Di ujung tahun ini, saya teringat beberapa bagian Alkitab yang membawa saya pada sebuah refleksi akhir sekaligus awal tahun.
Kelima kitab Musa sebagai sumber utama sejarah perjalanan Israel dan penjabaran kasih setia Allah, diakhiri dengan kitab Ulangan. Sepertinya kita diajak untuk mengulang dan terus mengingatnya bahkan menceritakannya, bahwa Allah itu setia. (Ul 8:2) Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak TUHAN, Allahmu, di padang gurun selama empat puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan menguji engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak.(17) Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.(18) Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini. (Ul 11:7) Sebab matamu sendirilah yang telah melihat segala perbuatan besar yang dilakukan TUHAN. (12) suatu negeri yang dipelihara oleh TUHAN, Allahmu: mata TUHAN, Allahmu, tetap mengawasinya dari awal sampai akhir tahun.
Bagian Alkitab yang menceritakan hidup terus berjalan dan selalu dihadapkan pada pilihan: (Yos24:15) “Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!".
Atau pada zaman Hakim-hakim: silih berganti Tuhan memilih orang-orang-Nya, namun Israel berbuat jahat, bertobat, lalu jahat lagi, dan begitu seterusnya. Masa Raja-raja Israel pun begitu: dari bapak ke anak-anaknya: ada yang melakukan apa yang benar di mata Tuhan, ada yang melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Pilihan untuk setia ikut Tuhan atau tidak, dengan segala konsekuensi kedua hal tersebut. Itulah yang terus menerus diserukan oleh para nabi dan rasul.
Saya juga teringat beberapa tokoh Alkitab: Samuel, yang dicatat dalam Alkitab “...semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia.(1Sam2:26), dan pernah mencatat sejarah: “Kemudian Samuel mengambil sebuah batu dan mendirikannya antara Mizpa dan Yesana; ia menamainya Eben-Haezer, katanya: "Sampai di sini TUHAN menolong kita." (1Sam7:11).
Ada Hizkia (2Raj20:1-11) yang diperpanjang Tuhan umurnya 15 tahun lagi setelah divonis mati. Saya merenungi bahwa kitapun adalah orang-orang yang umurnya diperpanjang Tuhan sehari demi sehari hingga bisa hidup sampai saat ini.
Daud, orang yang pernah bersujud dan berdoa: "Siapakah aku ini, ya Tuhan ALLAH, dan siapakah keluargaku, sehingga Engkau membawa aku sampai sedemikian ini? (2Sam7:18), yang pernah menulis Mazmur 23: Tuhan adalah gembalaku, itu sudah cukup! Atau yang menulis syair: “Lanjutkanlah kasih setia-Mu bagi orang yang mengenal Engkau, dan keadilan-Mu bagi orang yang tulus hati!” (36:11), “Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!” (103:2), “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya”.(136:1).
Paulus, yang pernah berkata: “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” (Flp1:6).
Dan Tuhan Yesus sendiri, dengan jaminan-Nya: “...Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat11:28), “...Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."(28:20).
Semoga bagian-bagian yang terlintas dalam kepala saya ini bisa menolong kita untuk merenungi dan meyakini kasih setia Allah, bahkan membagikannya :) Selamat mengakhiri 2009, di satu sisi mengawali tahun 2010. Saat ini adalah waktu yang baik untuk menoleh ke belakang mengingat penyertaan Allah, menatap ke depan di sanapun providensia Allah yang sama tersedia, menengadah ke atas bersyukur kepada Sang Pencipta, dan tertunduk ke bawah berdoa atas anugerah yang kita terima dan menyerahkan segenap harapan ke tangan Allah yang kuat!
Many things about tomorrow, we don’t seem to understand. But we know Who holds tomorrow, and we know Who holds our hand.
God bless you friends :)
Saya harus mengatakannya dari awal: tulisan ini beda! Beda dari biasanya. Entah apa namanya, fiktif romantik, atau apalah. Saya si melankolis termenung di depan laptop, dan memberikannya judul: Pengagum rahasia.
***
Hujan deras begini, bahkan sampai berhenti, aku masih saja teringat akan dirinya. Bukan hanya itu, dari mentari menyapa hingga permisi di sore hari, berganti malam dengan bintang menemani, dia masih saja tak lepas dari pikiran ini. Aku masih saja mengingatnya. Senyumannya, hitam rambutnya, gaya jalannya, hal terindah yang pernah kuingat, dan setiap kali aku memikirkannya, tak terasa bibirku melengkungkan sebuah senyuman. Aku semakin meyakini Sang Pencipta berkarya begitu indah, dengan melihat dirinya. Aku semakin yakin malaikat itu ada, karena aku bisa membayangkannya melalui dia. Ah, biarlah aku bermanja dengan lamunan.
Aku melihatnya pertama kali tanpa sengaja (meskipun aku yakin bahwa itu Tuhan sengaja) sewaktu berjalan kaki sendirian. Mata ini tak berhenti menatap sang gadis yang berjalan di depanku. Sesekali aku mendengar bisikan senandung lagu dari gumamnya. Dia begitu indah. Tapi aku tak mau dia sadar bahwa aku sedang mengaguminya. Berawal dari situ, tahulah aku, bahwa hati ini telah tercuri.
Aku hanya ingin mempertahankan keceriaan yang ada di wajahnya. Aku ingin membuat kejutan-kejutan kecil untuknya. Walaupun seringkali malah aku yang terkejut karena responnya. Terkadang biasa saja, terkadang gembira. Itu sudah cukup membuat hariku berwarna. Dan untuk besok, aku harus berpikir lebih keras lagi, bagaimana membuatnya menikmati hari lepas hari. Aku yang setia menulis memo-memo kecil untuknya, aku yang setia menemaninya berjalan meski tak di sampingnya. Tak perlu dia tahu berapa sering aku menyebut namanya dalam doaku, tak perlu dia tahu berapa kali aku pernah menangis untuknya. Kalau aku rindu, aku meneleponnya dengan private number, dan setelah terdengar suara lembutnya, aku tak berani lagi melanjutkan. Itu sudah cukup membuatku tenang. Pernah aku sms dengan nomor dan gaya yang berbeda, tapi sayang, responnya tak seperti yang ku duga. Tapi tidak apa. Aku senang dengan cukup meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Mungkin bagianku adalah dari jauh melihatnya bahagia. Dan bahagianya adalah bahagiaku. Bagiku itulah cinta. Sangat sederhana. Dan aku mengalaminya. Bukan: aku cinta dia karena menarik, tetapi: dia menarik, karena aku cinta.
Aku tak mau disebut sebagai temannya. Karena memang bukan demikian. Aku cuma ingin jadi bagian kecil dalam keceriaannya. Aku tak ingin mengganggunya, karena aku takut, mungkin saja hal terindah seperti ini tak kan ku dapatkan lagi. Biarlah ini menjadi rahasiaku, demi cinta. Sekalipun sampai akhir nanti, rasa ini tak mampu ku ungkapkan, aku sudah siap untuk itu. Mungkin kata orang aku lemah, pengecut, bertepuk sebelah tangan? Tapi sepertinya tidak juga. Justru aku semakin belajar cinta Sang Khalik, yang tetap mengasihi walau tak berbalas. Dan bukankah itu cinta yang sesungguhnya? Karena cinta bukan soal dibalas, tetapi aku hanya ingin dia merasakan, bahwa ada satu insan yang mencintainya... Dia bisa merasakan aliran cinta itu. Itu saja. Aku bahkan tak berharap besar bahwa suatu saat dia akan mencintaiku. Maafkan aku kalau keliru. Karena akupun sadar, manusia sepertiku tak layak untuk dicintai makhluk seindah dirinya. Biarlah aku menjadi pengagum rahasianya, dan ambil bagian dalam keajaiban-keajaiban kecil hidupnya. Andai saja Tuhan menganugerahkan keberanian dan kesempatan untuk bersapa langsung padanya, izinkanlah aku bertanya 2 hal, pertama: “Kalau aku bisa mengabulkan sesuatu padamu, apa permintaanmu?”; dan yang kedua: “Bolehkah aku mengusap air matamu?”.
Saya dihubungi tim buletin untuk sharing tentang studi dan pelayanan. Dalam hati kecil saya, rasanya kok saya kurang layak untuk topik ini, karena bahkan sampai tamat kuliah, saya masih dan akan terus belajar untuk maksimal di kedua-keduanya.
Mari berimajinasi beberapa kemungkinan kondisi mahasiswa baru yang diterima dan akan kuliah di STAN: membawa petuah-petuah sakti dari orang tua yang disampaikan sebelum berangkat, impian untuk memperoleh IP tinggi, bahkan lulus cum laude (di kamarnya ditempel potongan kertas yang berisi impian: Ayo!! IPK=3,75), dengar-dengar dari senior: ancaman DO tiap semester, sistem perkuliahan yang tak menentu (SSD: suka-suka dosen), setelah lulus: sindrom ‘prestasi menentukan lokasi’ (penempatan), obsesi cari pacar karena ingin dapat calon pendamping yang juga PNS, atau apa lagi?Bisa anda perpanjang sendiri daftarnya. Saya anak daerah, dan mengalami hampir semua kondisi tersebut, kecuali yang terakhir. Namun, seiring berjalannya waktu, ambisi-ambisi itu dikikis sedikit demi sedikit. Apalagi setelah saya mengenal PMK, wadah bertumbuh dan melayani, ambisi saya yang kelihatannya baik itu, ternyata hampir semua egosentris, dan perlahan-lahan dibelokkan menjadi Theosentris. Rasanya sangat sayang sekali, 3 tahun masa kuliah yang dianugerahkan Tuhan, cuma dipakai untuk kuliah, ditambah nge-kos, makan, tidur, main bola, belanja, mengerjakan tugas, begitu seterusnya. Saya sangat yakin ketika Allah mengizinkan 3 tahun di STAN ini, ada sesuatu yang lebih, yang harus saya kerjakan, dan itu saya dapat di PMK, terlebih lagi di KKP (kelompok kecil). Saya dibina dan mulai terlibat dalam pelayanan. Awalnya sebagai abid ibadah yang mengurus persekutuan tiap Jumat. Ternyata cukup memakan banyak waktu: mempersiapkan tema, pelayan, Pembicara, mendampingi latihan, sampai evaluasi, begitu setiap minggunya, selama setahun. Namun saya semakin menikmati, dan semakin lama semakin terlibat dalam pelayanan yang lebih besar dan luas lagi. Kalau boleh didaftarkan, pelayanan yang pernah saya kerjakan selama 3 tahun itu: abid ibadah, panitia Bintal, Retreat, BPH (Ketua 2, kemudian Ketua Umum PMK STAN), Guru Sekolah Minggu GKI BIntaro Utama, PKK (pemimpin KKP), P-PIPA, ditambah pelayanan di PMKJ/ Perkantas Jakarta, sangat melelahkan, dan pasti menambah beban pikiran, namun ada sukacita di lubuk hati. Sangat menyita waktu, bahkan sampai di titik saat saya ‘keteteran’ dalam studi. Hanya belajar kalau di kelas. Kalau dosen tidak masuk, ya tidak belajar. Lebih suka baca buku rohani daripada Akuntansi, lebih sering bawa Alkitab daripada Kitab UU Perpajakan. Akhirnya tidak mengerti apa-apa, ujian mendekat. Seringkali menyalahkan dosen, sistem perkuliahan. Padahal harusnya saya sadar, bahwa tugas mahasiswa adalah belajar (aktif), bukan diajar (pasif). Untung ada teman-teman persekutuan yang menolong saya. Akhirnya saya belajar, menyeimbangkan antara studi dan pelayanan. Di tingkat 3 saya sangat bersyukur, bersama beberapa teman PMK, kami membentuk kelompok belajar, dan saya sangat merasakan dampaknya. Pelajaran yang kosong, tidak dimengerti, jam tentir yang tak terikuti, tak jadi masalah berarti lagi, karena kelompok belajar yang siap mengganti Wah, pokoknya senang sekali, pelayanan dan studi berjalan berdampingan.
Dalam perenungan saya, adalah kerugian yang tak tergantikan, apabila seseorang yang mengaku mahasiswa Kristen, namun selama masa yang terbatas dan singkat di kampus hanya digunakan untuk kuliah, tak menggunakannya untuk menyaksikan Kristus dan karya-Nya pada orang lain. Alasannya apa? Banyak. Misalnya: “sekarang masa kuliah, jadi fokus ke kuliah dulu”. (Pendapat ini sebenarnya diformulakan dari nasihat orang tua kebanyakan: “kau kesana untuk kuliah, jangan macam-macam”. Adakah orang tua yang ikut menitipkan pesan pelayanan kepada anaknya? “Kalau ada kesempatan, melayanilah! Gunakan waktumu sebaik-baiknya.”. Jarang sekali. Dan saya sangat merindukannya. Mungkin pesan penting lainnya adalah: “Jangan pindah gereja/ cari gereja yang baik. Rajin-rajin gereja.”. Titik sampai di situ. Tidak ada dorongan melayani). Kalau kita pakai pandangan ini, kita tidak akan pernah terlibat dalam pelayanan. Waktu kuliah: fokus kuliah dulu, waktu kerja: fokus kerja, waktu berkeluarga: fokus keluarga, akhirnya: tak jadi-jadi ambil pelayanan. Atau alasan yang lebih rohani: “Yang penting aku belajar baik, studiku baik. Bukankah itu pelayananku?”. Ya, sangat setuju. Tapi, masakan pelayananmu hanya dalam bentuk studi yang baik? Terlalu egois rasanya. Tidak adakah bagian yang lebih nyata untuk mengenalkan Kristus pada orang lain, dalam penginjilan, pembinaan (pemuridan), pelipatgandaan orang-orang, untuk menghasilkan alumni yang bukan hanya bermutu dalam ilmu namun juga iman???
Mungkin inti masalahnya adalah bagaimana menjadikan Kristus yang terutama, menjadi poros kehidupan. Seperti roda, apapun yang sedang kita prioritaskan, tetaplah porosnya adalah Kristus, sekalipun suatu saat nanti akan berganti prioritas (berputar), tetap semua berpusat pada Kristus. Melakukan semuanya untuk Tuhan (Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia- Kol3:23). Wah, indah sekali bila kita menerapkannya. Kuliah yang baik, bukan untuk cari nilai, tetapi cari ilmu, bukan sebatas menyenangkan hati orang tua, tetapi menyenangkan hati Allah. Seimbang antara studi dan pelayanan. Bukan fokus studi namun menerlantarkan kesempatan (kairos) pelayanan, bukan pula fokus pelayanan namun melalaikan tanggung jawab belajar dan jadi batu sandungan.
Seperti yang saya tulis di awal, saya juga bergumul dan terus belajar untuk menyeimbangkan keduanya. Saya belajar banyak dari orang-orang yang saya teladani, yang sama-sama dianugerahi 1 hari=24jam, dan mereka mampu mengefektifkannya. Saya pun terdorong untuk itu, bahkan setelah alumni. Di tengah pekerjaan, saya komitmen untuk pelayanan sebagai penilik dan pendamping pelayanan mahasiswa Jakarta, khususnya STAN, meskipun menempuh jarak dari Karawang, Jawa Barat. Dan setelah alumi pula, saya semakin menikmati pekerjaan Allah dulunya sewaktu saya kuliah. Seperti doa seseorang, doa saya sewaktu menjadi mahasiswa: “Ya Tuhan, anugerahkanlah studi yang baik, persekutuan yang baik, gereja yang baik.”. Puji Tuhan, Dia jawab ketiga-tiganya. Dan 3 tahun, adalah waktu yang sangat singkat, untuk melayani selagi mahasiswa, jadi jangan sia-siakan, jangan gantikan dengan sesuatu yang nilainya hanya sementara. Hold tightly to what is eternal. Hold lightly to what is temporal! Selamat melayani rekan-rekan mahasiswa dan alumni. Ingat, visi pelayanan mahasiswa adalah menghasilkan alumni yang berintegritas. Artinya? Mampu mengintegrasikan iman dan ilmu. Soli Deo Gloria. Semuanya milik Tuhan, studi, pekerjaan, pelayanan, waktu, harta, seluruh hidup kita. Seperti tema bulletin ini: I’m YOURS. Seperti kata pemazmur: “I am yours--save me! I have tried to obey your commands” (Psalm 119:94-TEV).
Salam dari Karawang, Kawas Rolant Tarigan.
Pak, Mak, apa kabar? Wah, sudah bulan Desember. Di mall-mall, pohon Natal udah dipasang, pernak-pernik Natal dijual sana-sini, lagu-lagu Natal terdengar hampir di setiap tempat. Gimana di rumah? Bapak mamak lagi sibuk apa? Pasti sekarang lagi sibuk-sibuknya latihan koor... Untuk festival koor, tampil di Natal Oikumene, Gereja, Sekolah dan Natal-natal lainnya. Dan pasti mamak sering kali ke salon dalam bulan ini untuk disanggul. Ya kan? :)
Aku jadi teringat waktu kecil, bulan Desember penuh kenangan, bulan yang paling ku tunggu (selain bulan Agustus). Di bulan ini pasti aku siap tampil dimana-mana. Hahaha... Mulai dari liturgi, puisi, deklamasi, drama, koor anak-anak, vokal group, cerdas tangkas Alkitab, dll, dan pasti aku pengen jadi juara satu. Hehehe... Bukan hanya di Natal Sekolah Minggu, tapi di Natal sekolah bapak, mamak, natal STM, bahkan kalian suruh pun tampil di natal-natal arisan. Wah, heboh... Beberapa hal yang masih kuingat setiap kali aku di depan, bapak pasti sibuk mengambil kamera dan memotretku dari berbagai sisi setiap aku tampil, atau sehabis Natal, pasti mamak nyuruh kami poto di depan pohon Natal gereja, dan sering kali sikapku adalah sikap sempurna tanpa ekspresi (atau tangan dimasukkan ke dalam kantong celana). Hahaha... Foto kami bertiga masih ada di kamarku. O iya, ada lagi yang lain. Saat itu baju putihku cuma satu (itupun “kembar” sama B’ Epon, beli dua biar murah, modelnya sama persis, cuma beda ukuran, katanya supaya bagus kelihatan seragam. Jadi aku sering ketawa sendiri sekarang kalo ngelihat anak-anak kecil orang Batak yang bajunya kembar-kembar). Hahaha... Jadi baju putihku itu harus beberapa kali cuci kering pakai, karena dalam seminggu ada beberapa Natal, dan pakaiannya putih-hitam. Saat itu juga mamak pasti memasangkanku dasi kupu-kupu, karena aku gak bisa memasangnya sendiri. Dan setelah semua siap, setelah rambutku disisir ke samping, mamak pun membanggakan: “Ah, ganteng kali anak mamak...”, aku pun jadi PeDe, padahal seringkali kurasa saat itu celanaku udah kekecilan, jadi agak gantung, tapi gak papa. Hanya mamak yang bilang aku ganteng. Hahahaha...
Tapi itu sampe aku SD aja. Setelah SMP gak gitu lagi. Aku mulai laris jadi gitaris Natal. Hehehe...
O iya. Mamak udah buat kue belum? Teringat dulu waktu kecil, bulan segini pasti kita udah sibuk buat kue. Semua kerja. Dan setiap tahun bagianku (sama b’ Epon) adalah mengupas kacang, untuk dibuat kacang tojin. Kacangnya disiram air panas, dan dikasi garam, terus dipencet-pencet supaya terkelupas. Awalnya seru, tapi lama-lama (karena kacangnya banyak) tangan udah kisut, bosan juga. Akhirnya jadi main-main. Gitu juga kalo buat kue yang lain. Jadi tukang ayak tepung, giling adonan pake botol, atau ngoles kuning telur di atas kue kacang atau kue keju. Awalnya seru, lama-lama bosan, main-main, akhirnya: kena cubit! Wow. Setelah di-oven, aku selalu menanti ada kue yang pecah, rusak, gagal lah pokoknya, dan langsung dimakan. Lama-lama dimarahin, karna ternyata kue yang sempurna cuma dikit. Kalo semua kuenya udah jadi, mamak nyimpan stoples kuenya di kamar, supaya gak kami habiskan. Hahaha…
Hah,,, seru ya, momen-momen Natal gitu... Bapak, mamak, Natal ini aku gak pulang (lagi)... Tapi semoga keceriaan Natal kita tiap tahun makin bertambah, seiring berkat-berkat Tuhan yang tak pernah habisnya. Dan semoga kita juga enggak terjebak di kesibukan Natal, sekedar pelaksana/ panitia, peserta, atau sekedar seremonial. Tapi kita boleh terus mengingat kasih Allah, yang menyertai kita itu, DIA lahir demi kita, dan ingin tinggal tetap di hati kita, melakukan perubahan-perubahan istimewa supaya kita juga boleh menjadi perwujud-hadiran-Nya di sekitar kita. DIA lahir menghadirkan damai, sukacita dan keselamatan buat dunia ini. Tapi biarlah semuanya itu dapat kita tunjukkan di dunia yang paling kecil: keluarga kita, atau lebih kecil lagi: diri kita sendiri.
Sekali lagi Bapak, mamak, selamat Natal ya… Walaupun aku gak pulang, tapi kalian selalu ku ingat dalam doaku. Oh iya, bentar lagi kan tahun baru. Apa harapan di tahun baru nanti? Kalau aku sederhana aja, semoga kita semua masih mampu tersenyum tulus karena kesadaran bahwa Tuhan telah, masih, dan akan terus menyertai keluarga kita.
Salam rindu dari Karawang,
Kawas Rolant Tarigan
*satu lagi: Bapak tau gak sih, bisa facebook-an lewat hp bapak itu? Kapan mamak punya facebook? Hehe… Miss you all…
KTB 05 harus dihidupkan lagi!!
Kenapa? KTB: Kelompok Tumbuh Bersama. Untuk orang berTUMBUH, dia perlu komunitas (KELOMPOK), dan betapa susahnya bertahan kalau dia hanya sendiri, dibutuhkan wadah keBERSAMAan. Untuk itulah KTB ada. Sudah cukup kebaktian kantor? Berapa orang yang punya persekutuan kantor? Bagi yang ada, berapa sehat persekutuan kantor? Bagi yang persekutuan kantornya baik, maukah membagikannya dengan yang lain? Di mana kita yang dulu pernah dibina bersama bisa kembali lagi saling belajar firman, sharing dan mendoakan saling menguatkan. Kesenangan hati karena: “ah,,, ternyata ada yang mendoakanku”. Berapa orang alumni yang masih setia dalam perkara kecil? Atau sudah larut dalam kompromi2 kecil, kemalasan? Dari semua pertanyaan itu, mungkin jawabannya 1 yang efektif: ayo, kita KTB lagi!
Sejarah mencatat, apa yang mampu membuat orang bertahan setia pada kebenaran? KTB salah satu jawabannya.• PMK-PMK berdiri, mulanya hanya diawali oleh KTB-KTB
• Pejuang-pejuang kebenaran, contohnya: KAMG (Komunitas Air Mata Guru) hanya dimulai dan dipertahankan lewat KTB
• Beberapa tokoh: Pieter Jacob, Rully Simanjuntak, Mangapul Sagala, Jonathan Parapak, Zakheus Indrawan, dll mampu setia karena terus ber-KTB
• Daniel, Mesakh, Sadrakh, Abednego mampu bertahan karena KTB mereka.
• Masih banyak lagi yang bisa teman2 tambahkan, bahkan hal-hal kecil atau orang-orang yang kita jumpai sehari-hari.
KTB ini hanya mimpi, kalau tidak diwujudkan. Ayo, kita KTB lagi. Kami sudah membuktikannya melalui kelompok yang lebih kecil (Kawas, Dapot, Anu, Anto, Valen, Misni, Angga), hari Jumat yang lalu, berkumpul di Monas, di bawah pohon rindang, duduk di atas koran, dengan banyak snack, membahas Filipi 1:1-11. Wah, indah sekali... Dari situ kami menyatakan perjuangan untuk terus mempertahankan KTB kita, bahkan dalam kelompok yang lebih besar. Ini doa kita bersama, bukan?
Doakan dan hadirilah: KTB 05 kita:
Sabtu, 12 Desember 2009 jam 13.00 di Monas. Bahan: Diberkati untuk menjadi Berkat bab 2.
Yang mimpin: cewek: Angga, cowok: Anu ; Pemusik: Kawas.
Datang ya semua teman-teman... Ajak semua PMK angkatan 05 semaksimal mungkin yang bisa kita ajak, jangkau dan hubungi.
Ditunggu ya temans... When you pray, will you pray for me?
Kis 2:42-47 Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa... Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, .. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.
Shalom teman-teman. Aku mau mensharingkan tentang Retreat Koordinator XI. Retreat Koordinator (RK) adalah wadah pembinaan dan kesatuan bagi pemimpin-pemimpin PMK (Jakarta dan regional). Sudah dimulai sejak 1991, dan sekarang RK XI. (untuk setiap perkembangannya, ada di attachment from RK to RK). Kalau ditanya aku pribadi, tentang kebangkitan kampusku, aku akan jawab salah satu hal yang paling penting adalah RK IX (thn 2005), di momen itu PMK STAN ditolong bangkit, dan puji Tuhan bisa terus bertumbuh :). Hal itu jugalah yang mendorongku kenapa mau ambil bagian dalam kepanitiaan RK XI yang sangat melelahkan dan memakan banyak biaya, tenaga ini: aku adalah orang yang berhutang... Aku ingin kampus lain juga menikmati hal yang lebih baik lagi.
RK XI (Retreat Koordinator XI) diadakan untuk memperlengkapi pemimpin-pemimpin kampus dalam melayani di kampus (mengerjakan visi Allah di kampusnya) dan mengobarkan semangat visi kesatuan dan kedewasaan. RK XI diadakan di Bandung, 25-28 Februari 2010, dan dihadiri total sekitar 500 orang dari 14 kota besar di Indonesia, dengan tema Dipilih Allah Untuk DipakaiNya (D.A.U.D). Mengeksposisi tokoh Daud, pemimpin dengan penuh liku dalam sejarah Alkitab dan dicatat sebagai orang yang berkenan di hati Allah (Kis13:22), kiranya demikian juga pemimpin-pemimpin PMK.Karena momen besar, biaya yang dibutuhkan juga cukup besar. Total biaya yang dibutuhkan Rp.258.746.000 (target pemasukan dari donatur Rp.108.296.000). Kalau dirata-ratakan satu orang peserta selama 4 hari 3 malam memakan biaya sekitar 500 ribu per orang, dan itu pastilah sangat memberatkan bagi para peserta yang adalah mahasiswa. Apalagi bagi teman-teman yang ada di regional (Sumatera bagian selatan, Kalimantan, Sulawesi), yang untuk ongkos perjalanan sudah harus berjuang keras. Jadi semua peserta disubsidi dengan pencarian dana. Dan panitia juga membuat adanya perbedaan kontribusi peserta berdasarkan pertimbangan kesanggupan. Untuk kampus yang sudah memadai (alumninya juga sudah kuat), dikenakan 400 ribu per orang, begitu seterusnya, ada yang 300 ribu dan 200 ribu. Karena itulah kebutuhan pencarian dana sangatlah besar.
Apa yang bisa teman-teman berikan?
• DOA. Tolong doakan agar Allah dalam segala kemurahan-Nya menolong setiap persiapan Panitia, termasuk dalam menghubungi peserta, pelayan, dan pencarian dana.
• DIRI. Teman-teman bisa ikut ambil bagian dalam menghubungi peserta yang bisa teman-teman jangkau, atau ada teman-teman yang dihubungi sebagai pelayan.
• DANA. Teman-teman bisa menjadi saluran berkat Allah dengan memberikan donasi kebutuhan dana yang masih sangat besar. (Nomor Rekening ada di proposal RK). Bayangkan, berapa pun yang teman-teman berikan, itu sangat berarti untuk menolong (mensubsidi) peserta yang membutuhkan. Mungkin kondisi kita berbeda-beda, mungkin sedang di saat-saat (atau akan) banyaknya pengeluaran; namun, bukankah di situ letak arti indahnya memberi? berapa pun yang teman-teman sisihkan, sangat berarti di mata Allah. Teman-teman tidak harus memberikan sekaligus, kita juga bisa menjadikan donasi ini sebagai salah satu persembahan bulanan (mungkin sampai Februari), yang mungkin nilainya tidak terlalu besar, namun sangat berarti bila dikumpulkan dengan setia.
Terima kasih teman-teman. Ditunggu responnya. Kiranya Allah terus bekerja melalui orang-orang yang Dipilih Allah Untuk Dipakai-Nya. Ini doa kita.
“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya”. Roma 11:36.
Salam persahabatan, Kawas, panitia RK XI.
Lanjutkanlah kasih setia-Mu ya Allah…
(Menyongsong Sidang Sinode GBKP 2010)
Oleh: Kawas Rolant Tarigan
1. Spiritualitas; Kesaksian yang Utuh
Keagamaan biasanya diekspresikan melalui tiga cara, yaitu: ritual (ibadah), creed (pengakuan), dan life (cara hidup). Hal inilah yang membedakan agama yang satu dengan yang lainnya, secara khusus pagan religion (agama kuno, penyembah berhala/ tidak menyembah Allah), dengan revealed religion (agama penyataan/ yang dinyatakan). Bagi penganut pagan religion, ritual adalah hal yang paling utama, namun mereka tidak memiliki creed (pengakuan), karena tiadanya theologi yang utuh. Hal ini ditunjukkan dalam cara hidup mereka yang sangat jauh berbeda dibandingkan saat mereka melakukan ritualnya. Berbeda dengan revealed religion, contohnya agama Kristen, ritualnya ditunjukkan melalui ibadah dan kegiatan rohani, memiliki theologi yang utuh dengan pengakuan ke-tri-tunggal-an Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Sejatinya, umat Kristiani mampu menunjukkan apa yang ia percayai melalui cara hidupnya.
Apakah hal ini sudah tercermin dalam cara hidup jemaat GBKP? Sudahkah GBKP menjadi gereja seutuhnya yang menjadi saksi di tengah-tengah keberadaannya? (bukan hanya sebatas kegiatan keagamaan saja). Karena seringkali orang seakan-akan sangat taat beribadah, namun tidak demikian dalam kehidupan sehari-hari. Ini tantangan bagi gereja, bagaimana membentuk jemaat yang di dalam dirinya tidak ada dikotomi antara kehidupan pribadi dan kehidupan di muka umum, antara yang disaksikan dan yang diterapkan, antara yang diucapkan dan yang dilakukan. Jonathan Lamb dalam bukunya Integritas mengutip: “Sebagian besar kekristenan Amerika telah kembali ke paham-paham penyembahan berhala murni, di mana para penyembah berhala ternyata bisa sangat khusuk menjalankan agamanya tanpa harus terikat dengan nilai-nilai etika, moralitas, pengorbanan diri atau integritas”. Adalah bahaya yang besar apabila banyak jemaat GBKP seperti penyembah berhala ini. Jemaat yang tiap minggu rajin ke gereja namun di kehidupan keseharian tidak berbeda dengan seorang atheis. Dia tidak sadar bahwa dia sedang hidup di hadapan Allah yang maha hadir dan maha melihat, memperhatikan, memelihara dan menghakimi, meminta pertanggungjawaban.
Beberapa kali dicatat dalam Injil ketika Yesus mengecam ahli Taurat dan Farisi (Mat 15:7-9; 23:13-36), padahal mereka sangat-sangat taat beribadah, tapi cara hidupnya jauh dari kebenaran. Mengapa? Terbukti bahwa ibadah mereka bukan lahir dari pemahaman dan relasi yang benar dengan Tuhan. Bandingkan dengan kehidupan seorang jemaat GBKP yang aktif (bisa saja Pertua/ Diaken): Minggu ke gereja, Senin-Sabtu kerja, ditambah Selasa PJJ, Rabu Moria, Kamis Mamre, Jumat rapat-rapat, Sabtu menghadiri pesta-pesta, kembali ke Minggu lagi ditambah arisan-arisan persadan merga, atau PA Permata, di samping (jika ada) ngapuli, kunjungan orang sakit, dan kerja-kerja. Rutinitas yang sangat menyibukkan dan mungkin saja tak bermakna lagi, sehingga seringkali timbul keluhan karena yang didapat hanya lelahnya saja. Herannya lagi, banyak orang yang bangga dengan kesibukannya ini, bersosial, padahal tak membuahkan apa-apa bagi perubahan hidupnya. Pernahkah kita bergumul jujur di dalam hati: “jangan-jangan” sebenarnya Tuhan tidak menyuruh kita sibuk melakukan ini-itu, melainkan ada hal yang lebih penting? Mari ingat cerita Maria dan Marta dalam Luk11:38-42; Yesus memuji Maria yang duduk diam mendengarkan-Nya berbicara, bukannya pada Marta yang sibuk menyusahkan diri melayani sekalipun itu baik. Bukan menyalahkan “sibuk”-nya, justru sebagai seorang jemaat yang peduli haruslah menyisihkan waktunya untuk pelayanan, namun jangan pernah lupakan hal yang paling esensi: relasi dengan Tuhan; spiritualitas, itulah yang harus diperjuangkan GBKP bagi jemaatnya.. Spiritualitas adalah gaya hidup seseorang sebagai hasil dari kedalaman pemahamannya tentang Allah secara utuh. Spiritualitas adalah gaya hidup sehari-hari yang merupakan buah dari hubungan kita dengan Yesus. Spiritualitas adalah kedekatan atau keakraban hubungan kita dengan Yesus secara transenden yang ditampakkan dalam sikap hidup kita terhadap orang-orang yang adalah imanensi atau perwujud-hadiran Yesus . Kegiatan keagamaan yang banyak tidak menjamin spiritualitas hidup seseorang. Pelayanan bukanlah sibuk sana-sibuk sini, tetapi persekutuan dengan Allah dalam doa, saat teduh, disiplin pembacaan Alkitab dan persekutuan. Relasi itulah sebenarnya yang disebut pelayanan, dan “hal-hal yang tampak dari luar” (seperti PA, kebaktian, kunjungan diakonia, bahkan kesaksian hidup) adalah buah dari relasi kita dengan Allah. Yesus, yang adalah Tuhan, juga melakukannya (Mrk 1:35, Mat 14:23): sesibuk apapun pelayanan-Nya, Dia tidak pernah meninggalkan persekutuan dengan Bapa, karena itulah yang terutama. Dalam Yoh15:1-8 (Pokok Anggur yang Benar), kata yang lebih ditekankan adalah “tinggal (remain)”, kemudian “berbuah (bear/fruitful)”. Jangan dibalik! Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh15:5).
Hal-hal seperti ini yang harusnya diperjuangkan dalam program-program GBKP bagi pembinaan jemaat, menghasilkan jemaat yang memiliki relasi intim dengan Allah, yang disaksikan dalam sikap hidupnya. Bagaimana gereja dapat melakukan mandat Injilnya secara efektif, apabila jemaatnya gagal menjadi saksi? Ketika satu orang jemaat gagal menjadi saksi, kegagalan ini bisa meracuni satu komunitas, menghancurkan kepercayaan, menggagalkan misi yang saling terkait dan menyatu, dan yang paling berbahaya, kegagalan ini bisa mengkhianati usaha-usaha dalam pengabaran Injil dan merendahkan Allah yang kita sembah. Terlalu sedih rasanya menulis bagian ini, apalagi sepertinya tidak ada lagi passion yang menghasilkan action. Misalnya dalam beberapa sidang runggun, hampir semua hal dianggap biasa, ingin cepat selesai, tak jarang terdengar kata: “nggo me. Lanjutken kari yah...”. Sidang yang lama dianggap sebagai hal yang membuang waktu saja, padahal bisa saja ide-ide baru muncul dari situ. Akibatnya pelayanan gereja pun begitu-begitu saja, tidak ada perubahan signifikan. Banyak pula jemaat yang tidak mau tahu dan menerima saja. Bagaimana orang bisa menerima pesan Injil yang kita beritakan kalau mereka melihat “produk” Injil tersebut tidak seperti yang dikatakan? The man is the message. Kitalah yang sebenarnya saksi hidup itu. Apalagi para presbyter, penilik jemaat harus mampu menjaga dirinya terlebih dahulu, baru menjaga kawanan dombanya. Jangan “pembina” yang justru membuat pusing karena harus dibina (meskipun sedihnya, hal ini sering jadi pergumulan di GBKP). Bukankah dalam Kis 20:28 dikatakan: Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.
Biarlah hal ini menjadi perenungan di penghujung regenerasi kepengurusan ini, bagaimana pelayanan dan pembinaan yang dilakukan bisa membawa jemaat menjadi Kristen yang sesungguhnya, memiliki hubungan pribadi yang intim dengan Tuhan, yang ditunjukkan dalam cara hidupnya, bukan sekedar sibuk dengan banyaknya kegiatan agama. Kalau tidak ada perubahan nilai hidup jemaat, bukankah GBKP sedang menciptakan “ahli Taurat dan Farisi” yang baru, yang begitu sibuk (katanya) melayani, namun gagal menjadi saksi hidup?
2. History is His story (Past, Present and Future)
Sejarah kita adalah cerita tentang Allah. History is His story. Ketika kita mengingat ke belakang, bagaimana Allah memulai penginjilan bagi orang Karo, seharusnya semangat kita “terbakar” untuk terus melakukan tanggung jawab gerejawi secara pribadi. Kalau pada abad ke-19, ada orang-orang (dan itu bukan orang Karo) yang rela mati demi Injil disampaikan kepada orang Karo, bukankah kita yang mengaku berdarah Karo harusnya lebih punya kerinduan yang jauh lebih dalam agar semakin banyak orang Karo mengenal dan memper-Tuhan-kan Kristus dalam hidupnya? Para penginjil di Tanah Karo, rela meninggalkan segala sesuatunya dan melakukan segala usaha agar Injil semakin diberitakan. Mereka belajar bahasa dan adat Karo, menjadi tenaga pendidik, mendirikan rumah-rumah sekolah, tenaga kesehatan, memberikan pelayanan kesehatan/ medis, mendirikan poliklinik, setelah adanya gereja, mereka menerjemahkan lagu-lagu rohani dalam bahasa Karo agar orang Karo bisa memuji Tuhan, perbaikan perekonomian dengan pengadaan sarana pertanian, pembangunan irigasi dan jalan, dan membina pemuda sebagai generasi penerus gereja.
Bagaimana dengan kita warga GBKP? Semangat dan pembelajaran yang lalu (past), harusnya membuat kita melakukan yang terbaik saat ini (present), untuk menghasilkan masa depan (future) yang jauh lebih baik. Moderamen membentuk badan-badan pelayanan untuk efektifitas kinerja. Ada Biro Theologia dan Litbang, Biro Sekretariat dan Administrasi, Biro Humas dan Informasi, Biro Hukum dan Harta Benda, Biro Penggalian, Pelestarian dan Pengembangan Budaya (BPPPB), Biro Pengembangan Ibadah dan Musik Gereja (BPIMG), Biro Oikumene, Komisi HIV-AIDS dan Napza, Pembinaan Warga Gereja (PWG), Penginjilan ke dalam (evangelisasi), Penginjilan Keluar, yang secara job description sudah cukup baik (walau perlu dipertajam agar lebih aplikatif), namun dalam pelaksanaannya masih sangat perlu ditingkatkan. Dengan mengingat “kasih mula-mula” itu, mari saat ini kita “membangunkan” badan-badan pelayanan GBKP yang saat ini (khususnya pada tingkat runggun) masih banyak yang “tertidur”. Dalam Kis 2:41-47, sungguh indah kehidupan jemaat (gereja) mula-mula yang saling peduli, mau tahu dan memberikan kontribusi nyata: “…Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan…mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa…tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama,…dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”
Bukankah kerinduan kita semua, GBKP memiliki persekutuan yang erat dan hangat (koinonia), persekutuan itu menjadi kesaksian hidup dalam penyebaran Injil, pemberitaan Firman Tuhan dan pelayanan mimbar yang kuat (marturia), dan pelayanan yang menghadirkan Kristus di tengah-tengah keberadaan kita (diakonia)?
3. Man oriented
Menurut data statistik 2006 , anggota GBKP sebanyak 72.696 kepala keluarga, dengan jumlah jiwa 277.693 orang. Pertambahan anggota rata-rata setahun sebanyak 2.373 orang/tahun, dan faktor yang utama dalam penambahan jemaat GBKP adalah kelahiran anak di tengah keluarga jemaat yang otomatis menjadi anggota GBKP. Hanya itulah yang memberikan kontribusi dalam pertambahan jemaat ini. Kalau demikian, bagaimana program pembinaan jemaat dan penginjilan selama ini untuk “menjala manusia” menjadi murid Kristus? Sepertinya kita harus jujur, bahwa hal itu masih “berjalan di tempat”. Angka-angka di atas itu bukan hanya sekedar data statistik! Itu orang, itu jiwa yang harus “digembalakan”. Sudahkah kita merenungkan hal itu? Dalam Mat 9:35-38 “…melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus dengan belas kasihan”. Apakah murid-murid Yesus tidak melihat “orang banyak itu” sehingga tidak berespon? Sepertinya tidak mungkin. Namun yang membedakannya adalah cara pandang (kedalaman visi). Ketika Yesus melihat, Ia “terbeban” bahwa orang banyak itu butuh digembalakan, sekalipun tuaian banyak, pekerja sedikit. Berdasarkan data 2008, jumlah daerah pelayanan GBKP adalah 434 runggun yang dilayani oleh 200 Pendeta; 42 Vikaris dan 10 calon Vikaris, jadi totalnya 252. Sebenarnya kalau diteliti lebih jauh berdasarkan bajem, jumlah jemaat tiap runggun yang tidak merata dan sebagian ada yang lebih dari 400 kepala keluarga, dan Pendeta yang tidak membawahi runggun, dibutuhkan sekitar 500 pendeta lagi agar pelayanan ini efektif. Namun dengan jumlah yang masih kurang ini (dan berdoa Tuhan akan terus tambahkan), kita yakin bahwa kuasa Tuhan tidak akan terkendala. Little is much when God is in it. Lebih dari itu, setiap orang percaya harusnya bertanggung jawab terhadap sesamanya yang belum mengenal Kristus. Jumlah orang Karo yang terus bertambah mau dibawa ke mana? Bukankah tanggung jawab kita-GBKP untuk membawanya dan terus mengenalkannya kepada Kristus? Apalagi “kita” yang sudah menikmati banyak pembinaan dan mengenal Kristus melalui GBKP, sebenarnya adalah orang-orang yang “berhutang” kepada orang-orang Karo yang belum menikmati hal yang sama. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam Roma 1:14-15, “kita” adalah orang-orang yang berhutang, “hutang Injil” kepada orang-orang yang belum menikmati Injil.
Terkhusus bagi para presbyter (Pendeta, Pertua, Diaken) sebagai gembala jemaat, yang diberikan mandat oleh Kristus untuk “menjaga kawanan domba-Nya”, dalam menetapkan berbagai kebijakan, sudahkah pertumbuhan jemaat menjadi prioritas utama? Pelayanan ini ada karena “orang”, bukan program. Seringkali orang bekerja karena program, sehingga kehilangan visinya. Ketika ditanya kenapa melakukan ini-itu? Jawabnya adalah karena sudah program. Tidak tahu lagi, apa dan kenapa program itu ada, dan diapun tidak mengerti untuk apa, sehingga hanya menjadi sekedar pelaksana program. Dan itu bukanlah pelayan! Seorang pelayan harusnya tahu what, why, who, where, when dan how, atas pelayanannya. Program itu ada karena visi, jangan dibalik! Visi-lah yang harusnya menggerakkan semua pelayanan. Dan fokus dari visi adalah “orang”-nya bukan programnya. Visi lahir dengan melihat kondisi jemaat dan melakukan apa yang Tuhan suruh. See to the world, and listen to His word, that’s vision! Jadi seharusnya semua program pelayanan, berangkat dari dan menuju ke visi, yang fokusnya adalah pertumbuhan jemaat. Makanya, seharusnya pelayanan yang dilakukan adalah pelayanan yang “man oriented” dan bukan “program oriented”. Berfokus pada orang yang dilayani.
Visi GBKP dipertahankan moderamen selama 2 periode (2000-2010): “Hidup Setia kepada Tuhan”. Visi yang tidak diperjuangkan hanyalah menjadi sebuah mimpi. Bagaimana visi ini bisa menjadi perjuangan bersama? Jadikan visi itu sebagai visi pribadi dulu, dan tularkan ke pribadi yang lain, kemudian menjadi visi sektor. Semua sektor memiliki visi yang sama, jadilah visi runggun, visi klasis, dan seluruh jemaat GBKP.
Saya tidak tahu seberapa jauh evaluasi pelayanan dan feedback yang dilakukan baik di tingkat runggun, klasis ataupun moderamen. Apakah hanya sekedar “program ini terlaksana atau tidak”, atau lebih dalam lagi: bagaimana kualitas manusia melalui program yang dilakukan? Kalau evaluasi selama ini masih sekedar “terlaksana atau tidak terlaksana”, saatnya untuk berubah, berpikir lebih keras lagi: melalui pelayanan ini, bagaimana perubahan nilai hidup jemaat kepada Kristus? Itulah tugas gembala.
Regenerasi (sebagian) Pertua/ Diaken dan kepengurusan yang terjadi, sebenarnya adalah sebuah harapan, dan sidang sinode 2010 adalah kesempatan (kairos) yang sangat strategis untuk menetapkan hal-hal yang fundamental, program dan kebijakan yang “man oriented”, berfokus kepada “orang”, bukan digerakkan program, serta pengawasan dan pendampingan yang tak henti-hentinya dari tingkat moderamen ke klasis dan ke runggun, hingga tiap jemaat merasakan buah pelayanan dan pembinaan yang berdampak pada kualitas, kuantitas dan kontinuitas pelayanan.
4. Penutup
Berefleksi dari Matius 25, bagi Pendeta, Pertua, Diaken, dan Pengurus Kategorial: pertanggungjawaban sesungguhnya pelayanan ini adalah kepada Allah, yang empunya pelayanan. Ketika Dia bertanya: Apa yang sudah kita lakukan atas kepercayaan yang diberikan-Nya, apa jawab kita? Dan kira-kira apa respon Tuhan: hamba-Ku yang baik dan setia (ay.21,23); atau hamba yang malas dan jahat (ay.26-30)?. Dan kepada anggota jemaat: sudahkah yang terbaik kita berikan kepada Tuhan? Seberapa besar kita mengambil bagian bagi pertumbuhan gereja-Nya? Sewaktu digembalakan, kita menjadi domba yang setia (ay.32-33)?
Biarlah kerinduan hati Tuhan menjadi kerinduan hati kita: jemaat GBKP yang melekat kepada Tuhan, mencintai Tuhan lebih dari apapun dan membenci dosa lebih dari apapun; jemaat GBKP yang berperan, mampu menunjukkan “garam”-nya dan “terang”-nya, bukan hanya di keluarga dan gereja, tapi menembus masyarakat dan bangsa ini. Banyak orang pesimis, sepertinya tidak mungkin? Bukankah bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin (Luk 1:37; 18:27)? Ternyata bagi orang percaya juga (Mrk 9:23). Maka itu percayalah, kepada Allah! Semua ambil bagian, lanjutkan perjuangan ini, melakukan yang (paling maksimal) bisa kita lakukan. Mungkin saja bukan bagian kita melihat hasilnya kelak, yang penting, kerjakanlah tanggung jawab kita sebagai pengikut Kristus sepenuhnya, dan Allah akan bekerja dengan cara dan waktu-Nya. Selamat berjuang. Berjuang untuk setia. Setia kepada Allah yang setia. Saat ini adalah saat yang baik untuk menoleh ke balakang, kasih setia Tuhan yang menyertai hingga saat ini, menatap ke depan, di sana pun kasih setia dari Allah yang sama tetap menanti, dan menengadah ke atas, berdoa mengucap syukur, dan berseru seperti ungkapan hati pemazmur di Mazmur 36:8-11, “Lanjutkanlah kasih setia-Mu (ya Allah) …”. Soli Deo gloria.
AKU PUNYA SEBUAH IMPIAN
Dr. Isabelo Magalit
(ringkasan artikel "I have a dream" dari buku Our Herritage)
Saya punya sebuah impian.... Saya memimpikan bahwa dari dunia mahasiswa bangsa ini akan muncul secara terus-menerus pria dan wanita yang mengasihi Tuhan Yesus lebih dari apapun dan membenci dosa lebih dari apapun.
Pria dan wanita yang mengenal Allah mereka dan menaruh perhatian pada zaman mereka sehingga dapat melayani Allah yang hidup dalam generasi mereka. Pertama-tama mereka harus mengenal Allah mereka. Mengenal-Nya bukan hanya dengan kepala mereka tetapi juga dalam pengalaman hidup sehari-hari. Tahu dengan yakin bahwa Allah itu hidup dan bahwa Dia adalah Allah yang bertindak. Ia bukanlah berhala yang bisu atau produk sia-sia dari khayalan manusia. Ia adalah satu pribadi yang begitu jelas bekerja dalam hidup mereka sehingga menjadi satu-satunya alasan yang cukup dapat menjelaskan mengapa mereka begitu berbeda dengan semua orang lain di dunia. Mereka berbeda sebab mereka mengenal Allah secara pribadi.
Orang-orang ini bukanlah petapa-petapa yang hidup selamanya di biara untuk merenungkan misteri-misteri Ilahi. Mereka adalah pria dan wanita sejati yang hidup di tengah kenyataan masa kini yang sulit dihadapi: kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan. Dalam situasi hidup sehari-hari itulah, bukan dalam atmosfir religius, mereka mengalami realitas kehadiran Kristus dan dapat membagikannya kepada orang lain. Mereka dapat membagikan kabar baik tentang Kristus dalam bentuk yang bermakna bagi orang-orang sezamannya dalam bentuk yang mudah dimengerti.
Mereka mengenal Allah dan menaruh perhatian kepada zamannya, sehingga mereka terus terkait dengan pelayanan pendamaian dua pihak yang bermusuhan: makhluk yang berdosa dan mementingkan diri sendiri di satu pihak dan Allah yang kudus yang mengasihi mereka di pihak yang lain.
Sebagian mereka dalam impian saya akan menjadi pendeta, mengisi mimbar-mimbar Injili terkenal di kota-kota besar. Mereka juga akan ada di tempat-tempat terpencil. Oleh karena itu, dibutuhkan sekolah teologi terbaik dengan pengajar-pengajar terbaik yang setia pada jiwa Injili.
Dari dunia mahasiswa juga akan muncul orang-orang profesional- dokter, insinyur, ahli hukum, pelaku bisnis. Dokter yang mau pergi secara pribadi ke daerah-daerah terpencil, di klinik-klinik misi, dimana tidak ada orang lain yang dipersiapkan untuk pergi. Betapa kita membutuhkan pelaku bisnis Kristen yang menghasilkan banyak uang, namun tidak menghabiskan untuk dirinya sendiri. Saya memimpikan juga bahwa ada orang-orang Krsiten yang akan terjun di dunia perfilman. Pertama-tama mereka harus menghasilkan film-film penginjilan yang berkualitas sehingga dapat diputar di bioskop kelasa atas. Tapi bukan hanya film penginjilan, juga film-film yang akan dapat meningkatkan nilai-nilai kehidupan masyarakat dan bangsa. Kita tidak hanya butuh pembuat film tapi juga jurnalis. Kita memiliki sangat sedikit penulis yang dapat menghasilkan literatur yang dapat membangun kehidupan orang percaya. Mimpi saya mencakup juga lahirnya politisi dan pembaharu sosial yang bertemu membahas Firman Allah, mendiskusikan kebutuhan bangsa dan menyusun rencana untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui aksi sosial dan politik. Orang-orang ini meliputi hakim, gubernur, anggota kongres, industrialis, kepala daerah, dan pekerja sosial. Akhirnya impian saya adalah melihat rumah tangga Kristen yang tidak terhitung banyaknya – sebagai tempat di mana kasih dan keadilan dibungkus dalam darah dan daging dalam kehidupan sehari-hari. Tempat dimana calon-calon warganegara di masa datang dididik, dimana orang-orang Kristen muda dibesarkan dalam iman, sementara tetangga menerima pemberitaan Injil dari orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh memperhatikan mereka.
Pendeta, teolog, profesor, profesional, penulis, politikus, keluarga Kristen – yang kesetiaan tertingginya adalah kepada Kristus dan Injilnya. Dengan orang-orang seperti ini dalam Gereja Tuhan, kita akan mendukung dan mengirim misionaris ke Asia, m2m, ke Afrika, ke Amerika Latin dan bahkan ke dunia barat yang mengalami era pasca kekristenan. Ini adalah suatu visi yang besar.
Milikilah juga impian ini. Ambillah tempat Anda di dalamnya. Berdirilah dan masuk ke dalam barisan, untuk Kristus. Berikan padaNya segala sesuatu yang sudah Anda dapat. Dia layak menerimanya. Biarlah Ia ditinggikan di atas segala sesuatu. Filipi 2:6-11. Amin.
Setelah berapa lama “hibernasi”, akhirnya muncul juga ke permukaan. Huaah,,, puas sekali rasanya. Sebenarnya bukan vakum juga sih, cuma berada “di belakang layar”, menyelesaikan beberapa artikel untuk gerejaku GBKP (Gereja Batak Karo Protestan), dan beberapa momen yang terjadi beberapa waktu ini, yang menyita waktu dan pikiran… Itulah yang mau aku sharingkan:
1. Di tengah kejenuhan rutinitas dan penantian, akhirnya aku mendapat kesempatan mengikuti Diklat Prajabatan Golongan II periode I dari 9-18 Juli 2009 di Hotel Griya Medan. Sebagai gerbang awal bagi PNS Depkeu untuk berkarya bagi bangsa ini :), itulah tujuannya dan harapanku juga. Kurang lebih 10 hari yang melelahkan, secara fisik dan mental. Targetnya bukan hanya pengetahuan, tapi justru ditekankan pada pendisiplinan. Diawasi oleh 2 instruktur dari TNI. Tiap subuh bangun, senam pagi, sarapan, apel/ baris berbaris, belajar di kelas, coffee break, ke kelas lagi, makan siang, istirahat, ke kelas lagi, makan malam, belajar, apel malam, istirahat. Kira-kira begitulah, ditutup dengan 2 hari ujian. Semua pria harus botak. Aku teringat kehiduan asrama sewaktu SMA.Tahun ini sebenarnya sudah jauh lebih baik. Tahun-tahun sebelumnya bukan di hotel, tapi barak TNI. Sekali lagi, tujuannya pasti baik, menghasilkan PNS yang teruji secara ilmu dan moral. Tapi jujur saja, ada rasa sedih di hati ini. Masih saja aku melihat ada orang yang “curi-curi pelanggaran”, entah itu merokok, atau tindakan pelanggaran yang lain. Menurutku, biro SDM sudah waktunya memikirkan cara yang lebih efektif untuk pembentukan moral dan mental. Aku pikir gimana cara ya, biar orang-orang yang “berjiwa pemberontak” gitu dikasi pelajaran/ sanksi aja, supaya mereka benar-benar tahu apa arti sebuah konsekuensi dari sebuah pelanggaran. Aku pikir, kalaupun selama diklat ini banyak orang bersandiwara, masakan itupun tidak mau mereka lakukan? Seringkali orang begitu. Dulu ingin sekali masuk STAN, kerja di Depkeu. Setelah dikabulkan Tuhan, malah seperti orang yang tak tahu bersyukur. Aku tidak tahu apakah teman2 pernah berpikir seperti ini: tapi aku pernah berbicara sendiri dalam hati: “Apakah di setiap tempat harus ada ‘sampah’-nya? Mungkin gak sih tercipta suatu kondisi di mana dalam suatu instansi (apapun itu), semua orangnya berkualitas, gak ada sampahnya? [terkhusus para abdi negara: PNS, Polri, TNI]”. Hah… sepertinya semua orang akan berkata gak mungkin. Tapi marilah tunjukkan rasa dan cahaya kita sebagai garam dan terang yang mampu berbeda dan berpengaruh. Saat diklat itu juga sebenarnya pengen aku jadikan sebagai momen untuk melihat pertumbuhan teman2 alumni PMK yang sudah lama tidak ketemu. Apakah mereka masih setia pada persekutuan, khususnya HPDT di tengah banyak kesibukan (khususnya saat diklat ini)? Tapi niat itu aku urungkan dalam hati, entah kenapa, ada rasa tidak enak, ya sudah aku doakan saja, supaya alumni2 tidak larut dalam kehidupan yang tawar tanpa Tuhan…sambil aku pun mengevaluasi diri dan terus berjaga-jaga.
2. Habis diklat, bapak-mamak ku menjemput ke hotel untuk langsung berangkat ke kampung karena Kerja Tahun (kegiatan tahunan di setiap kampung di Tanah Karo untuk saling berkunjung; sejarahnya dulu sebagai pesta panen. Setiap kampung berbeda tanggalnya. Kampungku di sebuah desa kecil, Singgamanik). Wah, senang sekali rasanya, habis diklat langsung berlibur ke kampung. Sudah lama memang aku gak ke sana. Akhirnya rindu itu terobati. Lelahnya diklat pun terlupakan dengan pemandangan kampung yang sangat indah. Teduh sekali rasanya di suasana desa seperti itu, udaranya sejuk, kabutnya lembut, menatap Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung yang masih sangat indah… Wah, pokoknya indah sekali. Ditambah lagi beberapa makanan khas suku Karo yang merupakan ciri Kerja Tahun, yang dihidangkan untuk setiap tamu yang datang: cimpa = makanan yang terbuat dari tepung beras, diisi dengan gula tualah (gula merah dan kelapa), dibungkus dengan daun singkut (sejenis palem tapi rumput-rumputan), terus ada 1 menu makanan yang tak terlupakan, dan aku pun bergumul sangat untuk mengkonsumsinya: terites / pagit-pagit = makanan yang terdiri dari sayur, jeroan/ bagian dalam dan sedikit daging, dan digulai dengan kotoran lembu. Uuwwiihh,,, membayangkannya pasti sudah penasaran. Dan butuh waktu lama untuk beradaptasi. Tapi aku harus jujur mengakui, bahwa pada saat itu aku memang “terpaksa” memakannya juga. Huek, bagiku aromanya sangat menghilangkan selera makan, dan baunya baru hilang dari tangan atau mulut beberapa jam kemudian. Tapi anehnya, justru itu katanya yang membuat terites tetap menjadi menu nomor satu dalam menjamu tamu atau pesta-pesta Karo. Ya, itulah kekayaan budaya, walau secara ilmu kesehatan pun sepertinya enggan menjelaskan :)
Hari Minggunya, kami gereja di desa sebelah, GBKP Sari Nembah, tempat pemberkatan sewaktu bolang/opung ku meninggal tahun 2002. Kami sudah terlambat setengah jam, tapi gereja masih kosong. Ternyata hanya ada 5 orang di dalam, ditambah kami 3 orang. Karena masih sepi, jadinya ngobrol setengah jam lagi, tentang kerja tahun, kehidupan jemaat di situ, GBKP. Aku salut, tidak ada yang merokok, padahal ibadah belum mulai. Beda sekali kondisinya dengan gereja suku pada umumnya. Setelah itu akhirnya ibadah pun dimulai, hanya dengan 8 orang, yaitu 2 orang Pertua (1 yang khotbah, 1 lagi petugas umum), dan 6 jemaat (dan enam orang itu, kami semua adalah pendatang. Artinya, tidak ada penduduk situ yang bergereja hari itu). Tapi jujur, aku sungguh menikmati ibadah itu. Tenang, ruangan dan peralatannya semuanya sangat sederhana, tanpa mic. Seperti sedang merasa di daerah pedalaman yang baru didatangi tenaga misi penginjilan. Senang menikmati momen itu, sekaligus sedih dengan kesadaran beribadah di desa-desa (padahal sabtu sorenya dibunyikan lonceng gereja pertanda besok hari Minggu dan undangan ke gereja. Ini sudah tidak ada lagi di perkotaan).
3. Pulang dari kampung, masuk kantor lagi seperti biasa, ditambah latihan buat kebaktian gathering alumni (aku harusnya MC acara keakraban dan pemain roleplay) sampai malam. Semuanya kegiatan di Medan, jadi aku harus pulang-pergi Binjai-Medan. Akhirnya setelah beberapa kali, aku jatuh sakit. Aku semakin sadar, bahwa aku bukan superman, dan klimaksnya malah sehari sebelum acara. Aku bingung, gimana bilangnya ke pengurus, apakah harus diganti atau plan B yang lain. Saat itu juga aku komplain kecil-kecilan ama Tuhan: ”Tuhan, ini kan pelayanan-Mu, kenapa justru Kau buat aku sakit sekarang?”. Padahal aku sadar, aku yang salah, gak tau jaga kondisi (atau mungkin juga tertular dari teman seruanganku yang memang udah sakit duluan). (Maafkan aku, Tuhan). Kemudian aku mohon: ”Tuhan, sehari aja Kau buat aku kuat, demi pelayanan ini…” (kayak Simson aja). Ternyata Tuhan kabulkan.
4. Walaupun masih agak lemas dan dilarang naik sepeda motor, akhirnya aku diantar ke restoran Koki Sunda tempat acara Gathering Alumni-Perkantas Medan. Temanya itu loh… “Menjemput Impian”, membahas apa kata Firman tentang pasangan hidup dan apa yang seharusnya kita lakukan. Bang Denny Boy Saragih mengekspos Kitab Kidung Agung. Banyak juga yang aku semakin dibukakan, misalnya tentang inner beauty but outer expression, kedewasaan, tanggung jawab, hubungan yang sehat. Perasaanku antara mengerti, malu, senang, bangga, mengevaluasi, bercampurlah, dan juga ingin melanjutkan ke arah yang lebih serius bersama kekasihku Miss, yang sudah mendampingiku 5 tahun ini dalam jatuh bangun…Hehehe. Aku ingin selalu jatuh cinta lagi padanya berkali-kali, dan bertambah dalam lagi. Hihihi… Bersyukurlah karena Tuhan berikan kekuatan akhirnya aku bisa melayani hari itu, walaupun hanya sebagai roleplayer :) Beraksi sebagai seorang cowok yang menyatakan cintanya kepada wanita yang selama ini sudah didoakannya dan sudah disharingkan dengan 4 orang staf Perkantas. Huahauaaha… Pertama ditolak, tapi akhirnya dikasi kesempatan mencintai juga… Hah,,, paling tidak, malam itu aku sudah menghadirkan gelak tawa keceriaan di wajah-wajah alumni.
Sebenarnya sebelum mulai acara, ada satu hal yang sangat menarik perhatianku; Bang Jefri, BPC Perkantas Medan mengatakan bahwa hari itu harusnya jadwal KTB mereka, tapi karena ada acara itu, jadinya mereka datang lebih awal, supaya bisa KTB dulu. Dan aku sangat kaget sekaligus kagum, ketika melihat anggota KTB-nya datang; alumni yang sudah senior bersama dengan istri mereka. Mulailah mereka KTB sambil menyantap hidangan di meja masing-masing. Yang suami dipimpin Bang Jefri, yang istri dipimpin Istri Bang Tiopan (staf senior). Tanpa sadar ternyata aku sudah tersenyum dan melamun. Membayangkan apakah aku juga akan sanggup setia terbina atau membina, bahkan dalam KTB seperti itu, sampai di usia mereka? Bahkan dengan pendamping hidupku? Atau bahkan akankah Kelompok Kecilku akan tetap terjalin sampai selama itu? Aku berharap Ya! Dan aku juga ingin teman2 berpengharapan melalui teladan itu.
5. Ternyata Tuhan mengabulkan tepat seperti doaku waktu sakit. Setelah sehari diberikan kekuatan untuk melayani, besoknya aku sakit lagi!!! Malah tambah parah. Mungkin karena kondisi malam itu hujan dan dalam ruangan ber-AC, padahal kondisiku belum fit. Demam, flu, karena pilek, panasnya gak turun dan pusing, hidung mampet, susah bernapas. Batuk parah, antara kering dan berdahak, sangat menekan, buat tambah pusing dan sakit perut, jadilah lagi diare. Kurang selera makan, padahal lapar, ada asam lambung pula, jadi susahlah minum obat. Waduh menderitanya. Akhirnya karena semakin parah dan sampai gak masuk kantor, disuntiklah… dan alamaaaaakk sakitnya bukan main. Kayaknya belum pernah aku disuntik sesakit itu, dan itupun seminggu baru hilang rasa sakit dan pegalnya. Antara yakin dan tidak, apakah memang perawatnya terpercaya untuk mengobati. Tapi sudahlah, sekarang sudah sembuh, dan mampu tersenyum kembali. Hehehe…
6. Dalam masa akhir penyembuhan, eh diajak jalan-jalan ama teman2: Hendrawan, Nopa, Lia, B’Nanda dan satu teman baru: B’Frengki. Kami jalan2 ke Taman Simalem (antara Kab. Karo dan Dairi). Puji Tuhan, pemandangan alam terbagus yang pernah ku lihat. Belum pernah kulihat indahnya Danau Toba dan sekitarnya seperti saat itu. Begitu teduh. Seperti bukan Indonesia. Wah, bangga rasanya menjadi warga Sumatera Utara, tak kalah dari pemandangan lain di negara orang… Pulang dari situ kami menyegarkan badan, mandi di pemandian air panas Lau Debuk-Debuk di kaki gunung Sibayak, dan ditutup dengan makan BPK Ola Kisat Padang Bulan. Satu hari yang melelahkan namun menceriakan. Terima kasih teman-teman…
7. Isunya tanggal 18 Agustus, SK Penempatan definitif keluar. Aku akan ditempatkan Tuhan dimana di belahan Indonesia ini? Akankah tetap di Medan, atau menjemput impian ke Jakarta (lagi)? Atau tak keduanya? Entahlah. Sekalipun selama ini rasanya ragu mengambil pelayanan jangka pendek/ menengah karena waktu yang tak jelas, tapi aku ingin sekali berbuat sesuatu. Ingin ikut dalam perintisan PAB (Persekutuan Abdi Bangsa) kota Medan. Sebenarnya Indonesia punya harapan besar untuk lebih baik, melalui orang-orang yang takut akan Tuhan dan mau berkarya bagi bangsanya. Untuk itulah PAB ada, mengingatkan kepada Pegawai Negeri untuk punya passion yang menghasilkan action bagi nation. Aku sangat menikmati PAB Jakarta, dan akupun ingin kota besar Medan juga memilikinya. Tolong bantu doa dan dukungannya teman-teman…
Thank You my Lord for a beautiful day
Thank You my Lord I’m so happy to say
Thank You my Lord for the flowers that grow
There would be nothing i know without You
Foa all the music and the songs that we sing
For all the laughter and the joy that You bring
Thank You my Lord, I have nothing to fear
As long as i have You here beside me…
(Thank You my Lord for the sun in the sky, the rivers that flow, the birds in the tree, the rain and the snow, for all the mountain, for all the valleys… Thank You my Lord…)
-Kawas-.
Sharing ini diterbitkan di Buletin PMK Universitas Budi Luhur Jakarta.
Shalom teman-teman PMK Budi Luhur (BL). Terima kasih untuk kesempatan sharing tentang kelompok kecil di Kampus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Sebagai kampus yang berada di wilayah pelayanan yang berdekatan (Jakarta Selatan 2), semoga STAN dan BL bisa terus saling membangun dan mendukung, baik dalam doa dan sumber daya.
What?
Kelompok kecil (KK) merupakan wadah pembinaan yang Allah gunakan di dalam sejarah. KK bukanlah produk suatu gereja atau persekutuan/organisasi tertentu. KK juga bukanlah suatu kelompok yang eksklusif, yang hanya dikhususkan untuk orang tertentu. KK adalah suatu kelompok yang terdiri dari 3-6 orang, yang sepakat untuk berkumpul secara kontinu dalam satu tempat dan melakukan berbagai hal yang menunjang pertumbuhan mereka dalam Kristus (mempelajari dan menerapkan Firman Tuhan). Tiap KK terdiri dari anggota dan satu pemimpin. Visi KK jelas: menghasilkan murid yang memiliki karakter Kristus (Yoh8:31-32, 13:34-35, 15:8, dll), dan bukan hanya itu saja, tetapi murid yang memuridkan kembali.
Karena itu di KK di STAN dinamai dengan KKP (Kelompok Kecil Pemuridan). KKP ini terdiri dari 3-5 orang Anggota KKP (AKK) dan 1 Pemimpin KKP (PKK). AKK tingkat 1 dipimpin PKK tingkat 2 dan AKK tingkat 2 dipimpin PKK tingkat 3, karena kami hanya punya waktu studi 3 tahun. Saat ini STAN memiliki total KKP seluruhnya lebih dari 60 KKP (seluruh tingkat, cowok dan cewek).
Who?
Semua orang harusnya menikmati dan terjangkau dalam KK. Dalam konteks PMK, semua jemaat seharusnya diperjuangkan untuk menikmati Injil dan terjangkau dalam KK. Walaupun memang sebuah perjuangan berat. Di PMK STAN, hanya sekitar 50% yang dibina dalam KKP. Doa kita, semoga terus Tuhan tambahkan.
Why?
• Perjanjian Lama: Allah sering memakai “kelompok kecil” untuk menggenapkan rencana-Nya. Contoh: keluarga Nuh, Daniel dkk, dll
• Perjanjian Baru: Teladan Yesus sendiri yang mem-fokus-kan pengajaran-Nya pada 12 murid, yang diharapkan melanjutkan misi-Nya memberitakan Injil ke seluruh dunia (Mat28:19-20). Teladan para rasul yang juga memuridkan, misalnya Rasul Paulus.
• Efektif dan efisien dalam segi interaksi, tempat, biaya, suasana, mendorong pertumbuhan, keterbukaan, fleksibel,dll.
Memang di kampus-kampus, KK-lah sarana pembinaan yang paling efektif, termasuk di STAN. Persekutuan besar setiap Jumat tidak akan cukup utnuk terus memperhatikan pertumbuhan jemaat, karena itu diperlukan KKP untuk memperhatikan pertumbuhan AKK demi AKK yang terus dipantau. Pertumbuhan dan ketaatan akan semakin terbina di KKP. AKK yang pertumbuhannya baik dan terpanggil untuk melayani kemudian dijadikan pelayan, pengurus, sehingga orang-orang yang terlibat dalam pelayanan bisa terbina dengan baik. Itulah sebabnya KK sering disebut “tulang punggung” PMK. PMK yang memiliki KK yang kropos, lama kelamaan akan semakin rawan karena pertumbuhan jemaat (apalagi pelayan dan pengurus) tidak terpantau dengan baik. Itupun pernah dialami PMK STAN.
Where n When?
KK bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, tergantung kesepakatan semua anggota. Di STAN sendiri, waktunya bisa bermacam-macam, tapi biasanya sore atau malam karena dari pagi sampai siang banyak kegiatan studi dan pelayanan lain. Atau pagi hari kalau libur atau sedang tidak ada kuliah. Untungnya memang sebagian besar anak PMK STAN ngekos di sekitar kampus, jadi waktu dan tempat bertemunya lebih bisa diatur.
Melihat pertumbuhan KKP PMK STAN yang cukup luar biasa, memang suatu anugrah. PMK STAN sebenarnya baru saja menikmati masa-masa Allah menggerakkan pertumbuhan KKP. Itu juga hasil dari dukungan banyak pihak dan kampus lain, dalam doa dan daya. Pergerakan ini diawali tahun 2005. Anak tingkat 1 yang baru masuk, “ditantang” apakah mau ikut KKP atau tidak. Bagi yang bersedia, diikutkan KKP. Karena saat itu PKK belum ada, maka untuk pembinaan PKK diadakanlah KKP Sedang setiap hari Sabtu pagi, yang dipimpin staf Perkantas, yang memperlengkapi PKK dalam mempersiapkan bahan KKP, serta mengajari dan melatih skill menggali Alkitab (PA induktif). KKP Sedang ini masih berlangsung sampai sekarang, dengan bahan KKP: MHB (Memulai Hidup Baru) untuk tingkat 1 dan Ketuhanan Kristus untuk tingkat 2. Tahun 2006, sedikit berbeda. Semua anak tingkat 1 (baru) langsung dibagi dalam KKP, dan untuk penjangkauannya diserahkan kepada PKK yang telah disusun. Dari hasil evaluasi yang ada, di tahun 2007 mengalami perbaikan. Anak baru di-Injil-i dulu melalui PIPA (Pengabaran Injil melalui PA), yang dibagi dalam KK-KK. Kemudian baru ditanyakan kesediaan mereka ikut KKP, kemudian disusun per PKK. Bagi yang menyatakan tidak bersedia pun sebenarnya terus didoakan dan di follow up melalui kunjungan,dll. Dan betapa pujian syukur hanya kepada Tuhan ketika di tahun 2008 ini, PMK STAN boleh mulai mencicipi buah yang dianugrahkan Tuhan. Bisa melihat KKP-KKP di sekitar kampus STAN yang bisa mempelajari Alkitab bersama, pembinaan bagi pengurus dan jemaat yang semakin baik, bahkan puji Tuhan, PMK STAN akhirnya bisa menjadi berkat melalui PKK Misi yang bermisi menjadi PKK di kampus lain (termasuk BL ). It’s only by His grace...
How?
Ada pengajaran (pembahasan Firman, bahan/ kurikulum KKP), penyembahan (pujian dan doa), persekutuan (sharing kondisi), pengutusan (proyek ketaatan, akhirnya kembali memuridakan dan memberitakan Injil kepada orang lain). Dalam KKP, harus ada murid yang dihasilkan; murid yang ber-karakter Kristus.
Ingat, waktu kita di kampus hanya sebentar. Terbatas. Jangan sia-siakan. Kenallah Tuhan, sekarang!
Buat teman-teman di BL, tetap semangat mengikut Tuhan. DIA rindu, kamu juga menjadi murid-Nya. Kamu mau?
Tuhan memberkati.
Kawas Rolant Tarigan
Ketua Umum PMK STAN 2007/2008
Lukas 14:33 “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.”
Mengikut Yesus pasti butuh “pengorbanan”. Tapi tunggu dulu, pernyataan ini tidak sesempit itu juga. Kenapa? Nanti jawabannya ada di bagian berikut.
Sungguh ajaib, paradoks dalam Kekristenan: kita harus rela “melepaskan” sesuatu untuk “mendapatkannya”. Dalam pelayanan juga demikian, ada hal-hal yang harus kita lepaskan (baca: korbankan; ada “harga yang harus dibayar”) demi pelayanan yang terbaik kepada Allah.
Bersyukur PMK STAN kembali diberi kesempatan untuk sharing pelayanan, yang saat ini temanya “bayar harga”.
Karakteristik seorang pelayan adalah berkorban, seperti yang diteladankan Kristus (Filipi 2). Seorang pelayan harus bersedia membayar harga pelayanan. Mungkin yang kami hadapi juga tidak jauh berbeda dengan yang teman-teman hadapi di kampus atau tempat pelayanan kita masing-masing. Berikut beberapa hal yang sering “dianggap sebagai harga yang harus dibayar” dalam pelayanan (khususnya konteks PMK STAN):
• Pikiran. Sering ada saat-saat di mana pengurus harus mencurahkan segenap pikirannya demi memikirkan jemaat (dalam lingkup lebih kecil: pengurus, pelayan, PKK, AKK), dan program-program yang ada. Padahal mungkin saat itu juga pengurus sedang punya masalah lain/ pribadi yang harus dipikirkan. Belum lagi kalau dilihat pengurus dan jemaat PMK STAN yang berjumlah besar, lebih dari 500 orang, yang pasti dengan berbagai pemikiran. Tetapi saat-saat seperti itulah seringkali justru kita semakin menikmati Allah bekerja.
• Perasaan. Terkadang kurang dihargai, ada juga sakit hati, kurasan emosi, ya... tapi itulah warna dalam pelayanan yang akhirnya membuat kita kembali memandang kepada Kristus untuk mampu tersenyum dan berkata “Aku ingin tetap melayani-Mu, Tuhan”...
• Uang. Pengeluaran-pengeluaran seperti: ongkos, pulsa, terkadang makan di luar, dan biaya-biaya lain yang terkadang tidak terasa jumlahnya namun kalau diakumulasi sudah menguras kantong seorang mahasiswa yang uang kirimannya bulanannya pun terbatas :). Tetapi hal ini akhirnya lebih mengajarkan arti memberi, berhemat, prioritas dan aplikasi ilmu ekonomi :)...
• Waktu. Terkadang lebih banyak keluar daripada di kos; lebih banyak rapat; lebih sering nyiapin pelayanan; sering pulang malam; berjam-jam di jalan, dll. Memang terkadang salah sendiri sih kalau gak bisa mengatur waktu, sering keteteran jadinya. Tapi semakin belajar berhikmat untuk tetap menyisihkan waktu terhadap studi. Apalagi waktu kuliah di STAN sering tidak pasti; terkadang sangat kosong, tiba-tiba sangat padat :) dan ancaman DO tiap semester yang sering membayangi :)
• Tenaga. Pastilah dalam pelayanan ada waktu di mana kita lelah dan butuh istirahat. Terkadang kalau lagi banyak yang sedang dikerjakan jadi sering telat makan, telat tidur... dan...saat-saat yang menggembirakan, di saat-saat itu, berdatanganlah sms dari beberapa pengurus/PKK: [“Tetep smangaad!! \^-^/ Ada yg mw ddoain? :) Ingat, Allah sumber kuatku...Gbu”] :)
• Zona kenyamanan yang lain: hobi, kesenangan, ambisi-ambisi pribadi untuk lebih dikenal, dihargai, aktif dalam berbagai kegiatan, dll yang mungkin harus kita “nomor sekian-kan” demi pelayanan, demi kepentingan Allah dan jemaat-Nya.
Daftar tersebut bisa terus kita perpanjang bahkan kita tambah-tambahi dan akhirnya semakin bias dengan hitung-hitungan. TETAPI, kalau kita renungkan apa yang sudah Yesus berikan buat kita, bahkan nyawa-Nya... maka semua daftar di atas sangatlah tidak sebanding dengan betapa besar kasih-Nya, dan akhirnya kita pun tertunduk dan bersyukur...
Kembali ke pernyataan di awal sharing ini: Mengikut Yesus pasti butuh “pengorbanan”. Ya. Tapi tunggu dulu, bukankah sebagai suatu keuntungan, kita bisa berkorban, ambil bagian dalam pelayanan Allah? Saya ingin berbisik dan mengajak kita sadar: “Ternyata kita adalah orang yang beruntung, bisa berkorban...”
Tidak ada yang terlalu berharga demi jiwa-jiwa dibawa kepada Kristus. Pelayanan kepada orang lain bukan sebagai gangguan atau beban, tetapi sebagai kesempatan: “merupakan hak istimewa bisa melayanimu”.
Kalau Allah sudah memberikan segala-galanya buat kita, bukankah hal yang wajar, jika respon kita memberikan segala-galanya buat DIA? Lagipula, bukankah segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Roma 11:36).
Paling akhir di sharing ini, saya ingin menyajikan satu bait lagu yang sangat saya suka, kerinduan di dalam hati:
Terindah dalamku rela aku tinggalkan
Terkasih dalamku rela ku lepaskan
Asal hati Yesus merasa s’nang selamanya
Kar’na aku tahu apa arti hidupku...
Kawas Rolant Tarigan
Ketua Umum PMK STAN 2007/2008
Bila kam ada waktu…
(Anniversary, 23 Juni)
Aku sudah memutuskan untuk berhenti mencintainya, belajar melupakan. Dia mengatakan bahwa dia tidak mencintaiku. Rasanya aku tak percaya. Beberapa kali mengulang, mencoba memastikan, jawabannya tetap sama: dia tidak menyayangiku. Ya, aku harus menelan pil pahit di masa-masa akhir studi. Tak kusangka, rasa sayangku harus ku kubur jauh di palung hati. Justru di saat hati ini ingin berteguh memulai sehelai lembaran baru untuk dijalani sepenuh hati setelah banyak belajar dari kegagalan dan kejatuhan masa silam. Justru di saat itu pula hatiku langsung diuji dan tersadar bahwa memang tak mudah. Namun aku tahu, aku harus pergi. Berangkat dengan berbagai angan dan beranjak meninggalkan sejuta kenangan. Aku harus pergi melanjutkan kehidupanku. “Tapi aku bersyukur, aku pernah menyayangimu, sudah kuungkapkan, dan kam tahu itu. Entah sampai kapan. Terima kasih untuk semua ini.” Begitu kata terakhirku mengiringi perpisahan kami.
Tapi tidak tahu, saat membalikkan badan dan kaki ini menginjakkan langkah demi langkah, dia masih saja setia menunggu, berdiri terus di atas balkonnya memperhatikan kepergianku sampai tak dilihatnya lagi. Makin gundahlah hati ini. Hati kecilku yakin kalau dia menyayangiku. Tapi satu sisi lain, aku terus meyakinkan diriku untuk tidak usah berharap, karena dia sudah beberapa kali menyatakannya dengan jelas.
Tapi masih saja gelisah, karena suara hati yang menang: kenapa dia rela berbohong (tidak jujur saja mengatakan “Ya, aku juga sayang”)? Apa karena teman-temannya (yang memang tidak menyetujui)? Aku cuma bisa menghela napas, kalaupun benar begitu, memang aku yang salah, terima sajalah…
Tapi... masih saja, cinta mengalahkan segalanya. Seakan tak pernah terjadi sesuatu apapun, sebelum berangkat ke pulau yang jauh, aku memastikan (lagi) perasaannya padaku. Oh Tuhan… seakan tak percaya (bahkan untuk hal yang selama ini justru ku percayai dengan sungguh-sungguh, meskipun di muka bumi ini cuma aku yang percaya). Dia mengatakan kalau dia menyayangiku. Ku tanya sejak kapan? Dia jawab tidak tahu; tidak usah ditanya kapan dan kenapa. Yang jelas dia mengakui tidak ingin menyesal dan terlambat lagi, untuk mengatakan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Aku memastikannya sekali lagi, dan ia menjawab dengan lebih mantap lagi. Dia mengatakan tidak tahu apakah waktu seindah ini akan datang lagi, karena itu tidak akan disia-siakannya. Dia memastikan, dia menyayangiku dan ingin menjalani cinta ini bersamaku.
***
Hahahaha… Memori itu masih terlintas jelas di ingatanku. Itu 5 (lima) tahun yang lalu. Dan sampai detik ini, dia masih setia mengisi hati dan hariku. Ternyata sudah 5 tahun. Mungkin angka yang besar, bagi pasangan yang masih dalam hitungan minggu, bulan [atau belum sama sekali :)], tapi adalah angka yang sangat kecil bagi mereka yang telah menjalaninya selama puluhan tahun. Ya, perjalanan masih sangat panjang dan penuh kejutan. Kami memulai hubungan ini dengan jarak jauh, penuh keraguan akankah bertahan, ternyata bisa. Tuhan menganugerahkan kebersamaan selama tiga tahun. Dan kini kembali lagi terpisahkan oleh jarak. Bahkan melihat kondisi pekerjaan, kelihatannya akan sangat mungkin untuk terpisah lagi oleh jarak, entah berapa kali lagi, entah berapa lama lagi. Tinggal menunggu…
Akhirnya belajar sendiri bagaimana menjalin komunikasi dan mengelola rindu di saat rasa itu melanda. Seringkali bulan menjadi sasarannya. Ketika muncul di malam hari, aku mengajaknya untuk menyempatkan diri memandang bulan pada saat yang bersamaan, dan berbisik via telepon: “Bulan yang kita lihat sama kan? Semoga pandangan kita bertemu di bulan itu”. Hahahaha. Pernah aku merayunya dari kalimat yang ku dapat dari film: “Kam tau berapa jarak yang ditempuh bulan untuk menyinari kam?”. “Gak tau”, jawabnya. “Sekitar 962 mil”, sahutku. “Wow, jauh banget”, balasnya. “Tapi kam memang pantas mendapatkannya, karena kam sangat berharga”. Hahahaha. Momen-momen itu, memanjakan jiwa melankolis ini…
23 Juni 2004-23 Juni 2009, banyak hal yang telah terjadi. Suka-duka, tawa-air mata, mengisi perjalanan penuh liku ini. Tapi satu hal, Tuhan tidak pernah meninggalkan. Beberapa kali terjatuh, tapi Tuhan tetap menopang. Benarlah kata pemazmur: TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya. (Mzm37:23-24). Doa kami, biarlah kami boleh terus setia kepada Tuhan yang senantiasa setia menyertai langkah-langkah kami. Kiranya Allah terus mengaruniakan hati yang setia. Kami tahu perjalanan ini tidak selalu mulus, karena itu yang paling diperlukan adalah kasih setia, apalagi di saat keraguan menguji hati ini. Biarlah doa kami seperti doa Pemazmur: “Kasih setia-Mu, ya TUHAN, kiranya menyertai kami, seperti kami berharap kepada-Mu.” (Mzm33:22), “Lanjutkanlah kasih setia-Mu (ya Allah)…” (Mzm36:11). Itulah kenapa kata “kasih” selalu diikuti kata “setia”, karena kasih haruslah setia/ terus menerus/ tak berkesudahan, seperti kasih Allah. Sungguh standar yang maha tinggi. Aku pribadi mengakui masih perlu belajar banyak untuk hal ini. Bukan berarti tidak mungkin dicapai, tetapi terus berjuang untuk hal itu. Bukan berapa kali kita jatuh, tetapi berapa kali kita bangkit. Itulah dinamika yang disediakan Tuhan untuk menikmati karya keindahanNya di dalam hidup ini. Untuk segala sesuatu ada masanya. Pengkhotbah 3:1-11 “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya…ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;… ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;…ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;…ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai…Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.”. Di gelombang kehidupan itu Allah terus bekerja. Sungguh indah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Tapi aku tahu, Allah ada di sana, dan itu sudah cukup! Semua ada waktunya. Cuma aku yang sering tak sabar. Tak sabar untuk bertemu dirinya, tak sabar untuk selalu dekat dengannya dan tak terpisah lagi. Hatiku, bersabarlah, hai sang waktu, berbaik hatilah… :) Aku ingin menutup tulisan rindu ini dengan sebuah puisi spontan yang sangat sederhana, buat pujaan hatiku:
Bila kam ada waktu…
Bila kam ada waktu,
Coba sempatkan pandangi rembulan tersenyum syahdu,
Sinarnya yang lembut dan sederhana menyatu,
Ditemani bintang, yang bermain mata, tersipu.
Bila kam ada waktu,
Coba sempatkan menyentuh embun pagi,
Sinar mentari yang setia menemani,
Sampai permisi di senja hari untuk berganti malam lagi.
Bila kam ada waktu,
Coba sempatkan mengingatku lagi,
Mengunjungiku kalaupun jauh dari sisi,
Menatapku dengan penuh arti,
Hingga kekosongan ini tak bermakna lagi, kala cinta ini bersemi…
---
Kam kan pernah bilang, kalau kita ini adalah malaikat bersayap satu, yang hanya dapat terbang jika saling berangkulan?
Aku ingin sekali terbang bersamamu…
Itupun kalau kam punya waktu.
Aku menunggu.
Kasihmu selalu, Kak Kawas- yang dengan segala keterbatasannya ingin mencintaimu dengan lebih baik…
P.S.: kalau nanti aku menggubah syair ini menjadi sebuah lagu, aku akan memulainya dengan chord minor, supaya orang bisa merasakan betapa senyapnya lagu ini. Itupun kalau ada waktu :)
Uh, aku merindukannya. SMS ini pernah ku kirim kepadanya:
Sender:
Name missing
Number missing
Sent: Date missing
Missing u a lot hat’s why
Everything is missing…
Luv u.
Apakah ku sungguh mengasihi-Mu Yesus
Kau yang Maha Tahu, dan menilai hidupku
Tak ada yang tersembunyi bagi-Mu
T’lah ku lihat kebaikan-Mu
Yang tak pernah habis di hidupku
Ku berjuang sampai akhirnya Kau dapati aku tetap setia
Meski lagu ini sering dinyanyikan, lebih sering lagi saya bertanya dalam hati: seberapa jujur hati kita (saya) menyanyikan lagu ini? Apakah kita memang berani mengucapkan bait ini, seperti pemazmur, di hadapan Allah yang memang Maha Tahu? Di tengah segala keberadaaan kita, pergumulan, keberdosaan, kelemahan, kita berani berkata jujur: Search me O God, and know my heart today (O Allahku, jenguklah diriku)...
Mungkin ini juga yang dialami pemazmur dalam pergumulannya. Dan puji Tuhan, ia melakukan hal yang tepat; ia datang kepada Allah. Mazmur 139 ini memang membukakan kita tentang hubungan yang personal antara pemazmur dan Allah. Sebuah doa agar Allah menguji hati dan melihat apakah itu penyerahan diri, kesetiaan, ketaatan (devotion) yang benar. Seperti kisah Ayub, pemazmur dengan kuat menyatakan kesetiaannya kepada Tuhan. Tidak ada lagi kita temukan sebuah pengakuan dengan kesadaran penuh (selain di kedua bagian ini), betapa luar biasanya meminta Allah untuk menguji, bukan hanya kehidupan (life) namun juga seluruh jiwa (soul) kita. Padahal kita tahu bahwa Tuhan mengetahui setiap pikiran, perkataan, sifat, karakter, perilaku, dan dari pada-Nya tidak ada yang mampu bersembunyi.
Hidup penuh pergumulan. Sayangnya, banyak orang yang tidak tahu ke mana ia harus mencari jawab. Bahkan untuk hal-hal dasar. Pertanyaan-pertanyaan setiap orang sepanjang masa: “Siapakah aku?”, “Sesungguhnya untuk apa aku hidup di dalam dunia?”, “Apa yang akan kuhadapi nanti?”, dan masih banyak lagi.
Seorang filsuf, Arthur Schopenhauer (1788-1860) suatu hari sedang berjalan mengelilingi Tiergarden, taman yang terkenal di Berlin. Pertanyaan yang sangat mengganggu pikirannya muncul: “Siapa sebenarnya aku? Aku akan ke mana?”. Seorang penjaga taman mengamati dekat-dekat filsuf yang berjubah ini, berjalan pelan dengan kepala tertunduk. Tahulah ia bahwa si filsuf sedang kebingungan. Lalu ia berjalan mendekati sang filsuf dan bertanya: “Siapa kamu? Kamu mau ke mana?”. Dengan wajah sedih, Schopenhauer menjawab: “Aku tidak tahu. Aku berharap seseorang memberi tahuku”.
Bukankah masih banyak orang yang bertanya hal yang sama? Tapi syukur kepada Allah! Alkitab cukup memberi jawaban bagi tiap manusia. Kita ada bukan kebetulan. Allah menciptakan kita untuk tujuan-Nya yang mulia. Semuanya telah direncanakan indah oleh-Nya. Ketika kita mempertanyakan siapa kita sesungguhnya, sebenarnya kita bukan sedang membicarakan diri kita, tetapi berbicara tentang Allah. Ini bukan mengenai kita, tetapi mengenai Allah. Kita harus mengenal Allah, lalu kita bisa mengenal diri sendiri. Kita harus memulainya dari Allah, karena kita diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Pencarian tujuan hidup telah membingungkan orang selama ribuan tahun, karena mereka memulai dengan titik awal yang keliru, diri mereka sendiri. Siapa aku, bagaimana aku, ke mana aku, dll... Bukan kita yang menciptakan diri kita, jadi kita sama sekali tidak mengetahui untuk apa kita diciptakan! Karena itu bertanyalah kepada Allah, Sang Pencipta, dan semua akan menjadi jelas....
Allah mengenal siapa milik kepunyaan-Nya. Mazmur ini diawali (juga diakhiri) dengan kesadaran akan ke-Maha-Tahu-an Allah. Karena itu pemazmur datang kepada Allah, yang mengenal dia sampai jauh ke dalam hati (through and through). Allah tahu segala sesuatu, semua yang kita lakukan, bahkan sebelum kita melakukannya (ay.1-6). Seperti pengakuan pemazmur, kita pun harusnya tertunduk dan berseru “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya”.
Allah bukan hanya Maha Tahu, tapi juga hadir di setiap tempat dan waktu (ay.7-12). Tidak ada yang tersembunyi di hadapan-Nya. Tangan Allah menjaga anak-anak-Nya di manapun mereka berada, bahkan di tempat “tergelap” sekalipun. Mari pikirkan kembali kalimat teologis ini “Lebih baik berjalan bersama Allah dalam kegelapan, dari pada berjalan dalam terang namun tidak bersama Allah”. Bagi Allah hanya ada terang (ay.12), dan terang-Nya akan menghalau kegelapan, karena Dia-lah Terang itu. Tidak ada yang luput dari mata Allah. Mari ingat firman-Nya di Yeremia 23:23-24 “Masakan Aku ini hanya Allah yang dari dekat, demikianlah firman TUHAN, dan bukan Allah yang dari jauh juga? Sekiranya ada seseorang menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian, masakan Aku tidak melihat dia? demikianlah firman TUHAN. Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? demikianlah firman TUHAN”.
Kepercayaan diri kita akan kebesaran Allah semakin diteguhkan dengan tujuan-Nya bagi hidup kita, secara individu, bahkan sebelum kita diciptakan (ay.13-18). Ia menjadikan kita begitu berharga, begitu unik. Sungguh dahsyat dan ajaib. Ilmu pengetahuan pun tak cukup untuk mengungkapkan kebesaran Allah. Allah bahkan sudah memikirkan kita, jauh sebelum kita pernah terpikir sedikitpun untuk memikirkan Dia. Kita ada hanya karena Allah menghendaki kita ada. Hanya di dalam Allah-lah kita menemukan asal-usul kita, identitas kita, makna hidup kita, tujuan kita, pentingnya kita dan masa depan kita. Tujuan Allah bagi kehidupan kita telah ada sebelum keberadaan kita. Dia merencanakannya sebelum kita ada, tanpa masukan dari kita.Karena segala sesuatu telah direncanakan Allah, maka tidak ada istilah kebetulan. Bukan suatu kebetulan kalau anda sekarang sedang berada atau mengerjakan atau diberikan tanggung jawab ini dan itu. Pasti Allah sudah tahu. Sebelum kita dilahirkan, Allah sudah merencanakan “saat ini” di dalam hidup kita, bahkan ketika anda sekarang sedang membaca artikel ini . Allah memikirkan kita terlebih dahulu. “Waktu tulang-tulangku dijadikan, dengan cermat dirangkaikan dalam rahim ibuku, sedang aku tumbuh di sana secara rahasia, aku tidak tersembunyi bagi-Mu. Engkau melihat aku waktu aku masih dalam kandungan; semuanya tercatat di dalam buku-Mu; hari-hariku sudah Kau tentukan sebelum satu pun mulai.”(ay.15-16 BIS). Ia merancang setiap bagian tubuh kita, setiap karakteristik, talenta, keunikan, seperti yang Dia inginkan. Satu hal yang kita yakini, Allah tidak pernah membuat kesalahan, ya kan? :) Kalau jawaban kita Ya, berarti harusnya hidup kita penuh dengan ucapan syukur. Allah memiliki alasan untuk segala sesuatu yang Dia ciptakan. Motivasi Allah menciptakan anda dan saya adalah kasih-Nya. Alkitab berkata “Allah adalah kasih” (1Yoh4:8). Ayat ini tidak berkata Allah memiliki kasih. Dia adalah kasih! Kasih adalah hakikat karakter Allah. Ada kasih yang sempurna dalam persekutuan Trinitas. Jadi Allah tidak perlu menciptakan kita, Dia tidak akan kesepian. Tetapi Dia menciptakan kita karena kasih-Nya. Yang paling mengagumkan, Allah menjadikan kita supaya Dia bisa mengasihi kita. Inilah sebuah kebenaran sebagai landasan kehidupan kita. Kita adalah pusat kasih-Nya. Lihat, betapa Allah begitu mengasihi dan menghargai kita! Yesaya 46:3-4 "Dengarkanlah Aku... hai orang-orang yang Kudukung sejak dari kandungan, hai orang-orang yang Kujunjung sejak dari rahim. Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu”. Maz139:17 Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!
Pujian, semangat, dan ungkapan terima kasih si pemazmur terhadap tujuan dan kasih Allah dalam hidupnya, “membuka matanya” akan kesia-siaan orang fasik; orang-orang yang menentang Allah (ay.19-22). Bahkan menganggap mereka sebagai musuh, karena mereka memusuhi Allah. Kalau kita pikir, bukankah kita juga harusnya demikian? Mengasihi yang Allah kasihi dan membenci hal yang Allah benci. Tapi kembali pemazmur menyerahkan semuanya kepada Allah, untuk menyelidiki hatinya dan melihat motivasinya (ay.23-24). Sekali lagi, (seperti awalnya) mazmur ini ditutup manis dengan kembali sadar akan ke-Maha-Tahu-an Allah. Ia membawa pergumulannya dalam doa ratapan kepada Allah, Satu-satunya yang paling mengenal “hati” dan “pikiran”-nya. Tidak ada yang diingininya selain menyesuaikan keinginan hatinya seturut dengan keinginan hati Allah. “The heart of the problem is the problem of the heart”. Pemazmur bukan hanya memohon “pengujian” dirinya, namun juga tuntunan dari Allah. Ia sadar bahwa hanya itu yang sanggup menjaganya tetap di jalan yang benar. Ia mengakhiri bagian ini dengan mengakui bahwa hanya ada dua jalan yang dapat dipilih seseorang: jalan menuju kebinasaan, atau jalan menuju hidup kekal bersama Allah?; dan ia memilih yang kedua...berjalan bersama Allah dalam kekekalan. Abraham Lincoln pernah berkata: “Tentu Allah tidak akan menciptakan makhluk seperti manusia hanya untuk hidup sehari! Tidak, tidak, manusia diciptakan untuk kekekalan”. Kalau rata-rata lama hidup manusia sekarang ini sekitar 25.550 hari, tentu waktu yang sangat singkat sekali dibandingkan masa kekekalan Allah. (cara gampang membayangkannya, buat saja angka itu dalam satuan Rupiah. Nilai Rp.25.550 tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai uang yang sangat-sangat besar, bukan?). Kalau demikian, pikirkanlah hal-hal apa yang akan kita lakukan di masa hidup kita yang se-begitu singkat ini namun akhirnya bernilai kekal?
Menulis bagian-bagian penutup ini, bibir saya tak henti-hentinya bersenandung lagu di awal artikel ini, dan ternyata mata saya sudah berkaca-kaca. Kalau saya mengingat kebaikan Tuhan, penyertaan-Nya yang sempurna, kasih-Nya yang begitu besar, dan betapa Ia mengenal sampai kedalaman hati saya, sungguh... saya menyadari bahwa setiap jengkal hidup ini sangat berarti karena Allah ada di dalamnya, dan tidak akan mungkin saya bisa luput dari pandangan-Nya. Betapa kudusnya kita harus hidup. Saya berdoa buat seluruh mahasiswa dan alumni PMK STAN agar mampu menyadari dan terus belajar mengenal siapa Allah sesungguhnya, sehingga juga mampu mengenal siapa diri kita sesungguhnya. Bukankah kerinduan kita, supaya kita mampu mencintai Allah lebih dari apapun dan membenci dosa lebih dari apapun? Akhirnya seperti pemazmur, kita berani jujur berucap: Selidiki aku, ya Allah, dan kenallah hatiku...tuntunlah aku di jalan yang kekal!
Selamat berjuang untuk setia. Setia sampai akhir. Setia pada Allah yang setia. Allah yang omniscience, omnipresence, omnipotent itu! Soli Deo gloria.
Ketua Umum PMK STAN 2007/2008.
Sumber: NIV Study Bible, The Purpose Driven Life, Our Daily Bread
Read More..