Kawas Rolant Tarigan

-now or never-

Jangan pakai baju yang mudah kusut…
(Goresan di tengah kejenuhan magang)

Awalnya semangat, tapi lama-lama lesu. Terkadang semangat lagi, terus lemas lagi. Kenapa? Karena pekerjaannya begitu-gitu saja, bahkan tak ada pekerjaan lagi. Itu yang aku rasakan sewaktu magang ini. Bagaimana dengan teman-teman? Entahlah, tapi beberapa orang yang aku tanya, hampir sama kondisinya.
Sepertinya ada yang “kurang pas”, dan kalau kita mau jujur, beberapa kondisi yang selama ini menyebabkan kenapa magang diharapkan semoga cepat berlalu:

> Kondisi pertama: tantangan kerendahan hati.
Seringkali kita (baca: magangwan :D ), merasa tidak dianggap. Dikasih pekerjaan (yang menurut kita) “kurang layak” untuk seorang tamatan D3 STAN: pemberkasan [sortir, ngikatin berkas, bolongin kertas, fotokopi, transporter (antar sana, antar sini)], AR (ahli rekam), operator telepon, sekretaris dadakan, atau yang lainlah, sesuai kondisi di kantor masing-masing. Hal ini akhirnya menimbulkan kebosanan karena tidak menikmati lagi pekerjaan itu. (Padahal aku pernah mendengar pengakuan seorang pegawai, yang kerjanya itu terus selama sekian tahun).
Ada juga kondisi “serba salah”. Pertama, dikasih banyak kerjaan mengeluh, tidak dikasih pekerjaan merasa tidak dianggap (atau terkadang senang juga awalnya, bisa istirahat, facebook, YM atau browsing. Tapi lama-lama tidak dikasih juga bosan, atau terkadang tersinggung. Ada jenis pekerjaan yang memang harus dikerjakan oleh pegawai (yang sudah PNS), sehingga kita (yang CPNS pun belum) bukan bagiannya untuk pekerjaan itu, sehingga posisi kita kesannya “gantung” dan hanya bersifat membantu.
“serba salah” yang kedua: disuruh kerja oleh anak D1: tersinggung, disuruh kerja oleh yang lain: cemburu melihat anak S1 yang (kita anggap) “beruntung”. (apalagi yang ngasih kerjaan itu orangnya belagu dan malah jadi nyantai karena kerjaannya sudah kita kerjakan. Ditambah pula lagi, hasil kerja dari kita, tapi orang lain pula yang dihargai. Betapa membaranya panas hati ini). Rajin kena, malas kena.

> Kondisi selanjutnya: pengujian “tidak sabar”.
Tidak sabar ingin menunjukkan “jati diri sebagai alumni yang sesungguhnya”. Maksudnya? PNS Depkeu yang sesungguhnya. Bukan orang yang pergi pagi pulang malam, penghasilan di bawah UMR. Tujuannya apa? Untuk tujuan mulia sebenarnya. Memberikan “kejutan” kepada orang tua dari hasil gaji kita sendiri, membantu orang lain mungkin, memenuhi beberapa keinginan terpendam selama ini dengan penghasilan sendiri, memberikan persembahan pengucapan syukur atau menjadi donatur bagi suatu event (sudah dihubungi beberapa panitia, tapi sepatah katapun tak terucapkan karena bingung menjelaskan kondisi prasejahtera ini). Padahal masih magang, sampai waktu yang tidak ditentukan, dan merasa menjadi orang yang paling malang, karena masa magangnya dianggap sebagai masa magang paling lama di dunia. Padahal sebenarnya pernah juga angkatan-angkatan sebelumnya magang “sepanjang” ini, jadi sebenarnya masih agak wajarlah. Tapi itu tidak bisa diterima, karena rasanya sudah terlewat lama magang ini. Waktu magang dan penempatan yang tidak jelas ini juga berpengaruh pada pergumulan pelayanan di masa sekarang yang lagi regenerasi (mengambil komitmen memimpin kelompok kecil atau tidak, menjadi pengurus atau tidak, karena ketidakjelasan waktu dan tempat).

> Kondisi selanjutnya: “ketidak-mengertian” orang-orang, dan kesusahan penjelasannya.
Di rumah: bapak, mama, dan orang-orang rumah bertanya: “Kapan penempatan?”. “Belum tau”. Di kantor: “Sudah penempatan mas?”, di gereja: “Sampai kapan kerja di sini?”, di arisan-arisan/ perkumpulan keluarga: “Sudah kerja di sini? Kami rasakanlah dulu gajinya…”, di jalan: “Bro, udah ditempatkan?”, di facebook: “Ada kabar penempatan? Ada kabar baru? Ada gosip? Apa itu penempatan?”. Semua hanya dijawab dengan senyum, susah menjelaskan yang namanya “magang STAN”.
Itulah beberapa kondisi umumnya. Teman-teman bisa menambah kondisi-kondisi lain, yang teman-teman alami.

Sering aku merenungkan hal ini. Kalau magang hanya menghabiskan waktu begini, untuk apa? Kerjaku di gudang berkas, awalnya aku pikir, tidak usahlah memakai baju yang mudah kusut, karena kerjanya melantai (lesehan) dan ngangkat-ngangkat. Kemudian lama-lama aku perhatikan, banyak juga pegawai yang malas dan tidur sewaktu jam kerja (ataupun setelah istirahat). Akupun tergoda juga. Besok-besoknya pikiranku masih sama: jangan memakai baju yang mudah kusut, tapi tujuannya beda: supaya tidak ketahuan sehabis bangun tidur. Dalam hati tetap berontak: kalau begini magangnya, ngapain magang? Bukankah magang adalah melatih diri kerja di lapangan? Kok begini? Ini namanya melatih diri (memagangkan diri) untuk malas, tidur, sembunyi-sembunyi sama atasan, atau ada beberapa teman yang sudah ikut menerima “percikan” “uang terima kasih” dari Wajib Pajak bahkan mempelajarinya. Gawat bukan? (bukan ingin munafik, tapi kita tidak pernah dididik seperti ini). Hal seperti ini sangat mungkin terbawa kalau nanti sudah kerja nyata. (bukankah itu tujuan magang? Supaya kalau sudah kerja tidak canggung lagi, sudah terbiasa. Tapi apa dengan hal-hal buruk semacam itu?). Bahaya ini, pikirku. Makanya kalau ada teman-teman yang sudah terlena di magang ini, tolonglah dia, karena bisa saja (kemungkinan) kondisinya semakin terlena lagi setelah ditempatkan. Saling membangunlah. (Bakar lagi semangat visi PMK itu, lihat profil alumni yang dihasilkan! Jangan biarkan visi itu tinggal mimpi).
Dalam doa, saat teduh, firman, aku bergumul dengan hal ini. Sedih sekali rasanya…Untunglah, dan aku sangat bersyukur, tidak hilang dari persekutuan. Di PAK (Persekutuan Alumni Kristen) Medan, beberapa kali aku disadarkan akan hal ini. Jauh sekali bedanya sewaktu mahasiswa dulu. Begitu gampangnya mencari persekutuan, kelompok kecil, “kesibukan” pelayanan yang membuat tetap terjaga, hangatnya persahabatan, ada yang mendorong dan mengingatkan. Aku rindu situasi seperti itu. Bukan seperti sekarang ini, berjuang lebih mandiri, ditambah “sepi”-nya pelayanan (paling sebulan cuma sekali, paling banyak dua. Itupun sudah sangat bersyukur).
Ada pergumulan serius tentang ketidak-konsistenan: mahasiswa yang sudah terbina di PMK, kok setelah alumni tidak ada bedanya dengan yang bukan?
Terlalu sedih mungkin menuliskannya apabila ketidak-konsistenan itu terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Kita semua tahu betapa rentannya kita ketika melayani sebagai orang Kristen; yang mengambil tanggung jawab terhadap orang lain, mengajarkan mereka jalan-jalan Allah, dikenal di tempat kerja sebagai orang Kristen yang sungguh-sungguh, sementara pada waktu yang sama terus bergumul dengan ketidak-konsistenan dan kegagalan-kegagalan yang dirahasiakan. Ini aku baca di sebuah buku. Dalam suatu penelitian, “mempertahankan integritas sebagai orang Kristen” ternyata berada di urutan kedua setelah “stres”, dalam lima masalah utama yang dihadapi orang Kristen di tempat kerja.
Aku pribadi bergumul sangat. Walaupun mungkin dipandang sebagai orang pelayan yang setia, kita tahu bahwa kita bisa menipu diri sendiri dan orang lain. Aku sangat menyadari pergumulan-pergumulanku dengan sikap dan perilaku yang tidak konsisten sebagai orang Kristen, kekuranganku di rumah, kekurangan sebagai pelayan, ketidaksungguhan dalam menyembah Tuhan, dan langkah-langkahku yang diliputi keragu-raguan sebagai murid Tuhan Yesus, dalam menjawab panggilan untuk hidup tak bercacat, aku menjalaninya dengan perlahan dan terseok-seok. Di mata Allah aku kerap kali merasa malu dan menyadari bahwa kita memang butuh pertolongan. Namun dengan kemurahan Allah, melalui firman dan Roh-Nya, kita mendapatkan anugerah pengampunan dan dorongan untuk tetap maju.
Mungkin kita hanya bertanggungjawab untuk sebuah tugas dan pelayanan kecil, dan mungkin menurut orang tanggung jawab ini tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan tanggung jawab besar lainnya. Mungkin kita hanya bertugas menyusun berkas, mengetik, merapikan, atau tugas sederhana lainnya. Namun janganlah kita sampai kehilangan inti dari apa yang kita kerjakan. Dalam tugas-tugas yang terkecil sekalipun, kita bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ada prinsip dasar yang harus dipegang, yaitu kita sedang menyampaikan sesuatu tentang kebenaran dan kuasa Injil ketika kita melayani dengan setia dan secara konsisten. Dan yang pasti, di kalangan orang-orang Kristen, sebetulnya kita sedang diamati. Bagaimana cara kita menangani tugas-tugas kecil dan menjengkelkan, bagaimana cara kita merespon orang-orang yang sulit ditangani, bagaimana cara kita berkomunikasi, bagaimana cara kita merespon di saat sedang lelah; dalam semua yang kita lakukan ini kita menunjukkan nilai-nilai Injil yang kita sampaikan.
Aku hanya mengurusi berkas. Kalau hanya memandang sebatas itu, aku yakin tidak akan bertahan sampai sekarang. Tapi mencoba memiliki cara pandang: seluruh alur proses perpajakan membutuhkan berkas, jadi kalau berkas beres, maka prosesnya lancar (begitu juga sebaliknya), dan kalau lancar, berarti memperlancar proses penerimaan negara dan kepuasan Wajib Pajak. Bukankah suatu tujuan akhir yang mulia? Aku teringat cerita 3 tukang batu. Masalahnya adalah bagaimana kedalaman visi kita melihat pekerjaan yang kita lakukan. Kini, bersama-sama teman-teman magang sekantor, kami berhasil menciptakan satu gudang berkas yang paling rapi (mungkin se-Indonesia, begitu kata Kepala Kantor), dan untuk itu, kantor pun menyewa satu lantai gedung lagi khusus untuk ruang berkas (bahkan perwakilan dari kantor lain datang untuk meniru ruangan berkas ini). Itulah “kenang-kenangan” yang manis, bila nanti meninggalkan kantor ini.
Kalau waktu kosong? Tergantung kita menggunakannya produktif atau tidak. Terserah caranya bagaimana. Kalau aku: membaca dan menulis. Sampai sekarang di pikiranku sama: jangan pakai baju yang mudah kusut, tapi tujuannya berbeda: supaya tidak usah kelihatan banyak duduk untuk menulis, atau supaya tidak perlu dilihat orang kalau sudah banyak kerja :)
Penempatan? Kapan dan dimana? Sabarlah… Aku (dan mungkin beberapa teman juga) dapat sms yang sangat bagus dari seorang staf Perkantas (Kak Fifi):

IA bekerja sangat lambat di saat-saat tertentu
Dan secepat kilat di saat yang lain.
Namun IA tepat waktu!
Tak seharusnya kita ajukan tuntutan dan deadline di hadapanNya tentang kehendak kita,
Tapi mintalah dengan berlutut, tertunduk berdoa dan MENANTI…
Karena dalam masa penantian, IA sedang merajut kita menjadi lebih indah.
IA membuat segala sesuatu indah pada waktunya. (Pengk.3:11a).
(terimakasih banyak kak, atas smsnya)

Nantikanlah Tuhan berkarya. Doa kita biarlah seperti Doa Musa dalam mazmurnya: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mzm 90:12)
Selagi menghitung hari, kerjakan saja bagian kita, sampai pujian dari Sang Tuan datang: “…Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar…” (Mat 25:21,23).

Sebait dari aku: (masih ku ingat sewaktu kesaksian di PMK: “I know Who holds tommorow”)
Aku tidak ingin hanya menjadi orang Pajak
Aku ingin menjadi orang bijak
Di daerah mana pun nanti kakiku berpijak
Ku yakin kasih Tuhan tak kan beranjak.

Lebih manis lagi ditutup dengan pujian:
Bapa surgawi, ajarku mengenal, betapa dalamnya kasihMu
Bapa surgawi, buatku mengerti, betapa kasihMu padaku
Semua yang terjadi di dalam hidupku
Ajarku menyadari, Kau s’lalu sertaku
B’ri hatiku s’lalu bersyukur padaMu
Kar’na rencanaMu indah bagiku.

Uups, aku menitikkan air mata.


Salam, Kawas. 5 Juni 2009.

1 komentar:

pantes adekku langsung ngomel dulu waktu magang tiap kali kutanya kapan penempatan hauhauahuaha

Posting Komentar

Regards,

Kawas Rolant Tarigan




Yang rajin baca:

Posting Terbaru

Komentar Terbaru

Join Now

-KFC- Kawas Friends Club on
Click on Photo