Bangkit sebelum Mati
Kawas Rolant Tarigan
Dulu, sewaktu
masih Sekolah Minggu, perayaan Paskah selalu menarik. Paling tidak, ada 3 hal
yang paling saya ingat setiap Minggu Paskah di jam 5 pagi itu:
1.
bakar
topi dosa. Setiap anak diminta membuat topi sederhana,
lalu di topi itu dituliskan dosa (baca: kenakalan/ pelanggaran) yang masih
sering dilakukan. Setelah khotbah, semua topi itu dicampakkan ke dalam api
unggun sambil berjanji tidak akan mengulangi dosa yang sudah dibakar itu. Kebangkitan
Kristus, menjadi kebangkitan anak-anak untuk hidup lebih taat. Mati bagi dosa,
hidup bagi Kristus
2.
cari
telur Paskah. Katanya,
telur itu lambang kehidupan yang baru. Sama dengan perasaan bahagia ketika
mendapatkan telur yang disembunyikan itu, demikian jugalah hidup barunya bersama
Kristus.
3.
pertandingan
tradisional: ada
tarik tambang, balap karung, dsb. Rasa berjuang bersama-sama untuk
menang, beratnya medan pertandingan harusnya terus membakar semangat setiap
anak untuk juga berjuang sampai akhir agar menang atas dosa, sekalipun terjatuh
berkali-kali karena beratnya pertandingan.
Jujur, saya
tidak terlalu yakin anak sekolah minggu bisa meresapi secara mendalam makna di
balik perayaan Paskah itu. Sepertinya baik juga kalau pertandingan (yang
katanya lebih cocok untuk anak-anak) itu ditujukan juga untuk orang dewasa,
agar mereka turut berefleksi dari setiap kegiatan perayaan yang dilakukan. Tapi
sayangnya, perayaan Paskah malah semakin ditinggalkan. Hampir setiap sekolah,
kampus, kantor, arisan, lingkungan, kaum bapak, kaum ibu, merayakan Natal, tapi
tidak semuanya merayakan Paskah. Padahal sebelum tahun 313 M, gereja hanya
mengenal satu perayaan Kristen, yaitu Paskah. Saya tidak bermaksud
mendiskreditkan/ melemahkan makna salah satu dari perayaan akbar itu. Tapi takutnya,
bila Paskah semakin dilupakan, jangan-jangan tanpa sadar orang Kristen pun tidak
lagi peduli “membakar topi dosanya”, “mencari telur Paskahnya”, dan
“memenangkan pertandingannya”. Mereka tidak lagi peduli dengan pertobatannya,
perubahan hidupnya, dan kemenangannya bersama Kristus. Semuanya terasa
baik-baik saja, padahal ada yang tidak beres. Mungkin Natal meriah karena
disusul tahun baru. Tapi, bukankah Paskah juga harusnya disusul hidup baru yang
penuh dengan semangat kebangkitan? Tanpa Paskah, iman Kristen hanya berakhir
dengan kematian yang tragis, seperti dikatakan Yohan Candawasa dalam bukunya: menangnya
ketidakadilan atas keadilan, kelicikan atas ketulusan, kejahatan atas kebaikan,
ketidaksetiaan atas kesetiaan, kebencian atas kasih, kematian atas kehidupan,
setan atas Allah.
Saat ini, mari
kita mengingat kembali 3 hal tentang kebangkitan Kristus:
1.
Kebangkitan
Kristus itu unik
Iman Kristen berbeda dari agama
lain. Pemimpin agama lain hanya mati, dan tidak ada yang bangkit. Tapi Kristus
bangkit! Itulah yang membuat kita berbeda, dan iman kita bukan iman gampangan.
Kita beriman kepada Allah yang hidup, yang berkuasa atas kematian, jika tidak
demikian, betapa malangnya kita. Seperti yang diserukan Paulus dalam 1 Kor
15:17-19 “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu
dan kamu masih hidup dalam dosamu.
Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. Jikalau
kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita
adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia”.
“Keberbedaan” iman Kristen ini
harusnya juga terus menjaga konsistensi umat Kristen untuk menjaga dirinya
berbeda dari dunia. Kita yang hidup, harus mempengaruhi dunia yang mati. Melihat realitas dunia (khususnya bangsa
Indonesia) yang rusak dan korup, tidak ada alasan lain yang tepat untuk
menggambarkan akar masalah semua ini selain kematian umat manusia dan berujung
pada kematian dunia. Matinya hati nurani, matinya moral dan etika serta matinya
perikemanusiaan dan bela rasa. Dengan demikian kebangkitan, tidak seperti
pandangan kebanyakan orang Kristen sekarang, bukanlah sekadar bicara soal
"kepastian" dan jaminan keselamatan setelah kematian (fisik) di surga
kelak, tapi juga bagaimana orang Kristen bangkit membalas kejahatan dengan
kebaikan, kecurangan dengan kebenaran, kebencian dengan kasih, kerakusan dengan
kesederhanaan, dan itu hanya bisa dilakukan selagi hidup, sebelum mati.
Itulah
maksud judul artikel ini, biar orang Kristen tidak hanya memikirkan kehidupan
yang “nanti” (kebangkitan setelah kematian), tapi hidup yang kini dan saat ini,
bagaimana bangkit menjadi saksi Kristus, dan juga mengabarkan iman kebangkitan
ini bagi-bagi orang-orang yang mati rohani. Di tengah suramnya dunia,
maraknya kemunafikan, meningkatnya angka kriminalitas, dunia punya harapan dan
optimisme baru. Itulah sebabnya mengapa gereja mula-mula di tengah berbagai
ancaman dan hambatan dari pemerintah politik kafir saat itu, tidak berdoa agar
mereka dilepaskan dari semua bahaya itu dan segera pergi ke surga. Sebaliknya
mereka berdoa agar mereka tetap di dalam dunia dan diberikan keberanian untuk
memberitakan tentang Yesus yang bangkit. Sepertinya itu juga yang membuat Yesus
berdoa agar murid-murid-Nya tidak diambil dari dalam dunia tetapi supaya mereka
tetap ada di dalam dunia (Yoh. 17:15), tentu agar mereka menjadi alat Allah di
tengah-tengah dunia yang tanpa harapan ini. Kalau bukan kita (orang yang
mengalami kebangkitan Kristus) siapa lagi? Masakan orang mati bisa
membangkitkan orang mati?
Orang
yang percaya dan dibangkitkan bersama Yesus adalah orang-orang yang dapat menjadi
agen pembaruan dunia ini[1].
Kristen
selayaknya hidup sebagai imitator-imitator Kristus. Mereka telah dijamah oleh
Kristus, diperbarui dan berkemenangan dari hidup yang lama menuju hidup yang
dimerdekakan serta hidup selaras dengan hidup yang Tuhan Yesus telah jalani.
Dengan kata lain, mereka telah dipersatukan di dalam jalan kemenangan Kristus
atas dosa dan maut serta mengalami dampak kuasa kebangkitan Kristus di dalam
kehidupannya. Karena status inilah maka orang Kristen harus hidup berbeda, di
mana kita mampu menantang dunia ini dengan nilai-nilai hidup kristiani[2].
Mari sekilas melihat kondisi 3
elemen pilar pelayanan kaum intelektual: siswa, mahasiswa, alumni. SISWA: Data
Pemantau Independen dan Pengawas Nasional tahun 2010 sangat mencengangkan.
Daerah yang masuk ”kelompok putih” (bersih dari kecurangan UN/ 0%) hanya
mencapai 17%. “Kelompok abu-abu” (dengan persentase kecurangan UN antara 21% -
90%) mencapai 42%, sementara ”kelompok hitam” (daerah yang paling tinggi
terjadi kecurangan UN/ 90%-100%) mencapai 39,99%[3].
MAHASISWA: Hasil penelitian yang dilakukan Tim Ditjen Dikti pada 12 PTN dan 5
PTS beberapa tahun lalu, menunjukkan 75%
mahasiswa cenderung tidak mampu belajar mandiri (sangat tergantung pada
dosennya)[4].
Tantangan ALUMNI: Berdasarkan data Transparency International Indonesia,
masalah korupsi tak teratasi dengan baik dan menempatkan Indonesia di peringkat
100 dari 183 negara pada 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi[5].
Bukankah kita terus memimpikan di
tengah lingkungan siswa yang penuh kemalasan dan kecurangan, ada siswa KRISTEN
yang tetap rajin dan jujur, dan mempengaruhi siswa yang lain. Di tengah semakin
sedikitnya mahasiswa yang sungguh-sungguh belajar dan memikirkan nasib bangsa
ini melalui bidang yang ditekuninya, ada mahasiswa KRISTEN yang tekun belajar,
berdoa, dan bertindak untuk bangsa ini. Di tengah lingkungan
yang korup, glamour, hedonis, egois, materialis, ada alumni-alumni KRISTEN, yang
tetap menjaga integritas dan disiplin rohaninya.. “Kebangkitan” orang Kristen
menjadi secercah harapan di tengah gelapnya kondisi bangsa ini.
Sewaktu menulis artikel ini di
tengah malam, berkali-kali mati lampu. Saya jadi diingatkan betapa gelapnya
dunia yang diisi orang-orang yang mati rohani sekalipun jasmaninya hidup,
betapa gelapnya kematian tanpa kebangkitan. Di tengah semarak dan goda dunia,
menawarkan jalan praktis dan kemuliaan semu, harusnya pelayanan kita
menghasilkan orang-orang Kristen yang rela menempuh jalan salib demi kemuliaan
sejati, dan berseru seperti Paulus, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan
kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku
menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya” (Flp 3:10). Kuasa kebangkitan
Kristuslah yang memampukan orang percaya untuk mati bagi dosa dan hidup bagi
Allah, karena mereka telah dibangkitkan bersama dengan Kristus.
Sepanjang abad, orang-orang keras
hati masih saja tidak percaya realita kebangkitan Kristus sekalipun banyak
bukti historis sebagai pendukungnya. Tapi mereka harusnya bisa terdiam dan
dipaksa percaya, melihat semangat kebangkitan itu hidup dalam diri kita. Saya
jadi teringat sebuah hymn yang
acapkali dinyanyikan tiap Paskah: “He
Lives (I Serve a Risen Savior)”. Yang menjadi latar belakang lagu tersebut
adalah keyakinan Alfred Henry Ackley (si Pencipta lagu): “He lives! I tell you, He is not dead, but lives here and now! Jesus
Christ is more alive today than ever before. I can prove it by my own
experience, as well as the testimony of countless thousands." (“Dia Hidup!
Sungguh ku katakan
padamu, Dia tidak mati, tetapi hidup disini, sekarang! Yesus Kristus sungguh
hidup hari ini dan selamanya. Saya dapat membuktikannya dengan
pengalaman hidup saya, sama seperti kesaksian beribu-ribu orang”)[6]. Bagi Alfred Henry Ackley, ucapan
malaikat di Matius 28:6 "He is not
here: for He is risen, as He said. Come, see the place where the Lord
lay." terus bergema. “Ia tidak
ada di sini, sebab Ia telah bangkit”. You
ask me how I know He lives? He lives within my heart. Mencari Kristus yang
bangkit, jangan cari di tempat orang mati, tapi dalam diri orang-orang yang
mengalami kebangkitan-Nya!
2.
Kebangkitan
Kristus itu mutlak
Kebangkitan Kristus menunjukkan
kemenangan yang dahsyat, tidak ada yang sanggup mengalahkan-Nya. Ini kabar baik
bagi kita para pendosa. Mungkin saat ini kita sudah lelah mengucurkan air mata
bagi dosa, berjibaku jatuh bangun melawan dosa. Kebangkitan Kristus membuktikan
bahwa kuasa dosa telah dikalahkan. Bersama Kristus, kita pasti menang. Dalam Paskah
kita menyaksikan dua hal sekaligus: betapa mengerikannya dosa, dan betapa besarnya
kasih dan kuasa Allah melampaui segala sesuatu. Tak heran Rasul Paulus begitu
berapi-api menyerukan firman di satu pasal terpanjang tentang kebangkitan,
“Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai
maut, di manakah sengatmu?" Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah
hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita
kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu, saudara-saudaraku yang
kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan
Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu
tidak sia-sia. (1 Kor 15:54-58).
Hal ini menguatkan kita,
orang-orang yang pernah gagal, agar tidak diam dalam penyesalan, tapi bangkit
dengan pembaharuan hidup; menguatkan kita orang-orang yang hampir menyerah
menekuni jalan salib, untuk terus berjalan, karena semuanya tidak ada yang
sia-sia, sekalipun di akhir cerita baru kita pahami maksud Tuhan. Dan kalau
kita pernah gagal, hampir menyerah, bahkan berkhianat, kita tidak sendirian.
Ada murid-murid Yesus yang turut serta dalam barisan ini. Bersama dengan matinya Yesus, murid-murid pun
merasa ikut mati, bersama dengan dikuburkannya Yesus, mereka pun merasa ikut
dikubur, dan bersama dengan kehancuran Yesus, mereka pun ikut hancur. Injil
mencatat bahwa mereka semua meninggalkan Dia dan melarikan diri, mengunci diri,
bersembunyi, ketakutan, kebingungan, dan segala berubah menjadi gelap gulita.
Tapi Paskah menjadi titik balik kebangkitan murid-murid. Saat Yesus bangkit,
itulah hari matinya kematian, terang melenyapkan kegelapan. Allah menghancurkan
setan, ada harapan bagi kita seluruh alam semesta.
Bagaimana dengan murid-murid?
Mereka mengalami transformasi luar biasa. Kebangkitan Yesus telah mengubah
pemahaman mereka tentang hidup dan kematian. Dalam hati yang semula merasa
putus asa, takut, bingung, dan kecewa, telah tercipta hidup baru, semangat
baru, kekuatan baru, keberanian baru, cara hidup baru, dan sebuah iman baru. Kuasa
kebangkitan Kristus itu nyata di dalam perubahan radikal yang terjadi dalam
diri murid-murid. Mereka yang sebelumnya adalah orang-orang yang penakut dan
pengecut diubahkan menjadi berani dan penuh keyakinan. Petrus mempertaruhkan
hidupnya dengan berkata dengan suara nyaring bahwa Ia telah melihat Yesus yang
bangkit dari antara orang mati. Ia berkhotbah di hadapan orang-orang Yahudi dan
semua yang tinggal di Yerusalem. Bahkan kalau melihat sejarah gereja, daftar murid
yang pernah gagal itu menyebar ke penjuru lain, mengabarkan Injil, sekalipun mereka
tahu hidupnya akan berujung martir. Jelaslah bahwa iman Kristen adalah iman
kebangkitan. Tanpa kebangkitan, kisah Yesus berakhir di Golgota. Salib. Tragis.
Bodohnya mereka yang mengikuti Dia. Percuma... Paskah menjadi titik balik
kebangkitan: Petrus si pengkhianat, Thomas si peragu, dst, daftar nama ini bisa
terus diperpanjang sampai ke nama kita; orang-orang yang pernah gagal, tapi
juga punya kesempatan untuk bangkit.
Jangan “cengeng” menghadapi
beratnya beban dan tantangan hidup yang ada. Kiranya kuasa kebangkitan Kristus
menyentak kita untuk segera bertindak meninggalkan kenyamanan kita. Mulai tegak
menyusuri jalan salib kita di dunia ini seperti yang telah Yesus tapaki.
Menyusuri dengan ketaatan dan mata yang tertuju kepada Dia hingga saat akhirnya
kita menutup lembar hidup dan menanti kebangkitan kita menyatu dengan Sang
Pembangkit yang berkuasa itu. Salib menjadi simbol dari matinya keakuan cinta diri,
matinya arogansi, benci dan dendam, matinya hasrat untuk menjadi terkenal dan
populer; Salib simbol dari kerinduan untuk hidup bagi Allah dan mati bagi
dunia. Memang panggilan itu berat dan sulit, penuh dengan pengorbanan. Itulah
sebabnya Yesus sudah mengingatkan sejak awal bahwa panggilan Kerajaan ini hanya
bisa dipenuhi oleh mereka yang siap dan rela untuk menyangkal diri
[menanggalkan agenda-agenda pribadi], memikul salib [lambang hina dan cela,
rela dianggap aneh oleh dunia] dan mengikut Yesus [mengikuti cara Yesus] (Mrk.8:34).
Panggilan itu memang membuat seseorang mati untuk dirinya, keakuannya,
agenda-agendanya; namun seperti yang terjadi pada Yesus, kematian itulah awal
dari kehidupan bagi dunia ini[7].
Selagi
anda hidup, bangkitlah. Kebangkitan setelah kematian di dalam Kristus, adalah
sebuah keniscayaan. Tapi kebangkitan selagi anda hidup, perjuangkanlah, dan
mohon kekuatan dari Roh Kudus. Jangan “mati” selagi anda hidup. Janganlah
sampai seruan kepada jemaat Sardis ditujukan kepada kita, “Aku
tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!” (Why
3:1).
3.
Kebangkitan
Kristus itu pasti
Di tengah keraguan para murid dan
pengikut-Nya, kebangkitan Kristus memberi kepastian bahwa apa yang
dikatakan-Nya pasti terjadi. Kepastian ini berlaku sampai sekarang, dalam tiap
kondisi. Apapun yang mengguncang iman kita saat ini: kesulitan hidup, masalah
studi, pekerjaan, keuangan, keluarga, masa depan, atau apapun, Kristus memberi
kepastian: pada waktu-Nya, semua janji-Nya akan tergenapi. Di tengah tekanan
pergumulan, keyakinan inilah yang membuat saya di suatu kebaktian minggu pagi,
menitikkan air mata saat mengucapkan satu kalimat Pengakuan Iman Rasuli yang
setiap minggu saya ucapkan, terasa berbeda pagi itu: “...pada hari yang ketiga
bangkit pula dari antara orang mati, naik ke surga, duduk di sebelah kanan
Allah Bapa yang Maha Kuasa, dan akan datang dari sana untuk menghakimi orang
yang hidup dan yang mati”. Saya diingatkan lagi, bahwa Kristus yang bangkit itu
tidak diam dan berhenti bekerja, bahkan sampai saat ini. Saatnya nanti, Kristus
akan datang dalam keadilan untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.
Pertanyaan pentingnya: apakah kita didapati setia sampai akhir?
Memang kita tahu jalannya sulit,
tapi lebih tahu kalau cerita ini akan berakhir happy ending: kebangkitan dan hidup dalam kekekalan. Dari kepastian
ini, taatlah, kemanapun Allah pimpin. Fokuslah pada kemuliaan Sorga;
teruskanlah, berjuanglah, jangan putus asa, ada harapan.
Beban dan tantangan hidup yang
berat di tengah dunia yang jungkir balik saat ini memang sangat potensial
melahirkan manusia-manusia yang traumatik, yang kemudian seolah tak
berpengharapan di dalam menatap masa depannya. Kondisi keluarga yang
carut marut, beban berat ekonomi yang menghadang, serta suasana sosial politik
yang penuh intimidasi terhadap kekristenan sangat berpotensi melahirkan pribadi-pribadi
Kristen yang “kerdil”. Kalau kita memperhatikan khotbah-khotbah di gereja saat
ini, nampaknya tema-tema penghiburan dan penguatan jauh lebih banyak melampaui
tema-tema misi dan pengutusan jemaat untuk mampu “berbuat sesuatu” di tengah
kehidupannya yang penuh tantangan. Hal ini dapat dikatakan sebagai
indikasi bahwa umat Kristen pada umumnya datang ke gereja dengan ekspektasi
(harapan) untuk dipulihkan dari “kekalahan-kekalahannya” menghadapi tantangan
hidup. Khotbah “penghiburan” itu sendiri tidak salah, karena memang
Yesus-lah sumber kelegaan yang sejati (Mat. 11:28). Namun, seharusnya
gereja dan umat Tuhan juga harus sadar bahwa mereka dipanggil menjadi domba di
tengah kawanan serigala (Mat. 10:16), dan bahwa Ia juga telah memberikan
kuasa-Nya bagi kita (Kis. 1:8) untuk “berbuat sesuatu” di tengah dunia
ini. Semua fenomena di dalam gereja ini memunculkan pertanyaan, “Apakah
dampak kuasa kemenangan Kristus di atas kayu salib benar-benar memiliki dampak
konkret dalam kehidupan Kristen saat ini?”[8]
Kuasa kebangkitan Kristus
mengenyahkan segala ketakutan kita untuk menyatakan kebenaran dalam kondisi
apapun juga (Mat. 10:28). Ada pengharapan bahwa semua perjuangan di dalam dunia
yang penuh penderitaan akan berakhir diganti sukacita yang tiada tara bagi
warga negara sorgawi. Pengharapan ini membuat kita gigih berjuang melalui hidup
yang menentang arus zaman. Perjuangan kita di bumi yang berdosa ini, dalam menghadirkan
segala yang baik: keadilan, kebaikan, kesehatan, cinta kasih, kesucian, dsb, walaupun
tampaknya tidak pernah berhasil tuntas sempurna, namun hal ini tidak akan
membuat kita berputus asa. Karena ketika kita melihat ending cerita, tahulah kita bahwa perjuangan kita tidak sia-sia.
Pada akhirnya kegemilangan itu akan ditegakkan sempurna oleh Kristus. Seperti Film
laga, sebabak-belur apapun, kita tahu di akhir cerita siapa pemenangnya: tokoh
pahlawan.
Bersama Kristus tidak ada jalan
buntu, tidak ada yang tak dapat dipulihkan-Nya, bahkan kematian sekalipun.
Bersama Yesus tidak ada yang terlalu terlambat. Sampai kapanpun tidak
ada jalan buntu, tidak ada kondisi no
hope. Misalnya, jika kita sakit, berapa lamakah kita mampu mempertahankan
doa dan pengharapan kita untuk sembuh? Jika sudah ‘sekian’ tahun kita berdoa
dan berharap tidak juga ada kesembuhan, masihkah kita berdoa dan berharap?
Apakah sudah buntu? Jika tanpa jawaban, sudah berakhirkah pengharapan? Dengan
fakta bahwa Yesus adalah kebangkitan dan hidup, tidak ada too late atau no hope
bagi-Nya untuk menolong kita. “Percayakah
engkau akan hal ini?”. Pertanyaan Yesus pada Marta (Yoh 11:26), sampai juga
kepada kita saat ini. Percaya artinya menaruh diri sepenuhnya ke dalam tangan
Kristus, membiarkan-Nya sepenuhnya membuktikan ke-Allahan-Nya kepada kita. Karena
itu semua penderitaan seharusnya tidak membuat kita mengalihkan perhatian dari
kebenaran hakiki bahwa Allah akhirnya akan memberi kita kemuliaan. Hal itu
tidak hanya akan membuat kita tidak menyerah, tetapi juga dengan penuh harap
dan semangat menjalani hidup bagi Tuhan. Karena mata kita melihat kepada yang
kekal dan melampaui dunia ini yang bersifat tidak pasti, berubah-ubah dan fana.
Kita tidak akan mudah kehilangan pengharapan ketika dunia yang sekarang dan
yang kelihatan ini tidak memberikan harapan lagi, karena kita memang tidak
dibatasi dunia ini. Pengharapan kita pasti, karena Yesus yang adalah
kebangkitan dan hidup menjaminnya. Benarlah apa yang dikatakan syair lagu ini: “S’bab Dia hidup ada hari esok, s’bab Dia
hidup ‘ku tak gentar, karna ‘ku tahu Dia pegang hari esok, hidup jadi berarti s’bab
Dia hidup”.
Sekali lagi, kebangkitan tidak
meniadakan jalan salib. Kita tidak menunggu dengan bermalas-malasan, tapi
dengan menyala-nyala menjangkau semakin banyak orang yang ikut dalam barisan
kita: menempuh perjalanan yang sukar tetapi pasti menuju kemenangan. Yesus
bertahan di dalam penderitaan-Nya. Walaupun dihina dan disalibkan namun Ia tetap
tekun dalam semuanya itu, karena Ia mengarahkan mata-Nya ke depan kepada
sukacita yang tersedia bagi-Nya. Ia bertahan demi kegembiraan yang akan Ia
rasakan pada kebangkitan-Nya, kemuliaan-Nya... Yesuslah teladan kita.
Penutup
Ketika ingin mengakhiri tulisan ini,
mata saya tertuju pada lukisan Yesus tersalib yang ada di depan meja saya. Setiap
pagi, ketika Allah mengizinkan kita memasuki hari itu, lihatlah salib. Meski
sulit, ada kemuliaan di sana, dan ada kebangkitan. Kebangkitan Kristus mendorong
kita untuk bersaksi, hidup berbeda dari dunia, menjadi berkat. Jalan salib
memang tak mudah, tetapi indah. Ada waktu kita terjatuh, tapi melalui kebangkitan
Kristus, kita tahu akan menang. Itu pasti. Bangkitlah sebelum mati, selagi anda
hidup. Karena hanya selagi hidup, kita
bisa bersaksi, lewat kata dan karya.
Sumber buku: Yohan Candawasa (Menapaki Hari bersama
Allah, Tinggal dalam Hadirat-Mu)
[1] http://www.perkantasjatim.org/index.php?g=articles&id=81
[2] http://www.perkantasjatim.org/index.php?g=articles&id=45
[3] http://tekno.kompas.com/read/2010/03/22/04354121/UN.dan.Mimpi.Sekolah.Positif
[4] http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=13901:analis-pendidikan-menyidik-aktivitas-belajar-mahasiswa&catid=25:artikel&Itemid=44
[5] http://news.okezone.com/read/2012/08/05/339/673396/upaya-pemberantasan-korupsi-di-indonesia-masih-buruk
[6] http://www.hymnary.org/hymn/PsH/405
[7] http://www.perkantasjatim.org/index.php?g=articles&id=81
[8] http://www.perkantasjatim.org/index.php?g=articles&id=93
diterbitkan di Oratio Perkantas edisi April 2013.
0 komentar:
Posting Komentar