun bunga, kawan. Jangan terlena. Kita harus sadar bahwa kehidupan nyata juga terdapat lembah kekelaman. Namun kita bisa melewatinya bersama dengan Allah, baik dalam kebun bunga maupun lembah.
Di Kota Bunga, aku melihat begitu banyak rumah mewah dengan fasilitas lingkungan dan sarana rekreasi yang lengkap. Hampir semua rumah sudah laku, berisi perabot lengkap tapi kosong, dan mobil berparkiran dimana-mana. Mobil mana? 90% plat Jakarta. Artinya mayoritas pemilik rumah di situ adalah penduduk Jakarta, yang artinya punya rumah juga di Jakarta, dan hanya ke sini kalau liburan. Pantaslah wilayah hijau di Puncak semakin sempit. Gaya hidup orang semakin hedonis, yang penting punya rumah, entah siapa dan kapan ditempati. Sempat kepikiran, kalaulah semua orang kaya itu menjual ‘aset’ mereka yang di Kota Bunga itu, aku pikir bisa menutupi (bahkan mungkin melunasi) banyak utang Indonesia atau perbaikan taraf hidup masyarakat…
Tanggal 10, Paskah Perkantas, dan aku juga terkejut, karena seminggu sebelumnya diminta untuk jadi pendoa syafaat. Ini tugas berat bagiku, karena jujur aja, udah beberapa waktu aku tidak berdoa secara spesifik bagi bangsa yang sedang amburadul ini. Diminta untuk mendoakan kondisi bangsa. Aku pikir dalam hati, apa karena kasus pajak lagi marak-maraknya terungkap, makanya aku dipilih jadi pendoa syafaat? Hahaha...
Tanggal 17 kami KTB’05, membahas kitab Yunus, sang Nabi yang lari dari panggilan. Dan berefleksi, bagaimana kasih kami terhadap bangsa yang sangat butuh pertolongan Allah ini, seberapa rindu kami berdoa agar Indonesia yang berpenduduk 275 juta ini bertobat, dan adakah selama ini sikap kami yang mengindikasikan ‘lari’ dari panggilan awal?
Tanggal 20, ulang tahun PMK STAN yang ke 31. Allah yang setia yang terus memelihara persekutuan dan pertumbuhan di PMK STAN, menghasilkan satu demi satu alumni yang menjadi berkat bagi bangsa ini khususnya di Kementerian Keuangan. Aku berdoa, dalam pasang surut perjalanan PMK STAN, kiranya ada orang-orang yang tetap setia mengerjakan panggilannya di kampus, dalam studinya dan pekerjaan nantinya. Pekerjaan Allah tidak akan terhenti.
Selebihnya, selama bulan April juga, aku mengerjakan pelayanan di tim doa Paskah Bona Pasogit. Perayaan Paskah khususnya bagi orang Batak di Jabodetabek, sekitar 10.000 jemaat. Sesungguhnya kemenangan rohani dalam kebaktian penginjilan ini adalah di dalam doa, karena itulah ada tim doa. Terus berdoa bukan hanya bagi persiapan acara, tapi juga jemaat, biar Tuhan tanamkan kerinduan untuk datang apapun cuaca dan kondisinya, Tuhan buka hatinya, sehingga pada hari H ketika Firman Tuhan disampaikan, Roh Allah bekerja secara leluasa dalam hati setiap orang. Itulah yang kami doakan. Di situ jugalah kami beriman, Injil itu adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya, dan betapa Allah sangat mengasihi satu jiwa yang datang kepadanya, termasuk orang Batak, dari kondektur sampai direktur. Horas!

Read More..

Regards,

Kawas Rolant Tarigan




Yang rajin baca:

Posting Terbaru

Komentar Terbaru

Join Now

-KFC- Kawas Friends Club on
Click on Photo