Kawas Rolant Tarigan

-now or never-

.


Pagi itu tampak seperti biasanya. Tidak ada yang berbeda. Saya berangkat ke kantor, dan bekerja seperti hari-hari biasanya. Kantor yang sama (KPP Pratama Karawang Utara), Seksi yang sama (Pelayanan) dan TPT (Tempat Pelayanan Terpadu) yang sama, tepatnya di Loket 3. Ya, sebagai frontliner, banyak Wajib Pajak (WP) yang memanggil saya dengan “Bapak Loket 3”. Tak apalah; saya juga senang dipanggil seperti itu, bagi saya itu suatu penghargaan dari WP yang mengkaitkan identitas saya dengan loket yang saya tanggungjawabi. TPT memang unik, berbeda dari yang lain. TPT-lah ‘wajahnya’ DJP. Pertama sekali WP menilai DJP dari pelayanannya, ya di TPT itu. Bahkan ‘TPT’ sering menjadi kata ganti bagi ‘DJP’. Kalau WP merasa senang dilayani di TPT, dia akan bilang, “DJP sekarang bagus ya...”, atau sebaliknya. Maka, kami petugas TPT dituntut memberikan servis terbaik dalam pelayanan prima; termasuk penampilan. Walau wajah saya pas-pasan, tapi ikut dituntut untuk memaksimalkan yang pas-pasan ini: rambut mengkilap, baju rapi, dan senyum simpul yang mempesona hati. Biasanya hanya bertahan sampai tengah hari (jam 12 siang), habis itu, sirnalah rambut yang mengkilap, pudarlah wajah yang merona, dan semakin sempitlah senyum yang tersimpul tadi. Semakin siang, semakin lelah, apalagi kalau tanggal-tanggal ramai, puncak pelaporan SPT Masa, berjuang untuk mengalahkan rasa lelah (dan amarah).

Siang itupun tiba. Saya memanggil antrian selanjutnya, dan datanglah seorang Bapak berwajah sangar yang tak asing lagi bagi saya. Dia memang sering datang, dengan SPT-nya yang banyak, dengan CV-nya yang banyak, dan NIHIL semua. Kami sering membahasakannya dengan “CV. NIHIL JAYA” untuk SPT yang dibawa para calo –SPT yang tak pernah berisi angka di kolomnya selain tulisan “NIHIL”. Sedihnya, kebanyakan WP jenis ini adalah rekanan Pemda. Sudah lama saya berpikir, bagaimana cara terbaik untuk menghentikan (paling tidak, memperlambat) gerak komunitas calo ini. Ternyata ini terjadi hampir di semua KPP, namun belum ada solusi terbaik. Saya melihat titik terang di pasal 4 ayat (3) dan pasal 32 UU KUP, bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan (mengisi, menandatangani, termasuk pelaporan SPT) yang dilakukan bukan oleh pengurus WP yang bersangkutan, harus menggunakan Surat Kuasa Khusus. Nah, saya punya celah, dan akan saya lakukan untuk Bapak yang berwajah preman ini. Dia datang ke Loket 3, singgasana saya, memberikan SPT yang banyak. Saya membuka pembicaraan, “Pak, untuk pelaporan SPT yang bukan punya Bapak, atau dititip, Bapak harus buat Surat Kuasa”. Nadanya langsung tinggi, “Ah, jangan mempersulit, kemarin-kemarin bisa kok, di kantor lain masih bisa kok”. Aduh, 2 frase jitu ini yang paling sering digunakan WP sebagai senjata: “kemarin-kemarin bisa kok” (padahal yang “kemarin-kemarin bisa” itu seringkali karena belas kasihan dari petugas TPT agar WP bisa melapor hari itu juga), dan frase kedua: “di kantor lain bisa kok” (karena memang banyak sekali masalah teori dan teknis yang KPP-KPP belum satu suara). Saya cuma bisa membalas, “Peraturan ini kita terapkan berdasarkan Undang-Undang, Pak. Bapak silahkan baca ketentuannya (KUP), atau berkonsultasi dengan AR Bapak”. “Ah, kamu jangan mengada-ada”, sambarnya. “Udah terima aja. Jangan mempersulit”. Saya tetap bertahan, “Gak bisa, Pak. Ini sudah peraturan. Dan ini juga untuk tertib administrasi, supaya WP yang bersangkutan sebisa mungkin melaporkan sendiri SPT-nya, tidak melalui perantara (perantara?? dalam hati pengen bilang ‘calo’, khususnya bagi komplotan CV.NIHIL JAYA). Maaf, Pak, SPT-nya gak bisa saya terima”. “Kamu mau melawan saya?”, tantangnya. Gubraakk !! Dia sambil memukul meja. “Kamu masih muda gak usah cari masalah. Kamu orang mana kamu? Kamu orang mana? Pendatang kamu kan? Saya orang asli ini. Hati-hati kamu”. Dia teriak di TPT kami yang kecil. WP yang banyak hanya menonton diam. Teman-teman di loket lain, masih menjaga loketnya masing-masing. “Orang mana kamu?”. Saya mulai gentar, tapi entah dari mana datang keberanian ini, “Saya orang Medan, Pak. Saya memang pendatang di sini, tapi saya melaksanakan tugas”. “Oh... orang Medan. Orang jauh ternyata... Hati-hati kamu ya.. Awas kamu, berani sama saya”, ancamnya sambil merapikan berkas SPT-nya. Keras kepala saya muncul saat itu, mungkin karena terbawa emosi, saya masih saja meladeni kalimatnya, “Iya, Pak. Saya hati-hati, Terima kasih”. Tampaknya dia semakin panas, dan terus memelototi saya, sambil berjalan sampai di pintu keluar. TPT rasanya senyap sekali sesaat setelah kejadian itu. Jantung saya berdebar, keringat mengucur, jujur saja, saya shock, saya pergi ke toilet, cuci muka, menenangkan diri. Itu terjadi saat saya baru beberapa bulan ditempatkan di Karawang. Sebagai anak kampung, memang muncul ketakutan saya saat itu, walau berusaha kelihatan tegar. Hampir 2 minggu saya tidak percaya diri untuk berpergian sendiri, untuk makan, belanja, jalan, di parkiran. Saya gelisah, takut kenapa-kenapa. Saya berpikir, “masih baru banget saya ditempatkan di sini...masih sangat panjang waktu ke depan yang harus saya jalani untuk bekerja di sini, menunggu dimutasi. Kalau saya dikalahkan oleh rasa takut ini, berapa tahun lagi saya harus bekerja dalam tekanan dan penderitaan? Saya harus bangkit, berani. Tuhan pasti menjaga. Saya memang pendatang di sini, bahkan di dunia ini. Ini hanya sementara, jangan takut”.


Sekarang… dua tahun telah berlalu setelah kejadian itu. Ternyata sampai detik ini saya aman-aman saja. Justru setelah saat itu, saya tidak pernah bertemu Bapak itu lagi, bahkan wajahnya pun sirna dari ingatan saya, saking lamanya tidak bertemu. Saya masih sehat sentosa sampai sekarang, bahkan menulis berbagi kisah ini bagi Anda. Masih di seksi yang sama, dan loket 3 yang setia. Saya menikmati pekerjaan ini. Memang, sempat dalam masa-masa kalut itu, saya hampir saja terjebak untuk menyerah, “ngapain nyusahin diri sendiri? Rela capek untuk kantor/ negara? Negara aja gak menjamin nyawamu. Ngapain kau mau kerja keras di TPT: lebih capek, waktu istirahatnya ketat, gak boleh ijin, harus standby, loket gak boleh kosong, setiap hari berhadapan dengan orang banyak, ditanya ini itu harus jawab, belum lagi pekerjaan back office yang harus dikerjakan sebagian. Capek! Bandingkan dengan seksi lain:
lebih enak, berhadapan dengan berkas dan komputer yang gak bisa marah, lebih fleksibel kalau mau keluar, ijin, pakai sandal, ketawa ketiwi, main game, internetan, gak perlu rambut mengkilap dan senyum lebar sepanjang hari. Gajimu sama (bahkan lebih rendah), grademu lebih rendah (lagi!), dan kau rela mengorbankan kenyamananmu untuk itu? Untuk apa?”. Untunglah bisikan iblis ini tak meraja di hati. Bersyukur di dalam doa dan persekutuan dengan para sahabat setia, saya dikuatkan: “betapa bodohnya aku kalau kerjaku hanya diukur dari uang, penghargaan, dan hal-hal sementara lainnya, yang sekarang ada dan besok tiada. Bukankah semua ini aku lakukan dengan tulus sebagai ibadah yang nilainya kekal dan tidak bisa diukur secara materi? Rasa syukur dan ikhlas karena pekerjaan ini melebihi segalanya”. Saya hampir terjebak dalam self pity: ‘kasihan sekali saya’. Tapi saya makin belajar bahwa, orang yang kasihan bukanlah orang yang dipusingkan oleh pekerjaannya. Orang yang patut dikasihani justru adalah mereka yang beranjak bangun dari tempat tidurnya di pagi hari, minum kopi atau teh, berjuang melawan kepadatan lalu lintas untuk pergi ke tempat kerja yang sama, makan siang di tempat yang sama, pulang ke rumah pada jam yang sama, menonton tv, dan kemudian tidur lagi, besok kerja lagi, sampai pensiun, dan mati tanpa berkarya.

Orang jarang putus asa di bawah tekanan pekerjaan. Mereka justru putus asa karena tidak memiliki aktivitas yang bermakna. Tantangan terbesar dalam hidup bukan ketika Anda bekerja keras. Tantangan itu justru terjadi ketika Anda tidak mempunyai pekerjaan sama sekali untuk dikerjakan. Wah, betapa beruntungnya kita teman-teman... wahai kita yang berkarya dan bekerja keras bagi bangsa ini, dalam setiap hal-hal sederhana yang kita lakukan, tapi bermakna. Pikiran ini sering sekali saya munculkan dalam pikiran saya setiap kali rasa jenuh mulai hinggap: “Betapa mulianya pekerjaan ini. Dari lembar demi lembar laporan dan SSP yang saya terima, dari jumlah yang kecil hingga terbesar, di suatu tempat di luar sana, ada anak yang dibiayai sekolahnya dari uang pajak, ada guru yang di usia tuanya masih mendapat gaji untuk menghidupi keluarganya, ada petani yang terbantu usahanya, ada jalan yang diperbaiki, ada bapak yang masih bisa mengumpulkan beras untuk besok pagi...”, meskipun saya tidak bisa melihat langsung impian ini semua, tapi saya sungguh sadar, bekerja di DJP ini adalah satu anugerah, bukan untuk disesali, tapi disyukuri. Saya juga sadar, peran saya masih sangat amat teramat keciiiiiiillll sekali bagi bangsa ini, tapi saya bersyukur untuk itu. Kalau kita masih bekerja ogah-ogahan, betapa tak tahu bersyukurnya kita, banyak orang yang ingin namun tidak seberuntung kita untuk dapat bekerja di instansi ini, mungkin termasuk di antara mereka yang sering mencaci maki instansi ini (jangan-jangan mereka sebenarnya ingin juga bekerja di DJP). Setialah mengerjakan hal-hal kecil, siapa tahu itu bisa berdampak besar. Mungkin kita hanya bertanggungjawab untuk sebuah tugas dan pelayanan kecil, mungkin menurut orang lain tanggung jawab ini tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan tanggung jawab besar lainnya. Namun janganlah kita sampai kehilangan inti dari apa yang kita kerjakan. Dalam tugas-tugas yang terkecil sekalipun, kita bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ada prinsip dasar yang harus dipegang, yaitu kita sedang menyampaikan sesuatu kebenaran, integritas yang sesungguhnya justru dibuktikan bagaimana kita setia dalam perkara yang kecil. Dalam keseharian, sebetulnya kita sedang diamati, bagaimana cara kita menangani tugas-tugas kecil dan menjengkelkan, bagaimana cara kita merespon orang-orang yang sulit ditangani, bagaimana cara kita berkomunikasi, bagaimana cara kita merespon di saat sedang lelah; dalam semua ini kita menunjukkan jati diri kita yang sesungguhnya. Terlalu sedih rasanya jika memikirkan kegagalan-kegagalan kita. Terlalu naif pula kalau kita menganggap diri sempurna. Kita semua tahu betapa rentannya kita untuk terus bergumul dengan ketidak-konsistenan dan kegagalan yang dirahasiakan, dalam menjawab panggilan untuk hidup tak bercacat, kita seringkali menjalaninya dengan perlahan dan terseok-seok. Namun Tuhan menghadirkan keluarga dan para sahabat, yang terus mendorong kita untuk maju. Yakinlah, kita tidak mungkin menjadi single fighter, kita butuh komunitas, kita butuh teman seperjuangan. Sadar akan hal ini, saya teringat sewaktu hari Valentine Pebruari yang lalu, saya dan para sahabat kampus dulu yang bekerja di Jakarta, Kementerian Keuangan, melakukan suatu hal yang menarik, kelompok kecil kami berkirim surat dan coklat bagi semua teman-teman dekat kami yang bekerja di Indonesia bagian timur. Kami berharap bisa ambil bagian dalam menyemangati mereka bekerja –yang jauh dari homebase, apalagi untuk jangka waktu yang lama. Saya tahu benar, saya tidak berjuang sendiri. Ada banyak orang, yang mengalami kisah (bahkan lebih berat) demi integritasnya bagi bangsa ini. Mungkin Anda. Ketika Anda membaca ini, Anda pun adalah teman seperjuangan, asalkan kita punya visi yang sama bagi kemajuan bangsa ini. Tidak usah terlalu berharap juga, kalau kita bekerja keras dan jujur, maka akan disukai semua orang. Ini sudah hukumnya: orang jahat tidak suka kalau orang baik bertambah banyak. Justru ada suatu anomali kalau kita disukai semua orang. Kemalasan dan ketidakjujuran belum menjadi musuh semua orang, masih ada yang senang memeliharanya. Jadi jangan surut karena ‘ketidaksenangan’ oknum tertentu. Senangkanlah sebanyak mungkin orang, tapi tidak mungkin semua orang. Paling tidak, DJP ini lebih baik sewaktu kita tinggalkan nantinya, dibanding sewaktu dulu kita memasukinya; bahkan dunia ini menjadi lebih baik sewaktu suatu saat nanti kita meninggalkannya. Ini pertanggungjawaban kita di akhirat. Karena itu setialah.

Itu sedikit cerita dari banyaknya kisah yang saya dapati di dunia per-TPT-an yang kaya ini. Masih banyak hal yang tak tertuliskan di sini. Bagaimana saya mengurusi NPWP para Pensiunan yang tak bisa berbahasa Indonesia. Saya yang punya lidah Batak harus belajar bahasa Sunda halus, ieu, Pak punteun NPWP-na, hatur nuhun atos ngadameul NPWP”. Bagaimana saya menolak amplop dari WP, mulai dari yang tipis sampai (sepertinya) agak tebal; mulai dari yang berpakaian dinas, sipil, aparat, sampai bercelana pendek; mulai dari WP yang punya bengkel sampai pabrik baja. Bagaimana suka duka mengurus SPMKP, SPMIB ke KPPN. Bagaimana nama panggilan saya kadang berganti jadi ‘Gayus’ kalau berkumpul dengan saudara dan teman lama dulu: “Woi gayus.”, “Wess.... si gayus datang”. Padahal saya lebih senang dipanggil, “Eh, Bapak loket 3”. “Mau ketemu siapa neng?”, “itu... ehm... Bapak loket 3”. Hehehe. Tak apalah nama saya dilupakan oleh manusia, asal jangan oleh Sang Pencipta. Saya juga tak bisa lupa bagaimana akhirnya WP berkata di loket 3, “Sekarang kantor pajak udah beda ya pak..”, “Saya senang lho kalo ke kantor ini..”. Wah, itu sangat menghibur saya. (cerita-cerita ini akan saya ceritakan kalau ada sesi berikutnya. Hehe). Saya bersyukur sekali, di usia yang masih muda, masa kerja yang masih hijau dibandingkan para tetua di DJP, saya diijinkan untuk mencicipi pengalaman ini dari awal.

O iya, ngomong-ngomong tentang tersenyum di TPT, jadinya saya belajar bagaimana cara tetap tersenyum, meski lelah, meski hati saya sedang dirundung badai. Kadang saya cukup memejamkan mata, mengingat berkah Sang Khalik dan bersyukurtak terasa bibir saya sudah melengkungkan senyuman. Hidup tak selamanya seindah kebun bunga, akan datang saat-saat badai datang untuk menguji ketangguhan kita, dalam pekerjaan, dalam keluarga. Jadi, keputusannya ada di kita, bagaimana tetap tersenyum di tengah badai... bila topan k’ras melanda hidupmu. Walaupun tidak harus belajar di TPT, tapi bisa belajar banyak dari TPT, pelajaran berharga dari TPT. Ah... saya ingin memejamkan mata dulu... mumpung sedang tidak di TPT.


*tulisan ini adalah naskah asli dari artikel (yang telah di-edit) dengan judul "Bapak Loket 3", yang telah diterbitkan di Buku Berkah (Berbagi Kisah dan Harapan) 2, Berjuang di tengah badai ; oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Hari Anti Korupsi Sedunia. 06122011.

Read More..

Regards,

Kawas Rolant Tarigan




Yang rajin baca:

Posting Terbaru

Komentar Terbaru

Join Now

-KFC- Kawas Friends Club on
Click on Photo