Bila kam ada waktu…
(Anniversary, 23 Juni)
Aku sudah memutuskan untuk berhenti mencintainya, belajar melupakan. Dia mengatakan bahwa dia tidak mencintaiku. Rasanya aku tak percaya. Beberapa kali mengulang, mencoba memastikan, jawabannya tetap sama: dia tidak menyayangiku. Ya, aku harus menelan pil pahit di masa-masa akhir studi. Tak kusangka, rasa sayangku harus ku kubur jauh di palung hati. Justru di saat hati ini ingin berteguh memulai sehelai lembaran baru untuk dijalani sepenuh hati setelah banyak belajar dari kegagalan dan kejatuhan masa silam. Justru di saat itu pula hatiku langsung diuji dan tersadar bahwa memang tak mudah. Namun aku tahu, aku harus pergi. Berangkat dengan berbagai angan dan beranjak meninggalkan sejuta kenangan. Aku harus pergi melanjutkan kehidupanku. “Tapi aku bersyukur, aku pernah menyayangimu, sudah kuungkapkan, dan kam tahu itu. Entah sampai kapan. Terima kasih untuk semua ini.” Begitu kata terakhirku mengiringi perpisahan kami.
Tapi tidak tahu, saat membalikkan badan dan kaki ini menginjakkan langkah demi langkah, dia masih saja setia menunggu, berdiri terus di atas balkonnya memperhatikan kepergianku sampai tak dilihatnya lagi. Makin gundahlah hati ini. Hati kecilku yakin kalau dia menyayangiku. Tapi satu sisi lain, aku terus meyakinkan diriku untuk tidak usah berharap, karena dia sudah beberapa kali menyatakannya dengan jelas.
Tapi masih saja gelisah, karena suara hati yang menang: kenapa dia rela berbohong (tidak jujur saja mengatakan “Ya, aku juga sayang”)? Apa karena teman-temannya (yang memang tidak menyetujui)? Aku cuma bisa menghela napas, kalaupun benar begitu, memang aku yang salah, terima sajalah…
Tapi... masih saja, cinta mengalahkan segalanya. Seakan tak pernah terjadi sesuatu apapun, sebelum berangkat ke pulau yang jauh, aku memastikan (lagi) perasaannya padaku. Oh Tuhan… seakan tak percaya (bahkan untuk hal yang selama ini justru ku percayai dengan sungguh-sungguh, meskipun di muka bumi ini cuma aku yang percaya). Dia mengatakan kalau dia menyayangiku. Ku tanya sejak kapan? Dia jawab tidak tahu; tidak usah ditanya kapan dan kenapa. Yang jelas dia mengakui tidak ingin menyesal dan terlambat lagi, untuk mengatakan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Aku memastikannya sekali lagi, dan ia menjawab dengan lebih mantap lagi. Dia mengatakan tidak tahu apakah waktu seindah ini akan datang lagi, karena itu tidak akan disia-siakannya. Dia memastikan, dia menyayangiku dan ingin menjalani cinta ini bersamaku.
***
Hahahaha… Memori itu masih terlintas jelas di ingatanku. Itu 5 (lima) tahun yang lalu. Dan sampai detik ini, dia masih setia mengisi hati dan hariku. Ternyata sudah 5 tahun. Mungkin angka yang besar, bagi pasangan yang masih dalam hitungan minggu, bulan [atau belum sama sekali :)], tapi adalah angka yang sangat kecil bagi mereka yang telah menjalaninya selama puluhan tahun. Ya, perjalanan masih sangat panjang dan penuh kejutan. Kami memulai hubungan ini dengan jarak jauh, penuh keraguan akankah bertahan, ternyata bisa. Tuhan menganugerahkan kebersamaan selama tiga tahun. Dan kini kembali lagi terpisahkan oleh jarak. Bahkan melihat kondisi pekerjaan, kelihatannya akan sangat mungkin untuk terpisah lagi oleh jarak, entah berapa kali lagi, entah berapa lama lagi. Tinggal menunggu…
Akhirnya belajar sendiri bagaimana menjalin komunikasi dan mengelola rindu di saat rasa itu melanda. Seringkali bulan menjadi sasarannya. Ketika muncul di malam hari, aku mengajaknya untuk menyempatkan diri memandang bulan pada saat yang bersamaan, dan berbisik via telepon: “Bulan yang kita lihat sama kan? Semoga pandangan kita bertemu di bulan itu”. Hahahaha. Pernah aku merayunya dari kalimat yang ku dapat dari film: “Kam tau berapa jarak yang ditempuh bulan untuk menyinari kam?”. “Gak tau”, jawabnya. “Sekitar 962 mil”, sahutku. “Wow, jauh banget”, balasnya. “Tapi kam memang pantas mendapatkannya, karena kam sangat berharga”. Hahahaha. Momen-momen itu, memanjakan jiwa melankolis ini…
23 Juni 2004-23 Juni 2009, banyak hal yang telah terjadi. Suka-duka, tawa-air mata, mengisi perjalanan penuh liku ini. Tapi satu hal, Tuhan tidak pernah meninggalkan. Beberapa kali terjatuh, tapi Tuhan tetap menopang. Benarlah kata pemazmur: TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya. (Mzm37:23-24). Doa kami, biarlah kami boleh terus setia kepada Tuhan yang senantiasa setia menyertai langkah-langkah kami. Kiranya Allah terus mengaruniakan hati yang setia. Kami tahu perjalanan ini tidak selalu mulus, karena itu yang paling diperlukan adalah kasih setia, apalagi di saat keraguan menguji hati ini. Biarlah doa kami seperti doa Pemazmur: “Kasih setia-Mu, ya TUHAN, kiranya menyertai kami, seperti kami berharap kepada-Mu.” (Mzm33:22), “Lanjutkanlah kasih setia-Mu (ya Allah)…” (Mzm36:11). Itulah kenapa kata “kasih” selalu diikuti kata “setia”, karena kasih haruslah setia/ terus menerus/ tak berkesudahan, seperti kasih Allah. Sungguh standar yang maha tinggi. Aku pribadi mengakui masih perlu belajar banyak untuk hal ini. Bukan berarti tidak mungkin dicapai, tetapi terus berjuang untuk hal itu. Bukan berapa kali kita jatuh, tetapi berapa kali kita bangkit. Itulah dinamika yang disediakan Tuhan untuk menikmati karya keindahanNya di dalam hidup ini. Untuk segala sesuatu ada masanya. Pengkhotbah 3:1-11 “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya…ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;… ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;…ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;…ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai…Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.”. Di gelombang kehidupan itu Allah terus bekerja. Sungguh indah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Tapi aku tahu, Allah ada di sana, dan itu sudah cukup! Semua ada waktunya. Cuma aku yang sering tak sabar. Tak sabar untuk bertemu dirinya, tak sabar untuk selalu dekat dengannya dan tak terpisah lagi. Hatiku, bersabarlah, hai sang waktu, berbaik hatilah… :) Aku ingin menutup tulisan rindu ini dengan sebuah puisi spontan yang sangat sederhana, buat pujaan hatiku:
Bila kam ada waktu…
Bila kam ada waktu,
Coba sempatkan pandangi rembulan tersenyum syahdu,
Sinarnya yang lembut dan sederhana menyatu,
Ditemani bintang, yang bermain mata, tersipu.
Bila kam ada waktu,
Coba sempatkan menyentuh embun pagi,
Sinar mentari yang setia menemani,
Sampai permisi di senja hari untuk berganti malam lagi.
Bila kam ada waktu,
Coba sempatkan mengingatku lagi,
Mengunjungiku kalaupun jauh dari sisi,
Menatapku dengan penuh arti,
Hingga kekosongan ini tak bermakna lagi, kala cinta ini bersemi…
---
Kam kan pernah bilang, kalau kita ini adalah malaikat bersayap satu, yang hanya dapat terbang jika saling berangkulan?
Aku ingin sekali terbang bersamamu…
Itupun kalau kam punya waktu.
Aku menunggu.
Kasihmu selalu, Kak Kawas- yang dengan segala keterbatasannya ingin mencintaimu dengan lebih baik…
P.S.: kalau nanti aku menggubah syair ini menjadi sebuah lagu, aku akan memulainya dengan chord minor, supaya orang bisa merasakan betapa senyapnya lagu ini. Itupun kalau ada waktu :)
Uh, aku merindukannya. SMS ini pernah ku kirim kepadanya:
Sender:
Name missing
Number missing
Sent: Date missing
Missing u a lot hat’s why
Everything is missing…
Luv u.
Apakah ku sungguh mengasihi-Mu Yesus
Kau yang Maha Tahu, dan menilai hidupku
Tak ada yang tersembunyi bagi-Mu
T’lah ku lihat kebaikan-Mu
Yang tak pernah habis di hidupku
Ku berjuang sampai akhirnya Kau dapati aku tetap setia
Meski lagu ini sering dinyanyikan, lebih sering lagi saya bertanya dalam hati: seberapa jujur hati kita (saya) menyanyikan lagu ini? Apakah kita memang berani mengucapkan bait ini, seperti pemazmur, di hadapan Allah yang memang Maha Tahu? Di tengah segala keberadaaan kita, pergumulan, keberdosaan, kelemahan, kita berani berkata jujur: Search me O God, and know my heart today (O Allahku, jenguklah diriku)...
Mungkin ini juga yang dialami pemazmur dalam pergumulannya. Dan puji Tuhan, ia melakukan hal yang tepat; ia datang kepada Allah. Mazmur 139 ini memang membukakan kita tentang hubungan yang personal antara pemazmur dan Allah. Sebuah doa agar Allah menguji hati dan melihat apakah itu penyerahan diri, kesetiaan, ketaatan (devotion) yang benar. Seperti kisah Ayub, pemazmur dengan kuat menyatakan kesetiaannya kepada Tuhan. Tidak ada lagi kita temukan sebuah pengakuan dengan kesadaran penuh (selain di kedua bagian ini), betapa luar biasanya meminta Allah untuk menguji, bukan hanya kehidupan (life) namun juga seluruh jiwa (soul) kita. Padahal kita tahu bahwa Tuhan mengetahui setiap pikiran, perkataan, sifat, karakter, perilaku, dan dari pada-Nya tidak ada yang mampu bersembunyi.
Hidup penuh pergumulan. Sayangnya, banyak orang yang tidak tahu ke mana ia harus mencari jawab. Bahkan untuk hal-hal dasar. Pertanyaan-pertanyaan setiap orang sepanjang masa: “Siapakah aku?”, “Sesungguhnya untuk apa aku hidup di dalam dunia?”, “Apa yang akan kuhadapi nanti?”, dan masih banyak lagi.
Seorang filsuf, Arthur Schopenhauer (1788-1860) suatu hari sedang berjalan mengelilingi Tiergarden, taman yang terkenal di Berlin. Pertanyaan yang sangat mengganggu pikirannya muncul: “Siapa sebenarnya aku? Aku akan ke mana?”. Seorang penjaga taman mengamati dekat-dekat filsuf yang berjubah ini, berjalan pelan dengan kepala tertunduk. Tahulah ia bahwa si filsuf sedang kebingungan. Lalu ia berjalan mendekati sang filsuf dan bertanya: “Siapa kamu? Kamu mau ke mana?”. Dengan wajah sedih, Schopenhauer menjawab: “Aku tidak tahu. Aku berharap seseorang memberi tahuku”.
Bukankah masih banyak orang yang bertanya hal yang sama? Tapi syukur kepada Allah! Alkitab cukup memberi jawaban bagi tiap manusia. Kita ada bukan kebetulan. Allah menciptakan kita untuk tujuan-Nya yang mulia. Semuanya telah direncanakan indah oleh-Nya. Ketika kita mempertanyakan siapa kita sesungguhnya, sebenarnya kita bukan sedang membicarakan diri kita, tetapi berbicara tentang Allah. Ini bukan mengenai kita, tetapi mengenai Allah. Kita harus mengenal Allah, lalu kita bisa mengenal diri sendiri. Kita harus memulainya dari Allah, karena kita diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Pencarian tujuan hidup telah membingungkan orang selama ribuan tahun, karena mereka memulai dengan titik awal yang keliru, diri mereka sendiri. Siapa aku, bagaimana aku, ke mana aku, dll... Bukan kita yang menciptakan diri kita, jadi kita sama sekali tidak mengetahui untuk apa kita diciptakan! Karena itu bertanyalah kepada Allah, Sang Pencipta, dan semua akan menjadi jelas....
Allah mengenal siapa milik kepunyaan-Nya. Mazmur ini diawali (juga diakhiri) dengan kesadaran akan ke-Maha-Tahu-an Allah. Karena itu pemazmur datang kepada Allah, yang mengenal dia sampai jauh ke dalam hati (through and through). Allah tahu segala sesuatu, semua yang kita lakukan, bahkan sebelum kita melakukannya (ay.1-6). Seperti pengakuan pemazmur, kita pun harusnya tertunduk dan berseru “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya”.
Allah bukan hanya Maha Tahu, tapi juga hadir di setiap tempat dan waktu (ay.7-12). Tidak ada yang tersembunyi di hadapan-Nya. Tangan Allah menjaga anak-anak-Nya di manapun mereka berada, bahkan di tempat “tergelap” sekalipun. Mari pikirkan kembali kalimat teologis ini “Lebih baik berjalan bersama Allah dalam kegelapan, dari pada berjalan dalam terang namun tidak bersama Allah”. Bagi Allah hanya ada terang (ay.12), dan terang-Nya akan menghalau kegelapan, karena Dia-lah Terang itu. Tidak ada yang luput dari mata Allah. Mari ingat firman-Nya di Yeremia 23:23-24 “Masakan Aku ini hanya Allah yang dari dekat, demikianlah firman TUHAN, dan bukan Allah yang dari jauh juga? Sekiranya ada seseorang menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian, masakan Aku tidak melihat dia? demikianlah firman TUHAN. Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? demikianlah firman TUHAN”.
Kepercayaan diri kita akan kebesaran Allah semakin diteguhkan dengan tujuan-Nya bagi hidup kita, secara individu, bahkan sebelum kita diciptakan (ay.13-18). Ia menjadikan kita begitu berharga, begitu unik. Sungguh dahsyat dan ajaib. Ilmu pengetahuan pun tak cukup untuk mengungkapkan kebesaran Allah. Allah bahkan sudah memikirkan kita, jauh sebelum kita pernah terpikir sedikitpun untuk memikirkan Dia. Kita ada hanya karena Allah menghendaki kita ada. Hanya di dalam Allah-lah kita menemukan asal-usul kita, identitas kita, makna hidup kita, tujuan kita, pentingnya kita dan masa depan kita. Tujuan Allah bagi kehidupan kita telah ada sebelum keberadaan kita. Dia merencanakannya sebelum kita ada, tanpa masukan dari kita.Karena segala sesuatu telah direncanakan Allah, maka tidak ada istilah kebetulan. Bukan suatu kebetulan kalau anda sekarang sedang berada atau mengerjakan atau diberikan tanggung jawab ini dan itu. Pasti Allah sudah tahu. Sebelum kita dilahirkan, Allah sudah merencanakan “saat ini” di dalam hidup kita, bahkan ketika anda sekarang sedang membaca artikel ini . Allah memikirkan kita terlebih dahulu. “Waktu tulang-tulangku dijadikan, dengan cermat dirangkaikan dalam rahim ibuku, sedang aku tumbuh di sana secara rahasia, aku tidak tersembunyi bagi-Mu. Engkau melihat aku waktu aku masih dalam kandungan; semuanya tercatat di dalam buku-Mu; hari-hariku sudah Kau tentukan sebelum satu pun mulai.”(ay.15-16 BIS). Ia merancang setiap bagian tubuh kita, setiap karakteristik, talenta, keunikan, seperti yang Dia inginkan. Satu hal yang kita yakini, Allah tidak pernah membuat kesalahan, ya kan? :) Kalau jawaban kita Ya, berarti harusnya hidup kita penuh dengan ucapan syukur. Allah memiliki alasan untuk segala sesuatu yang Dia ciptakan. Motivasi Allah menciptakan anda dan saya adalah kasih-Nya. Alkitab berkata “Allah adalah kasih” (1Yoh4:8). Ayat ini tidak berkata Allah memiliki kasih. Dia adalah kasih! Kasih adalah hakikat karakter Allah. Ada kasih yang sempurna dalam persekutuan Trinitas. Jadi Allah tidak perlu menciptakan kita, Dia tidak akan kesepian. Tetapi Dia menciptakan kita karena kasih-Nya. Yang paling mengagumkan, Allah menjadikan kita supaya Dia bisa mengasihi kita. Inilah sebuah kebenaran sebagai landasan kehidupan kita. Kita adalah pusat kasih-Nya. Lihat, betapa Allah begitu mengasihi dan menghargai kita! Yesaya 46:3-4 "Dengarkanlah Aku... hai orang-orang yang Kudukung sejak dari kandungan, hai orang-orang yang Kujunjung sejak dari rahim. Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu”. Maz139:17 Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!
Pujian, semangat, dan ungkapan terima kasih si pemazmur terhadap tujuan dan kasih Allah dalam hidupnya, “membuka matanya” akan kesia-siaan orang fasik; orang-orang yang menentang Allah (ay.19-22). Bahkan menganggap mereka sebagai musuh, karena mereka memusuhi Allah. Kalau kita pikir, bukankah kita juga harusnya demikian? Mengasihi yang Allah kasihi dan membenci hal yang Allah benci. Tapi kembali pemazmur menyerahkan semuanya kepada Allah, untuk menyelidiki hatinya dan melihat motivasinya (ay.23-24). Sekali lagi, (seperti awalnya) mazmur ini ditutup manis dengan kembali sadar akan ke-Maha-Tahu-an Allah. Ia membawa pergumulannya dalam doa ratapan kepada Allah, Satu-satunya yang paling mengenal “hati” dan “pikiran”-nya. Tidak ada yang diingininya selain menyesuaikan keinginan hatinya seturut dengan keinginan hati Allah. “The heart of the problem is the problem of the heart”. Pemazmur bukan hanya memohon “pengujian” dirinya, namun juga tuntunan dari Allah. Ia sadar bahwa hanya itu yang sanggup menjaganya tetap di jalan yang benar. Ia mengakhiri bagian ini dengan mengakui bahwa hanya ada dua jalan yang dapat dipilih seseorang: jalan menuju kebinasaan, atau jalan menuju hidup kekal bersama Allah?; dan ia memilih yang kedua...berjalan bersama Allah dalam kekekalan. Abraham Lincoln pernah berkata: “Tentu Allah tidak akan menciptakan makhluk seperti manusia hanya untuk hidup sehari! Tidak, tidak, manusia diciptakan untuk kekekalan”. Kalau rata-rata lama hidup manusia sekarang ini sekitar 25.550 hari, tentu waktu yang sangat singkat sekali dibandingkan masa kekekalan Allah. (cara gampang membayangkannya, buat saja angka itu dalam satuan Rupiah. Nilai Rp.25.550 tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai uang yang sangat-sangat besar, bukan?). Kalau demikian, pikirkanlah hal-hal apa yang akan kita lakukan di masa hidup kita yang se-begitu singkat ini namun akhirnya bernilai kekal?
Menulis bagian-bagian penutup ini, bibir saya tak henti-hentinya bersenandung lagu di awal artikel ini, dan ternyata mata saya sudah berkaca-kaca. Kalau saya mengingat kebaikan Tuhan, penyertaan-Nya yang sempurna, kasih-Nya yang begitu besar, dan betapa Ia mengenal sampai kedalaman hati saya, sungguh... saya menyadari bahwa setiap jengkal hidup ini sangat berarti karena Allah ada di dalamnya, dan tidak akan mungkin saya bisa luput dari pandangan-Nya. Betapa kudusnya kita harus hidup. Saya berdoa buat seluruh mahasiswa dan alumni PMK STAN agar mampu menyadari dan terus belajar mengenal siapa Allah sesungguhnya, sehingga juga mampu mengenal siapa diri kita sesungguhnya. Bukankah kerinduan kita, supaya kita mampu mencintai Allah lebih dari apapun dan membenci dosa lebih dari apapun? Akhirnya seperti pemazmur, kita berani jujur berucap: Selidiki aku, ya Allah, dan kenallah hatiku...tuntunlah aku di jalan yang kekal!
Selamat berjuang untuk setia. Setia sampai akhir. Setia pada Allah yang setia. Allah yang omniscience, omnipresence, omnipotent itu! Soli Deo gloria.
Ketua Umum PMK STAN 2007/2008.
Sumber: NIV Study Bible, The Purpose Driven Life, Our Daily Bread
Read More..
Kejadian 22:14 Dan Abraham menamai tempat itu: "TUHAN menyediakan"; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: "Di atas gunung TUHAN, akan disediakan." (LAI – TB)
Ya, itulah keyakinan iman dari bapa orang beriman, Abraham, ketika taat melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Allah. Ketika percaya saja dan lakukan (trust and obey), akhirnya kita pun akan menikmati kesetiaan Allah akan janji-Nya, pemeliharaan-Nya, dan Dia sendiri pasti yang akan mencukupkan segala sesuatunya.
Narasi tentang iman Abraham yang diuji Allah (Kejadian 22:1-19) sungguh suatu cerita yang seharusnya membuat kita semakin tunduk serta menyerah pada kehendak Allah, maka ending-nya pun jelas, dengan mata kepala kita sendiri, kita akan melihat Allah yang menyediakan dan memelihara.
Dalam konteks pergumulan iman Abraham ini, kita melihat suatu tindakan ketaatan luar biasa, yang ditunjukkan Abraham. Dalam kondisi harus memilih: memenuhi tuntutan Allah yang tampaknya tidak bisa diterima dengan akal sehat, atau tetap mempertahankan Ishak, anak satu-satunya yang sudah sangat lama ditunggu, yang sangat ia kasihi. Secara pikiran manusia, permintaan Allah tersebut adalah suatu hal yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Allah yang setia itu, yang berjanji akan membuat Abra(ha)m menjadi bangsa yang besar (ps.12), melalui keturunannya Allah akan memberkati bangsa-bangsa (ps.15 diulang ps.18) dan bertahun-tahun ditunggu sampai akhirnya Ishak lahir (ps.21), namun sekarang Allah meminta Ishak dikorbankan??? Sungguh suatu pergumulan iman yang menggetarkan… Tapi akhirnya Abraham sampai kepada keputusan yang paling tepat, untuk lebih menuruti kehendak Allah!
Ketaatan Abraham kepada perintah Allah tidak berakhir dengan sad ending Sebaliknya, pergumulan Abraham telah melahirkan suatu dimensi pengenalan yang lebih dalam terhadap diri Allah. Dalam konteks pergolakan imannya, Abraham telah mengalami Allah sebagai “Yehovah Jireh” (Allah yang menyediakan, Allah yang mencukupkan, Allah melihat apa yang diperlukan); Dialah Allah yang menyediakan solusi bagi ketaatan iman Abraham, bahkan cerita ini ditutup manis dengan peneguhan kembali janji berkat Allah kepada Abraham (ay.15-18).
“Yehovah Jireh” bukan istilah eksklusif milik Abraham atau para tokoh Alkitab saja, tetapi merupakan sebutan yang bersifat terbuka bagi siapa saja yang mau berjalan dalam pergaulan dengan Allah yang hidup. Setiap kita yang percaya kepada Allah dapat mengalami kehadiran-Nya sebagai “Yehovah Jireh” dalam situasi pergumulan pribadi kita masing-masing. Dan yang terpenting adalah Allah dapat dialami sebagai “Yehovah Jireh” hanya dalam konteks ketaatan kita kepada kehendak-Nya!
Pengalaman itu jugalah yang membuat buletin PMK STAN edisi ini mengangkat tema “Yehovah Jireh”. Allah yang setia menyertai perjalanan PMK STAN selama ± 29 tahun ini (20 April 1979- 20 April 2008). Dari awal perjalanan PMK STAN sampai pelayannya yang terus berkembang hingga saat ini, Allah sekalipun tidak pernah meninggalkan. Allah telah, sedang dan akan terus berkarya di PMK STAN menghasilkan alumni-alumni Kristen yang akan menggarami dan menerangi bangsa ini. Bukankah pemeliharaan Allah terhadap pelayanan mahasiswa (Khususnya PMK STAN) adalah demonstrasi nyata bahwa Allah memperhatikan dan sedang bekerja atas bangsa Indonesia yang masih diliputi krisis ini?
Dalam perjalanan studi dan pelayanan kami setiap pengurus dan jemaat PMK STAN terus menikmati pemeliharaan Allah dalam setiap kebutuhan dan kecukupan, bahkan boleh menjadi saluran berkat bagi orang lain. Allah yang menyediakan dan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Ini juga doa kami kepada seluruh alumni PMK STAN di manapun berada. Hanya Allah yang sanggup mencukupkan dan menjawab setiap pergumulan, baik pekerjaan, keluarga, dan pergumulan lain tanpa terkecuali. “Taat dan setialah walau sukar jalanmu…”. Percayalah pada pemeliharaan-Nya, Yehovah Jireh… Biarlah pengharapan yang kita miliki sama seperti yang dirasakan Rasul Paulus dalam menikmati pemeliharaan Allah dalam pelayanannya (sewaktu di Filipi sedang dalam penjara), sekalipun secara manusia tak sanggup kita pikirkan.
Filipi 4:19 Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaaan dan kemuliaanNya dalam Kristus Yesus.
Selamat menikmati pemeliharaan Allah…
Ini renungan spontan, ketika semakin sering melihat orang-orang tidak tahu malu di depan umum. Wanita yang berpakaian minim, berpacaran terlalu intim di jalan, tempat terbuka dan tempat umum, “suap” terang-terangan di jalan dan di tempat kerja, perkataan-perkataan kasar dan tidak sopan, dan yang lain-lainlah. Seakan-akan bertanya dalam hati: apa mereka tidak malu? Dan bagaimana perasaan kita ketika melihat fenomena-fenomena itu? “Sudah biasa”?? Kalau ya, jangan-jangan kita sudah kehilangan “visi ilahi” ketika melihat orang banyak, tidak ada lagi rasa “belas kasihan”.
Sedangkan bagi orang-orang Kristen, ada rasa malu yang mengganjal sedikit ketika harus membaca Alkitab di tempat umum, berdoa sebelum makan di tempat umum, membawa Alkitab (jadi harus dimasukkan ke dalam tas), baru pulang dari kebaktian, dan hal-hal lain yang menunjukkan identitas Kristen kita (misalnya wallpaper PC atau HP, ringtone, buku bacaan, dlsb). Bahkan ketika ada orang yang menanyakan agama, seringkali dijawab: “Maaf, saya agama Kristen”. Kenapa minta maaf? Apa ada yang salah? Bukankah cukup dengan: “Terimakasih, saya Kristen”. Terimakasih, karena ini kesempatan (kairos) menunjukkan kita pengikut Kristus.
Bukan maksudnya supaya kita mengekspos kehidupan rohani kita menjadi tontonan orang, seperti ahli-ahli Taurat dan orang Farisi yang memang sengaja melakukannya untuk mendapatkan pujian. (contoh: Mat 6: dalam hal memberi sedekah, hal berdoa, hal berpuasa, dll). Bukan begitu. Kualitas ke-Kristen-an kita adalah dalam relasi pribadi dengan Tuhan, bukan “pameran kerohanian” di depan umum. Tapi, kalau melakukan beberapa tindakan sederhana karena kita Kristen (sekalipun di depan umum), dan kitapun merasa malu, sepertinya ada hal yang perlu dipertanyakan tentang pemahaman dan kesaksian kita. Kalau orang berbuat dosa dan dengan santai mengatakan “Cuek aja, ngapain dengar kata orang”, masakan kita yang melakukan kebenaran tidak mampu mengatakan hal yang sama padahal yang kita lakukan adalah kebenaran? Kalau Saksi Yehuwa tidak malu datang ke rumah-rumah mengatakan apa yang mereka percayai (dan itu sesat), masakan kita yang yakin akan kebenaran malah “malu” menyaksikannya pada orang lain?
Bukankah kita orang percaya harus menjadi terang yang menelanjangi kegelapan? Efesus 5:8-13 “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran, dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan. Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu. Sebab menyebutkan saja pun apa yang dibuat oleh mereka di tempat-tempat yang tersembunyi telah memalukan. Tetapi segala sesuatu yang sudah ditelanjangi oleh terang itu menjadi nampak, sebab semua yang nampak adalah terang.”
Harusnya kita malu karena keberdosaan kita, harusnya kita juga membuat orang sadar dan malu akan dosa-dosanya. Jangan sampai kita membuat Allah malu karena kita, dan jangan “malu-maluin” menyandang status pengikut Kritus.
Markus 8:38 “Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusia pun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.”
Selamat bersaksi.
Salam, Kawas. 13 Juni 2009.
(di tengah-tengah belajar berjalan mengikut Tuhan, meski tertatih-tatih…)
Dulu yang ada cuma Puteri Indonesia, entah kenapa muncul Miss Indonesia. Dulu juga kayaknya cuma Miss Universe yang ada, kemudian muncul Miss World. Apa supaya kesempatan bagi para wanita menjadi lebih besar? Gagal di kompetisi yang satu, coba lagi kompetisi yang satunya. Entahlah.
Tapi dengar-dengar kabar, Miss Indonesia 2009 sudah terpilih. Entah siapa namanya, yang jelas dari DKI Jakarta (eh, katanya Kristen ya?). Kalau dipikir-pikir, para finalis itu pasti orang-orang pilihan, entah karena kecantikan, intelektual, pengalaman, keaktifan organisasi, atau yang lainlah. Apalagi yang Juara, berarti dia yang terbaik, selama masa karantina, dan penilaian dari dewan juri (yang pasti juga orang-orang pilihan). Harusnya begitu. Karena mereka akan menjadi public figure, yang kehidupannya akan diamati dan bahkan mungkin diikuti oleh orang lain, di samping sebagai wakil negara ini di dunia internasional.
***
Beberapa waktu yang lalu kembali mendengar kabar, seorang tokoh, artis, politikus akhirnya mengakui bahwa ia telah hamil, telah menikah, dan telah meninggalkan Kristus. Ia tidak lagi setia kepada Kristus yang telah setia kepadanya selama ini, bahkan ia menyebut Kristen sebagai “agama mereka” (orang tuanya). Hal itu diakuinya di depan media, yang pasti jadi tontonan jutaan orang. Dia bersaksi, tapi sayang, tentang penyangkalan kepada Kristus. Padahal sewaktu aku SMA, aku ingat dia pernah menjadi “Profile tokoh” di salah satu majalah Kristen untuk kaum muda. Fotonya dipampang besar, lengkap dengan kalung salibnya.
Siapa tak meratap melihat kejadian seperti ini terjadi berkali-kali di kalangan artis, yang jadi sorotan banyak orang, dan dari segi wajah, harta, sudah lebih dari cukup. Ternyata itu semua tidak menjamin kebahagiaan. Cantik-cantik dapat duda juga, atau ada yang cerai juga, (padahal wanita yang tidak secantik mereka pun bisa mendapat pemuda yang gagah, setia, dan rumah tangganya awet). Benarlah kata Amsal:”Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia…” (Ams 30:31). Jadi jangan cepat tergoda dengan kecantikan, ITU ‘KAN HANYA SEMENTARA, TIDAK KEKAL. Tidak jarang melihat kasus para pria “terperosok” hanya karena kecantikan semu para wanita. Bukan hanya jaman sekarang, itu sudah dari jaman Adam. Lihat tokoh-tokoh Alkitab berikut: Adam, Simson, Daud, Salomo, karena siapa lupa Tuhannya? Ssstt!! Karena wanita :) Pasti para wanita protes: siapa suruh para pria tidak tahan godaan? Ada benarnya juga :) [harta, tahta, wanita]. Tapi janganlah pancing-pancing… :)
Berhati-hatilah. Iblis memakai kenikmatan dunia ini untuk menggodai kita. Bahkan itu sudah iblis lakukan sewaktu mencobai Tuhan Yesus di padang gurun (Mat 4:1-11; Luk 4:1-13; Yesus menang). Iblis memakai sifat dasar manusia yang tidak pernah merasa puas. Harta, jabatan, dan kepuasan-kepuasan lainnya. Semakin tinggi kedudukan seseorang, justru makin besar godaannya. Seperti pohon kelapa, semakin tinggi-semakin goyah, karena anginnya semakin kencang, kelihatannya saja kokoh. Kalau tidak punya “AKAR” yang kuat, pastilah dia tumbang.
Menarik sekali menyimak “Kebenaran yang sejati” yang dituliskan Rasul Paulus dalam Filipi 3:1-16. Sebenarnya dia punya banyak alasan untuk menyombongkan diri, merasa hebat dan bisa saja “melupakan” Kristus. Namun apa yang dia katakan di ayat 7-8: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya SAMPAH (-kotoran-), supaya aku memperoleh Kristus,”... Luar biasa!!! Menulis bagian ini, aku berhenti sejenak. Tanganku gemetaran. Sambil membayangkan bagaimana Sang Rasul tua ini (bahkan di dalam penjara) bisa menuliskan pengakuan mulia ini? Sambil merenungi: mampukah aku, ketika di masa tua nanti, mungkin saja sudah dengan berbagai kenikmatan, mengucapkan kalimat yang sama? Paulus memberi tahu rahasianya: “…mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.” (ay.10-11). Kalau tidak punya “AKAR” yang kuat, pastilah dia tumbang.
Jangan tinggalkan Kristusmu demi SAMPAH (apalagi demi seorang wanita/ pria). DIA tidak pernah mengecewakan, bukan? Jangan salah pilih. “HOLD TIGHTLY TO WHAT IS ETERNAL & HOLD LIGHTLY TO WHAT IS TEMPORAL”.
Iblis akan terus menggoda kita sampai kesudahannya, dan ketika kita jatuh dia akan bilang: “siapa suruh tidak tahan godaan?”. Sebagai alumni, godaan semakin besar, saling mendoakanlah. Kalau tidak punya “AKAR” yang kuat, pastilah kita tumbang. Karena itu, melekatlah kepada Tuhan, berjuang terus untuk MENGENAL Yesus, dalam relasi pribadi dengan-Nya, dan persekutuan. Ketika kita memiliki segala sesuatu di dunia ini, tetapi tanpa memiliki Kristus, sebenarnya kita sedang tidak memiliki apa-apa. Tetapi ketika kita sudah memiliki Kristus, sekalipun tidak memiliki apa-apa, sebenarnya kita telah memiliki segala sesuatu. Jangan salah pilih: mana yang kekal, mana yang fana; mana yang berkat, mana yang Sumber berkat.
Rasanya ingin melanjutkan terus sampai ke ayat 16, indah sekali. Tapi sudahlah, baca dan renungi sendiri saja, mungkin lebih meresapi.
Aku tambah lagi satu ayat: 1 Yoh 2:17 “Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.”. Coba ambil waktu, sebentar saja, untuk berpikir: kenapa makin banyak orang meninggalkan (atau belum menerima) Yesus? Yang pertama bolehlah: itu anugerah semata. Tapi yang kedua, jangan-jangan orang-orang Kristen gagal (belum) menyaksikan Kristus bagi sesamanya??? Lalu? “The man is the message”. Kita-lah kitab terbuka itu. Bagaimana mungkin orang bisa percaya Kristus jika pengikut-Nya bukanlah “imitasi-imitasi Kristus”?
Oh iya. Kenapa judul tulisan ini Miss Indonesia? Karena dia baru saja terpilih. Berharap semoga dia jadi TELADAN yang baik (lebih baik lagi dari pendahulu-pendahulunya). Mungkin menurut dewan juri, dialah yang terbaik, seperti miss-miss atau puteri-puteri Indonesia sebelumnya. Tapi menurut “JURI di atas segala juri” (Yesus)? Tidak tahulah. Karena “…Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Sam 16:7).
Mungkin banyak wanita bermimpi ingin menjadi Miss Indonesia. Mungkin banyak pula pria bermimpi punya pasangan hidup Miss Indonesia. Kalau aku? Ah, tidak usahlah Miss Indonesia. Nanti semakin sukses dia, tergoda pula untuk “melupakan” Allahnya, yang lebih parahnya lagi, digodanya pula aku untuk itu. Tidak usahlah Miss Indonesia. Misnilawaty saja :)
Seperti namanya:
Misnilawaty = Miss Universe pribadi, selalu istimewa di hati.
Misnilawaty = Miss Universe pribadi, pantaslah Kawas menanti.
Ah, sudahlah, nanti semakin panjang lagi… :) “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…”
Selamat bersaksi!
Salam, Kawas. 7 Juni 2009.
Jangan pakai baju yang mudah kusut…
(Goresan di tengah kejenuhan magang)
Awalnya semangat, tapi lama-lama lesu. Terkadang semangat lagi, terus lemas lagi. Kenapa? Karena pekerjaannya begitu-gitu saja, bahkan tak ada pekerjaan lagi. Itu yang aku rasakan sewaktu magang ini. Bagaimana dengan teman-teman? Entahlah, tapi beberapa orang yang aku tanya, hampir sama kondisinya.
Sepertinya ada yang “kurang pas”, dan kalau kita mau jujur, beberapa kondisi yang selama ini menyebabkan kenapa magang diharapkan semoga cepat berlalu:
> Kondisi pertama: tantangan kerendahan hati.
Seringkali kita (baca: magangwan :D ), merasa tidak dianggap. Dikasih pekerjaan (yang menurut kita) “kurang layak” untuk seorang tamatan D3 STAN: pemberkasan [sortir, ngikatin berkas, bolongin kertas, fotokopi, transporter (antar sana, antar sini)], AR (ahli rekam), operator telepon, sekretaris dadakan, atau yang lainlah, sesuai kondisi di kantor masing-masing. Hal ini akhirnya menimbulkan kebosanan karena tidak menikmati lagi pekerjaan itu. (Padahal aku pernah mendengar pengakuan seorang pegawai, yang kerjanya itu terus selama sekian tahun).
Ada juga kondisi “serba salah”. Pertama, dikasih banyak kerjaan mengeluh, tidak dikasih pekerjaan merasa tidak dianggap (atau terkadang senang juga awalnya, bisa istirahat, facebook, YM atau browsing. Tapi lama-lama tidak dikasih juga bosan, atau terkadang tersinggung. Ada jenis pekerjaan yang memang harus dikerjakan oleh pegawai (yang sudah PNS), sehingga kita (yang CPNS pun belum) bukan bagiannya untuk pekerjaan itu, sehingga posisi kita kesannya “gantung” dan hanya bersifat membantu.
“serba salah” yang kedua: disuruh kerja oleh anak D1: tersinggung, disuruh kerja oleh yang lain: cemburu melihat anak S1 yang (kita anggap) “beruntung”. (apalagi yang ngasih kerjaan itu orangnya belagu dan malah jadi nyantai karena kerjaannya sudah kita kerjakan. Ditambah pula lagi, hasil kerja dari kita, tapi orang lain pula yang dihargai. Betapa membaranya panas hati ini). Rajin kena, malas kena.
> Kondisi selanjutnya: pengujian “tidak sabar”.
Tidak sabar ingin menunjukkan “jati diri sebagai alumni yang sesungguhnya”. Maksudnya? PNS Depkeu yang sesungguhnya. Bukan orang yang pergi pagi pulang malam, penghasilan di bawah UMR. Tujuannya apa? Untuk tujuan mulia sebenarnya. Memberikan “kejutan” kepada orang tua dari hasil gaji kita sendiri, membantu orang lain mungkin, memenuhi beberapa keinginan terpendam selama ini dengan penghasilan sendiri, memberikan persembahan pengucapan syukur atau menjadi donatur bagi suatu event (sudah dihubungi beberapa panitia, tapi sepatah katapun tak terucapkan karena bingung menjelaskan kondisi prasejahtera ini). Padahal masih magang, sampai waktu yang tidak ditentukan, dan merasa menjadi orang yang paling malang, karena masa magangnya dianggap sebagai masa magang paling lama di dunia. Padahal sebenarnya pernah juga angkatan-angkatan sebelumnya magang “sepanjang” ini, jadi sebenarnya masih agak wajarlah. Tapi itu tidak bisa diterima, karena rasanya sudah terlewat lama magang ini. Waktu magang dan penempatan yang tidak jelas ini juga berpengaruh pada pergumulan pelayanan di masa sekarang yang lagi regenerasi (mengambil komitmen memimpin kelompok kecil atau tidak, menjadi pengurus atau tidak, karena ketidakjelasan waktu dan tempat).
> Kondisi selanjutnya: “ketidak-mengertian” orang-orang, dan kesusahan penjelasannya.
Di rumah: bapak, mama, dan orang-orang rumah bertanya: “Kapan penempatan?”. “Belum tau”. Di kantor: “Sudah penempatan mas?”, di gereja: “Sampai kapan kerja di sini?”, di arisan-arisan/ perkumpulan keluarga: “Sudah kerja di sini? Kami rasakanlah dulu gajinya…”, di jalan: “Bro, udah ditempatkan?”, di facebook: “Ada kabar penempatan? Ada kabar baru? Ada gosip? Apa itu penempatan?”. Semua hanya dijawab dengan senyum, susah menjelaskan yang namanya “magang STAN”.
Itulah beberapa kondisi umumnya. Teman-teman bisa menambah kondisi-kondisi lain, yang teman-teman alami.
Sering aku merenungkan hal ini. Kalau magang hanya menghabiskan waktu begini, untuk apa? Kerjaku di gudang berkas, awalnya aku pikir, tidak usahlah memakai baju yang mudah kusut, karena kerjanya melantai (lesehan) dan ngangkat-ngangkat. Kemudian lama-lama aku perhatikan, banyak juga pegawai yang malas dan tidur sewaktu jam kerja (ataupun setelah istirahat). Akupun tergoda juga. Besok-besoknya pikiranku masih sama: jangan memakai baju yang mudah kusut, tapi tujuannya beda: supaya tidak ketahuan sehabis bangun tidur. Dalam hati tetap berontak: kalau begini magangnya, ngapain magang? Bukankah magang adalah melatih diri kerja di lapangan? Kok begini? Ini namanya melatih diri (memagangkan diri) untuk malas, tidur, sembunyi-sembunyi sama atasan, atau ada beberapa teman yang sudah ikut menerima “percikan” “uang terima kasih” dari Wajib Pajak bahkan mempelajarinya. Gawat bukan? (bukan ingin munafik, tapi kita tidak pernah dididik seperti ini). Hal seperti ini sangat mungkin terbawa kalau nanti sudah kerja nyata. (bukankah itu tujuan magang? Supaya kalau sudah kerja tidak canggung lagi, sudah terbiasa. Tapi apa dengan hal-hal buruk semacam itu?). Bahaya ini, pikirku. Makanya kalau ada teman-teman yang sudah terlena di magang ini, tolonglah dia, karena bisa saja (kemungkinan) kondisinya semakin terlena lagi setelah ditempatkan. Saling membangunlah. (Bakar lagi semangat visi PMK itu, lihat profil alumni yang dihasilkan! Jangan biarkan visi itu tinggal mimpi).
Dalam doa, saat teduh, firman, aku bergumul dengan hal ini. Sedih sekali rasanya…Untunglah, dan aku sangat bersyukur, tidak hilang dari persekutuan. Di PAK (Persekutuan Alumni Kristen) Medan, beberapa kali aku disadarkan akan hal ini. Jauh sekali bedanya sewaktu mahasiswa dulu. Begitu gampangnya mencari persekutuan, kelompok kecil, “kesibukan” pelayanan yang membuat tetap terjaga, hangatnya persahabatan, ada yang mendorong dan mengingatkan. Aku rindu situasi seperti itu. Bukan seperti sekarang ini, berjuang lebih mandiri, ditambah “sepi”-nya pelayanan (paling sebulan cuma sekali, paling banyak dua. Itupun sudah sangat bersyukur).
Ada pergumulan serius tentang ketidak-konsistenan: mahasiswa yang sudah terbina di PMK, kok setelah alumni tidak ada bedanya dengan yang bukan?
Terlalu sedih mungkin menuliskannya apabila ketidak-konsistenan itu terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Kita semua tahu betapa rentannya kita ketika melayani sebagai orang Kristen; yang mengambil tanggung jawab terhadap orang lain, mengajarkan mereka jalan-jalan Allah, dikenal di tempat kerja sebagai orang Kristen yang sungguh-sungguh, sementara pada waktu yang sama terus bergumul dengan ketidak-konsistenan dan kegagalan-kegagalan yang dirahasiakan. Ini aku baca di sebuah buku. Dalam suatu penelitian, “mempertahankan integritas sebagai orang Kristen” ternyata berada di urutan kedua setelah “stres”, dalam lima masalah utama yang dihadapi orang Kristen di tempat kerja.
Aku pribadi bergumul sangat. Walaupun mungkin dipandang sebagai orang pelayan yang setia, kita tahu bahwa kita bisa menipu diri sendiri dan orang lain. Aku sangat menyadari pergumulan-pergumulanku dengan sikap dan perilaku yang tidak konsisten sebagai orang Kristen, kekuranganku di rumah, kekurangan sebagai pelayan, ketidaksungguhan dalam menyembah Tuhan, dan langkah-langkahku yang diliputi keragu-raguan sebagai murid Tuhan Yesus, dalam menjawab panggilan untuk hidup tak bercacat, aku menjalaninya dengan perlahan dan terseok-seok. Di mata Allah aku kerap kali merasa malu dan menyadari bahwa kita memang butuh pertolongan. Namun dengan kemurahan Allah, melalui firman dan Roh-Nya, kita mendapatkan anugerah pengampunan dan dorongan untuk tetap maju.
Mungkin kita hanya bertanggungjawab untuk sebuah tugas dan pelayanan kecil, dan mungkin menurut orang tanggung jawab ini tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan tanggung jawab besar lainnya. Mungkin kita hanya bertugas menyusun berkas, mengetik, merapikan, atau tugas sederhana lainnya. Namun janganlah kita sampai kehilangan inti dari apa yang kita kerjakan. Dalam tugas-tugas yang terkecil sekalipun, kita bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ada prinsip dasar yang harus dipegang, yaitu kita sedang menyampaikan sesuatu tentang kebenaran dan kuasa Injil ketika kita melayani dengan setia dan secara konsisten. Dan yang pasti, di kalangan orang-orang Kristen, sebetulnya kita sedang diamati. Bagaimana cara kita menangani tugas-tugas kecil dan menjengkelkan, bagaimana cara kita merespon orang-orang yang sulit ditangani, bagaimana cara kita berkomunikasi, bagaimana cara kita merespon di saat sedang lelah; dalam semua yang kita lakukan ini kita menunjukkan nilai-nilai Injil yang kita sampaikan.
Aku hanya mengurusi berkas. Kalau hanya memandang sebatas itu, aku yakin tidak akan bertahan sampai sekarang. Tapi mencoba memiliki cara pandang: seluruh alur proses perpajakan membutuhkan berkas, jadi kalau berkas beres, maka prosesnya lancar (begitu juga sebaliknya), dan kalau lancar, berarti memperlancar proses penerimaan negara dan kepuasan Wajib Pajak. Bukankah suatu tujuan akhir yang mulia? Aku teringat cerita 3 tukang batu. Masalahnya adalah bagaimana kedalaman visi kita melihat pekerjaan yang kita lakukan. Kini, bersama-sama teman-teman magang sekantor, kami berhasil menciptakan satu gudang berkas yang paling rapi (mungkin se-Indonesia, begitu kata Kepala Kantor), dan untuk itu, kantor pun menyewa satu lantai gedung lagi khusus untuk ruang berkas (bahkan perwakilan dari kantor lain datang untuk meniru ruangan berkas ini). Itulah “kenang-kenangan” yang manis, bila nanti meninggalkan kantor ini.
Kalau waktu kosong? Tergantung kita menggunakannya produktif atau tidak. Terserah caranya bagaimana. Kalau aku: membaca dan menulis. Sampai sekarang di pikiranku sama: jangan pakai baju yang mudah kusut, tapi tujuannya berbeda: supaya tidak usah kelihatan banyak duduk untuk menulis, atau supaya tidak perlu dilihat orang kalau sudah banyak kerja :)
Penempatan? Kapan dan dimana? Sabarlah… Aku (dan mungkin beberapa teman juga) dapat sms yang sangat bagus dari seorang staf Perkantas (Kak Fifi):
IA bekerja sangat lambat di saat-saat tertentu
Dan secepat kilat di saat yang lain.
Namun IA tepat waktu!
Tak seharusnya kita ajukan tuntutan dan deadline di hadapanNya tentang kehendak kita,
Tapi mintalah dengan berlutut, tertunduk berdoa dan MENANTI…
Karena dalam masa penantian, IA sedang merajut kita menjadi lebih indah.
IA membuat segala sesuatu indah pada waktunya. (Pengk.3:11a).
(terimakasih banyak kak, atas smsnya)
Nantikanlah Tuhan berkarya. Doa kita biarlah seperti Doa Musa dalam mazmurnya: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mzm 90:12)
Selagi menghitung hari, kerjakan saja bagian kita, sampai pujian dari Sang Tuan datang: “…Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar…” (Mat 25:21,23).
Sebait dari aku: (masih ku ingat sewaktu kesaksian di PMK: “I know Who holds tommorow”)
Aku tidak ingin hanya menjadi orang Pajak
Aku ingin menjadi orang bijak
Di daerah mana pun nanti kakiku berpijak
Ku yakin kasih Tuhan tak kan beranjak.
Lebih manis lagi ditutup dengan pujian:
Bapa surgawi, ajarku mengenal, betapa dalamnya kasihMu
Bapa surgawi, buatku mengerti, betapa kasihMu padaku
Semua yang terjadi di dalam hidupku
Ajarku menyadari, Kau s’lalu sertaku
B’ri hatiku s’lalu bersyukur padaMu
Kar’na rencanaMu indah bagiku.
Uups, aku menitikkan air mata.
Salam, Kawas. 5 Juni 2009.
Pacarku Pelupa…
Ya, pacarku pelupa. Dia tidak pernah bisa mengingat banyak hal. Tapi jangan tanya soal pelajaran, dia salah satu yang terbaik. Namun dalam hal mengingat sehari-hari… bukan dia ahlinya. Dia hanya bisa tersenyum dan berbisik, “Sori kak, aku lupa.”. Entah kenapa bisa begitu. Apa karena phlegmatic sejati? Atau karena namanya ada miss-miss-nya, makanya sering lupa (miss)? Entahlah…
Jangan tanya dia tentang lagu-lagu, jangan tanya dia ayat-ayat Alkitab, jangan tanya dia momen-momen untuk dikenang… jangan. Dia hanya akan membalasnya dengan mengerutkan dahi, tersenyum simpul dan terkadang mengangkat kedua bahunya.
Sering juga hati ini kesal. Aku mampu menghapal ribuan ayat Alkitab dan lagu, mengingat momen-momen berharga, tapi dia tidak. Dalam hal daya ingat, aku tahu aku memiliki kemampuan yang lumayan, kecuali dua hal: mengingat nama orang yang baru dikenal, dan mengingat rute jalan, aku bukan ahlinya. Dan masalahnya, dia pun tak bisa melakukannya juga. Makanya, seringkali kejadian begini: aku bertanya: “Yang itu siapa namanya?”, dia akan menjawab: “Memang kita pernah ketemu ama dia?” atau “Oo iya ya kak, tapi aku lupa juga”, dia senyum dan aku hanya bisa menghela nafas panjang. Atau ketika kami berboncengan naik sepeda motor, aku lupa rute jalan yang baru beberapa kali kami lalui, dan ketika aku bertanya padanya, dia akan menjawab “Aku juga lupa kak… Hehehe”. Bahkan, dia bisa lupa (sering salah sebut) mana kanan dan mana kiri. Aku akan membalas (mungkin dengan mulai sedikit emosi): “Aku mendingan, bisa ingat simpangnya, tanda-tandanya, kam apa yang kam ingat?”, namun dia hanya berespon dengan melingkarkan kedua tangannya semakin erat di perutku.
Aku ingat momen-momen itu. Dia? Entahlah, mungkin saja. Pernah hati ini meragu, apakah dia benar-benar menyayangiku? Kalau iya, kenapa dia tidak mengingat hal-hal itu? Kalau kejadian atau ucapanku yang baru beberapa hari lalu saja dia lupa, apalagi momen 5 tahun yang lalu? Di saat semuanya masih sangat manis, murni, penuh harapan. Surat-suratku, memoku, sms-ku, kadoku, dan lain-lain, apakah masih ada dalam pikirannya? Aku butuh memejamkan mata untuk mengingat itu semua, dan tanpa terasa bibirku melengkungkan senyuman perlambang betapa sangat manis.
Pernah suatu saat, aku menanyakan itu kepadanya, “Kam ingat semua itu?”, jawabannya sudah ku duga, “Lupa kak.”. Selagi aku menggelengkan kepalaku, dia bersuara: “Tunggu sebentar ya kak.”, sambil berlari ke tangga menuju kamarnya di atas. Tidak lama, dia langsung turun membawa sebuah kotak. Aku sungguh terkejut. Sungguh. Kotak itu berisi semua yang pernah ku berikan padanya, dari pertama sekali (kecuali boneka-boneka yang setia menemani tidurnya). Dari surat, memo, bahkan foto-foto jadul, yang langsung mengantarkan memori ini ke sekitar 4-5 tahun yang lalu, saat pertama kali hati ini digundahkannya. Dia menyimpannya. Lengkap dan rapi, jauh dibandingkan dengan apa yang berhasil ku simpan darinya. Wah, senang dan haru. “Kak, aku tau, aku sering lupa, makanya ku simpan ini semua. Kalau aku lupa, aku bisa membacanya lagi, dan itu cukup untuk membuatku tersenyum sendiri mengingat semuanya. Jangan-jangan kakak gak nyimpan selengkap ini…”. Aku menganggukkan kepalaku dan bertanya lagi: “Coba sebutkan satuuuuu aja hal yang kam ingat?”. Dia jawab: “Aku sayang ama kakak. Itu aja”. Aku terdiam. Mati kata. Akhirnya tersenyum bahagia dan membelainya manja, “Aku sayang ama kam”.
Awalnya aku pikir, seseorang yang mencintai aku, akan mengingat setiap kejadian dan kata-kata yang aku ucapkan, bahkan yang tidak sengaja, dan ia akan menggunakan kata-kata itu tepat waktunya. Namun ia menyadarkanku, tidak selamanya demikian. Seseorang yang mencintaiku, mungkin tidak bisa mengingat momen-momen istimewa, tapi ia tahu bahwa setiap detik yang ia lalui, ia mencintaiku, tidak peduli apakah ia ingat hari apa hari ini. Seseorang yang mencintaiku, akan selalu menyimpan semua benda yang aku berikan, bahkan kertas kecil bertuliskan ”Luv U” ada di dalam dompetnya.
Semakin menyadari bahwa cinta bukanlah menerima kondisi pasangan kita dengan harapan bahwa kita akan bisa mengubahnya di kemudian hari. Itu bukan cinta namanya, itu sekedar keinginan. Cinta yang sesungguhnya adalah melihat kekurangan pasangan kita dan mengatakan bahwa kita tetap mengasihinya.
---
Beberapa hari yang lalu, aku ingat, aku terkejut. Dia sms: “Kakak msh ingat ga dl qt prnh jln smbl ttp mata?i wanna try it again with u..i love u..”. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba sms seperti itu, tapi aku ingat betul momen itu. Aku mengajaknya berjalan dengan tutup mata, sepanjang jalan komplek yang kami lewati untuk makan malam. Saat itu aku membujuknya: “Kalau kam percaya amaku, tutuplah matandu, berjalan amaku, aku yang ngasi petunjuk jalannya”, dan dia mau. Meski dengan langkah ragu, dia terus melangkah, aku yang memberi arah. Orang-orang yang berpapasan pun melihat “kelakuan aneh” kami ini, tapi dia terus saja berjalan karena tidak tahu kejadian di luar selagi menutup mata, dan aku pun diam. Akhirnya sampailah di tempat makan. Ada rasa puas. Hal ini kami lakukan beberapa kali, hampir di setiap kesempatan, dan selalu diakhiri dengan canda tawa. Pernah bergantian. Mataku yang ditutup, dia yang menuntun. Tapi aku curang, hahaha, sesekali aku mengintip, supaya bisa berjalan lurus. Ah,,, aku yang berjanji, aku yang mengingkari.
Beberapa hari kemudian, dia sms yang lain lagi: “jd ingat dl pas aq ngajar d smp plus P*****, trus kk sms bgs saat itu, jd smgt dh.semangad ya kak.” Oh, dia mengupas memorinya lagi. Bahkan aku sendiri lupa sms apa saat itu. Mungkin kalau dia menulis artikel ini, dia akan memberi judul yang sama, dengan modifikasi: “(ternyata) Pacarku Pelupa…(dan emosional)”. Tapi aku masih ingat sedikit kejadian itu. Saat itu kami sudah terpisah jauh, dan dia masih SMA. Karena prestasinya baik, dia diberi tugas menggantikan guru untuk mengajar SMP di dekat SMA itu. Awalnya dia merasa takut, tapi aku memotivasinya, dan berhasil.
Pernah lagi suatu waktu, di akhir percakapan telepon, dia mengatakan dengan gampangnya: “Goodbye kak…”. Aku emosi dan langsung menyambar: “Apa maksudndu Goodbye?”, telepon langsung ku tutup dengan marah dan bingung kenapa dia mengucapkan “kata tersedih” itu? Apa maksudnya selamat tinggal? Tak lama kemudian dia menelepon dengan lemah lembut mencoba menjelaskan: “Kakak lupa kalau aku gak bisa bahasa Inggris?”. Yah,, aku lupa lagi. Dia menjelaskan sebenarnya yang ingin dikatakannya adalah ‘bubay’, (bahasanya sendiri yang memang sering diucapkannya, yang artinya kira-kira: “Udah dulu ya sayang…”), tapi yang terucap akhirnya Goodbye. Dia minta maaf karena tidak bisa berbahasa Inggris. Setiap aku mengingat kejadian ini aku bisa tertawa sendiri. Mulai saat itu, kalau dia salah ucap Goodbye lagi, di telingaku artinya sama dengan I love you so much.
Hah,,, sungguh indah kenangan-kenangan itu, apalagi dalam kondisi dipisahkan jarak seperti ini, kenangan-kenangan itu terasa sangat berarti. Berjuta rasanya, rindu ini tak kenal kompromi. Kini aku mengerti kenapa namanya ada miss-miss-nya: karena dia memang ngangenin (missing) ^_^. Suatu kali aku mengunjunginya. Dan diapun pergi ke airport untuk menjemputku. Dia tidak membawa seikat mawar dan memanggilku “Sayang” seperti yang aku khayalkan. Tetapi, ia membantu membawakan tasku dan menanyakan: “kenapa kakak kurus-an baru beberapa bulan?” dengan hatinya yang tulus. Wah, itu sudah lebih dari cukup.
***
Dengan mengingat-ingat, hati ini terhibur. Sambil bertanya-tanya: apakah dia juga ingat atau lupakah? Ingat-ingat lupa atau lupa-lupa ingat? Lupa untuk ingat atau ingat untuk lupa? Seketika hal ini membuatku jadi teringat kepada Tuhan… Mungkinkah Tuhan itu lupa? Sepertinya tidak mungkin… Akhirnya aku mencari jawabnya dengan menelaah Alkitabku.
Ternyata, beberapa kali dalam Alkitab, sepertinya Tuhan “diingatkan” oleh manusia. Aku ambil contoh Keluaran 32:9-14, sewaktu Tuhan murka ingin menghukum bangsa Israel karena menyembah patung anak lembu emas. “…Lalu Musa mencoba melunakkan hati TUHAN, Allahnya, dengan berkata: "Mengapakah, TUHAN, murka-Mu bangkit terhadap umat-Mu, yang telah Kaubawa keluar dari tanah Mesir dengan kekuatan yang besar dan dengan tangan yang kuat?... Ingatlah kepada Abraham, Ishak dan Israel, hamba-hamba-Mu itu,…" Dan menyesallah TUHAN karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya. (band.Ulangan 9:27-29; Mazmur 25:6; 106:45).
Sewaktu Musa “mengingatkan” Tuhan, ada hasilnya: akhirnya Tuhan pun “ingat” dan “berubah pikiran/ menyesal”. Bersyukurlah, Alkitab “meminjam” bahasa manusia agar kita dimengertikan kasih setia Tuhan yang tak akan mampu kita mengerti sepenuhnya itu.
Beberapa contoh lain lagi: tokoh-tokoh Alkitab yang memohon Tuhan untuk “mengingat”: Simson (Hak16:28 "Ya Tuhan ALLAH, ingatlah kiranya kepadaku dan buatlah aku kuat, sekali ini saja, ya Allah,…", Hizkia (II Raj 20:3 "Ah TUHAN, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati…”), Nehemia (Neh 5:19; 13:14,22 Ya Allahku, demi kesejahteraanku, ingatlah segala yang kubuat untuk bangsa ini.), Yeremia (Yer 15:15 Engkau mengetahuinya; ya TUHAN, ingatlah aku dan perhatikanlah aku, lakukanlah pembalasan untukku…), Yunus (Yun2 "Dalam kesusahanku aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku… Ketika jiwaku letih lesu di dalam aku, teringatlah aku kepada TUHAN,…), dan masih banyak contoh-contoh lain. Menarik sekali, bahwa akhirnya Tuhan “mengingat” dan “mengabulkan” permintaan mereka.
Mungkinkah Tuhan lupa (band. Mzm10:11; 77:10), sehingga Ia harus mengingat lagi? Coba lihat kejujuran pemazmur dalam Mazmur 25:7 “Dosa-dosaku pada waktu muda dan pelanggaran-pelanggaranku janganlah Kauingat, tetapi ingatlah kepadaku sesuai dengan kasih setia-Mu, oleh karena kebaikan-Mu, ya TUHAN.”. Seakan-akan pemazmur meminta Tuhan untuk “lupa” akan dosanya, dan “ingat” akan kasihNya. [Remember not… remember… The psalmist now prays that the Lord will not remember his past sins, shortcomings, and rebellious spirit. He wants the Lord to deal with him, not in accordance with his lack of loyalty, but according to God's own commitment of loyalty. The ground of forgiveness is God's goodness toward his people. Forgiveness is that act of grace whereby God extends his love, as if the sin had never taken place! -NIV Bible Commentary-].
Ingat lagu ini? “Sejauh timur dari barat, Engkau membuang dosaku, tiada Kau ingat lagi kesalahanku…”. Apakah Tuhan melakukannya? YA! Jonathan Lamb dalam bukunya “Integritas (Perkantas)” mengutip pernyataan Tom Wright: “Inilah salah satu inti kedisiplinan dalam hidup orang Kristen yang dengan beberapa hal tertentu, kita sebaiknya dengan sengaja melupakannya, dan berhasil melakukannya… “Seandainya saya memang telah mengampuni siapapun dan dalam hal apapun”. Ini bukan lupa. Ini merupakan bagian dari kedisiplinan pribadi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.”
Ya, Allah mengampuni, Ia juga “melupakan”. Paulus pun melakukannya dalam II Korintus 2:5-11. Sungguh suatu nilai yang sangat ilahi. "To forgive is to forget". Mengampuni berarti melupakan.
Aku kembali teringat akan kekasihku, yang pelupa itu. Pernah aku menyakitinya, bahkan mungkin tak akan terlupakan. Tapi dengan bijaksana ia menatapku, “Sudahlah, tidak usah diingat lagi…”. Oh, aku sungguh berbahagia, punya Allah dan kekasih yang sangat mengasihiku.
Allah tidak akan melupakan kita. Ia setia pada janjiNya. Mari renungi 3 ayat ini:
Ulangan 4:31 Sebab TUHAN, Allahmu, adalah Allah Penyayang, Ia tidak akan meninggalkan atau memusnahkan engkau dan Ia tidak akan melupakan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu.
Yesaya 44:21 Ingatlah semuanya ini, hai Yakub, sebab engkaulah hamba-Ku, hai Israel. Aku telah membentuk engkau, engkau adalah hamba-Ku; hai Israel, engkau tidak Kulupakan.
Yesaya 49:15 Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.
Pacarku pelupa. Biarlah, asal dia ingat, dia mengasihi Tuhan dan mengasihiku. Aku pun. Akan tiba suatu saat, di mana aku akan lupa banyak hal, bahkan tidak ingat apa-apa lagi. Tapi satu hal aku minta kepada Tuhan: Ingatlah ya Tuhan, ingatkan aku, bahwa aku mengasihiMu dan kekasihku, juga orang-orang yang mengasihiku.
Janji manisMu Tuhan: “Janji yang manis, kau tak Ku lupakan”. Ya, aku tidak lupa itu.
Buat kekasihku: Misni (menuju 5 tahun,,,)
Aku sudah bisa bawa (baca: mengendarai) mobil. Tapi belum mahir, belum berani ke jalan raya yang macet. Kok sudah bisa? Ya, kata orang kalau ingin lebih cepat menguasai sesuatu, harus punya dulu. Ada benarnya, aku semakin menguasai gitar, sewaktu kelas 6 SD, Bapak membeli sebuah gitar (yang saat itu, sangat bagus, sampai sekarang juga). Tapi mobil?? Kapan?? Janjinya dulu, waktu aku lulus SD (saat itu usiaku 11 tahun, Bapak 38 tahun). Aku pikir gak mungkin lagi. Tapi akhirnya kesampaian juga (semakin mengimani tidak ada yang tidak mungkin bagi orang percaya Mrk 9:23, meskipun menanti sekitar 12 tahun. hehehe), di ultah Bapak tahun ini, dia menghadiahi dirinya sendiri 1 mobil (di saat usiaku hampir 23 tahun, dan Bapak genap 50 tahun). Di situlah aku semakin mempelajari “kendaraan yang susah diparkir ini” (dibanding sepeda dan sepeda motor).
Mesinnya diesel (seperti nama anjing pertama kami dulu). Dan diceritakanlah apa keunikan diesel. Aku hanya angguk-angguk kepala (sok ngerti) padahal sebenarnya gak terlalu ngerti (walaupun sempat kuliah di teknik mesin, tapi kerjanya cuma ngerjain kalkulus + menggambar, mesin bubut). Lama-lama kupikir, ada juga kemiripanku (dan perbedaanku) dengan “diesel” ini.
> Lama panasnya. Paling tidak setengah jam sebelum pergi, mesinnya harus dipanasin dulu. Gak bisa langsung pakai. Tapi kalau sudah “panas”, tenaganya paling kuat dan tahan lama. Tanjakan sekalipun, diesel bisa mengatasinya bahkan mulai di gear 2. Bisa menempuh jarak beribu kilometer (gak heran kenapa truk dan bis AKDP, AKAP bermesin diesel).
Aku juga sering gitu (hehehe). Kalau pengen ngerjain ini-itu, langsung muncul pikiran: “gimana kalo setengah jam lagi” :) Apalagi kalau ngerjain artikel, aduh,,, “lama panasnya”. Biasanya hanya kupandang-pandangi dulu sampai sekian lama, barulah muncul ide untuk menulis. Terkadang mandek, terkadang lancar habis, sampai berjam-jam bisa terus menulis, membaca, menulis lagi… Selesai satu artikel, muncul lagi ide untuk menulis artikel lainnya (terkadang diminta). Tapi apa langsung ditulis? Belum tentu :) seringnya “setengah jam lagi” atau seminggu lagi. Sebentar lagi demi sebentar lagi, nantilah demi nantilah, akhirnya gak jadi-jadi. Hehehe.
Ternyata banyak juga yang menggemari tulisanku. (*berusaha tidak sombong). Dari beberapa pesan yang masuk, turut mendorong untuk terus menulis, dan beberapa ada yang mengusulkan untuk membuat blog sendiri. Ya, terima kasih teman-teman, atas dukungannya, akan diusahakan. Tapi, ya itu tadi, aku ini “lama panasnya”. Satu artikel terkadang butuh waktu yang lama… Takut blog-nya tidak produktif. Doakan saja :)
> Ternyata untuk diesel, solarnya minimal harus terisi 1/3 dari volume, tidak boleh kurang dari situ, kalau tidak, mesinnya “ngambek”. Sama seperti diriku: “tidak boleh lapar” :) Dalam kondisi normal, isi perutku jangan sampai menyentuh 1/3 volumenya, kalau tidak, aku akan menjadi orang yang emosional dan tidak bisa berpikir (Oh Tuhan, maafkan aku…). Yesus saja rela menahan lapar demi pelayanan (Yoh 4:31-34). Memang susah menahan emosi kalau lapar :) jadi teringat Yakobus 1:19-20 Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. (Harusnya di sini yang cocok “lama untuk panas”).
> Yang jangan sampai ditiru: Diesel mesinnya lebih kasar (berisik), dan sumber polusi udara. Nah, semoga ini yang tidak ada dalam diri kita. Biarlah yang keluar dari perkataan, pikiran dan perbuatan kita, bukanlah menjadi “polusi” bagi orang lain, sehingga orang lain tidak perlu “menutup mata, hidung, mulut dan telinganya” karena kita, seperti diesel. Efesus 4: 29-32 “…pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia…hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”
Ok, teman-teman. Semoga renungan-renungan sederhana bisa membuat kita belajar banyak hal. Belajar dan belajar selama hidup. Tuangkan dalam tulisan. Siapa tahu bisa menjadi berkat bagi orang lain. Sebenarnya kalau kita pikirkan, Alkitab ada karena orang-orang yang “mau dan rela” untuk menuliskannya. Bersyukur karena Roh Allah memakai “orang-orang terbatas itu” untuk menuliskan Alkitab (Firman Tuhan) yang menuntun kita ke jalan yang benar. Apa jadinya kalau Musa tidak mau menulis? Kalau Daud (juga pemazmur lain) dan Salomo ogah menulis puisi, doa, lagu ciptaan dan kata-kata bijak mereka? Kalau nabi-nabi (atau juru tulisnya) malas menulis? Kalau rasul-rasul enggan mencatat? Kalau Paulus tidak berkirim-kirim surat? Ah, janganlah… Padahal sekarang enak sekali untuk menulis, tidak seperti mereka dulu… Sesungguhnya tidak ada hal yang terlalu sederhana, semuanya luar biasa, karena di dalamnya Allah berkarya… tuangkan saja dalam tulisan… Semoga menjadi berkat.
Salam, Kawas. 5 Juni 2009
hati kami…
Amsal 4:23 Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.
Ternyata sangat penting menjaga hati, dari situlah terpancar kehidupan. Segala sesuatu yang kita ucapkan, pikirkan, perbuat, bersumber dari hati. Kita bisa mencintai dari hati, namun juga bisa membenci dari hati. The heart of the problem is the problem of the heart, karena itu waspadalah. Hati-hati dengan hati
Tuhan sangat rindu untuk tinggal tetap di hati kita. Biarkan Dia di sana, berdiam di hati kita untuk menguasainya, sehingga yang keluar dari hati kita hanyalah kasih, kebenaran dan kebaikan.
Karena itu jugalah kenapa blog ini ada. Tulisan, ide, pikiran, yang muncul dari hati kami yang paling dalam saat melihat kondisi sekitar (ekstern) maupun yang terdorong dari dalam hati (intern). Blog ini tercipta juga karena dukungan yang tulus dari hati teman-teman yang senantiasa mengisi hari-hari kami dan membuatnya penuh warna, sungguh, mereka selalu ada di hati kami. Terima kasih. Ingin rasanya terus mengungkapkan isi hati ini.
Hati, juga kami buat sebagai singkatan dari harapan dan penantian. Bukankah hidup ini adalah demikian? Harapan akan sesuatu yang lebih baik, masa depan yang pasti dan penuh harapan bersama dengan Tuhan. Penantian akan kekekalan yang Tuhan sediakan bagi kita yang setia menjaga dan menyerahkan seluruh hati kepadaNya. Itulah hidup: hati= harapan dan penantian.
Terimalah blog ini, karena kami mempersembahkannya dengan tulus hati, segenap hati kami. Dari palungan hati kami. Kami: Kawas & Misni, yang telah Tuhan persatukan selama sekian tahun dan belajar mengasihi dari hati meski jalan berliku.
Sekali lagi, terimalah persembahan hati kami: Harapan-Penantian dari Kawas-Misni.
Tuhan memberkati,
Kawas Rolant Tarigan & Misnilawaty Sidabutar.
[dipertemukan Tuhan di SMA Negeri 1 Plus Matauli Pandan, Tapanuli Tengah, berlanjut ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) STAN, Persekutuan Kristen antar Universitas (Perkantas), dan Departemen Keuangan.]
-grace alone-.