Aku baru aja servis motor. Setelah kecelakaan waktu itu memang satu demi satu bagian harus di servis lagi. Kemarin tiba-tiba semua bagian mati, gak bisa starter, lampu sign, lampu utama, lampu rem, klakson, semua lampu yang di kepala motor, gak ada yang nyala. Aku pikir masalah baterai aki, terus lihat skringnya putus, coba-coba ganti skring, eh ternyata bisa. Besoknya, kumat lagi, semua mati lagi, dan skringnya putus lagi. Aku pikir berarti ada yang gak beres, ada yang korslet mungkin. Tapi gak sempat ke bengkel, karena jam 5 pagi aku harus berangkat dari Jakarta ke Karawang, hujan pula lagi. Pikirku siang aja, atau malam, ternyata gak jadi karena hujan seharian. Besoknya baru kesampaian. Aku bawa ke bengkel, tukang bengkelnya cek, dan memang berkesimpulan ada yang korslet, cuma belum tau yang mana. Dicek kabelnya –yang banyak banget itu, satu per satu, semua bodi motor dibuka. Dan............. akhirnya ketemu. Switch rem belakang korslet. Kabelnya putus, dan menimbulkan percikan api, udah meleleh sebagian. Aku baru ingat, memang switch rem itu baru ku ganti waktu awal bulan karena rusak, tapi ternyata gak rapi waktu dipasang, jadi korslet. Aku terperanjat sejenak waktu dengar tukang bengkelnya bilang: “Untung mas cepat-cepat bawa kemari, kalo gak, motor ini bisa terbakar, ’kan dekat bensin”... Pikiranku langsung berimajinasi: udah berhari-hari rusak tapi belum dibawa ke bengkel, ternyata bisa bahaya banget. Bisa terbakar. Gimana kalo aku lagi di motor, dan tiba-tiba motor terbakar? Atau kalo aku lagi tidur, atau kalo aku lagi di dekat motor? Ah, bisa mati aku… hanya karena percikan api kecil...
Tapi nyatanya itu tidak terjadi!! Aku masih di bengkel, aku masih hidup, malamnya aku masih bisa nulis artikel ini. Tuhan masih membiarkan aku hidup. Kenapa? Kenapa harus aku?
Aku sering terpikir begitu... Waktu beli nasi goreng, capcay atau pecel lele, sambil nunggu dimasak, mataku terus melihat tabung gas elpiji 3kg dan berpikir: gimana kalo tiba-tiba tabung ini meledak? Matilah aku. Atau waktu naik pesawat, begitu banyak hal yang di luar pemantauan manusia, masalah kecil tapi akibatnya fatal. Sering aku kepikiran, gimana kalo ada sedikit aja kabel yang korslet, meledaklah pesawat ini; atau kalau ada satu baut aja yang longgar, olenglah pesawat ini; atau cuaca buruk; atau bencana lain? Siapa yang bisa memastikan semuanya akan baik-baik saja?
Pernah gak kita berpikir demikian? Tapi ternyata kita masih hidup sampai saat ini. Pernahkah kita bertanya: kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang masih hidup? Kenapa harus aku yang selamat? Mungkin pertanyaan ini gampang kita lontarkan ketika kita merasa ditimpa sial, tidak beruntung, malang, sakit, dukacita, kecelakaan, kita tidak sulit mengatakan: kenapa harus aku? Kenapa bukan dia?? Tetapi jika keadaannya sangat baik, kondisi fisik yang sempurna, sehat, multitalent, cukup materi, studi yang baik, pekerjaan yang baik, keluarga yang hangat, pernahkah kita bertanya: kenapa harus aku? Siapa aku ini yang layak mendapatkannya? Bukankah masih banyak orang yang lebih layak? Perenungan ini langsung menghantarkan aku pada sebuah lagu:
Why have You chosen me out of millions Your child to be?
You know all the wrong that I’ve done
O how could You pardon me, forgive my iniquity
To save me, give Jesus Your Son...
# But (Oh) Lord help me be what You want me to be,
Your word I will strive to obey
My life I now give, for You I will live
And walk by Your side all the way
I am amazed to know that a God so great could love me so
He’s willing and wanting to bless
His grace is so wonderful, His mercy’s so bountiful
I can’t understand it, I confess...#
Lagu ini seringkali meneteskan air mataku. Kenapa aku yang dipilih-Nya? Kenapa aku masih hidup? Bagi Rasul Paulus hanya ada 2 pilihan (Filipi 1:20-26): mati, artinya hidup kekal bersama dengan Allah (20); atau hidup di dunia ini untuk bekerja memberi buah (21). Tidak ada pilihan lain: hidup tapi tidak berbuat apa-apa. Kita masih hidup, kamu masih bisa baca tulisan ini, berarti masih ada pekerjaan yang harus kita lakukan...
*buat mereka yang baru, sedang dan akan berulang tahun; buat mereka yang sedang (atau tidak) menikmati hidup
Banyak orang terlibat pelayanan, tapi sepertinya tidak banyak yang selalu merenungi, apakah yang dilakukannya benar-benar pelayanan atau bukan. Bagi sebagian orang mungkin itu tetap bisa disebut sebagai pelayanan, tetapi secara radikal bukanlah pelayanan.
1. Pelayanan yang tidak jelas motivasinya
Kenapa melayani? Ya kenapa ya... ya gitu deh. Kan bagus, dari pada tidak berbuat apa-apa. Memang tidak sesalah: ingin cari perhatian, ingin dapat kenalan, ingin tampil, terkenal; tapi tidak jelas dan tidak tajam. Dan itu yang bahaya, padahal kelihatannya baik. Kenapa jadi guru sekolah minggu? Karena suka anak-anak. Kenapa harus jadi guru sekolah minggu? Jadi guru TK aja, kan banyak anak-anak? Kenapa jadi gitaris, MC? Bakat ku kan di situ. Kenapa gak bentuk grup band aja kalau punya bakat di situ? Kenapa mau jadi panitia ini? Kenapa memutuskan untuk jadi seksi acara/ pubdok/ perlengkapan/ dana/ konsumsi, dll? Gak ada yang mau jadi seksi doa, karena berdoa aja kerjanya? Harusnya pertanyaan ini bisa dijawab dengan mantap oleh orang-orang yang komitmen di pelayanan itu. Jika tidak, jangan heran banyak orang berhenti di tengah jalan, tidak jelas motivasinya, sekalipun kelihatan baik, tidak ada sukacita sejati setelah melayani, senang mungkin iya, karena memang cocok mengerjakan hal itu, tapi bukan damai sejahtera. Dan pelayanan apakah yang pantas disebut pelayanan jika tanpa motivasi yang jelas? Atau ada juga pelayanan yang versi ini: waktu ditanya, pelayanan dimana? Jawabnya: hidupku adalah pelayananku, atau aku melayani lewat donasi sih sekarang. Benar juga sih, tapi bisa jadi salah, kalau tidak ada pergumulan untuk terlibat lebih dalam, atas pertanyaan what, where, when, who, why, how?
2. Pelayanan yang bukan dikerjakan oleh pelayan
Pelayanan adalah respon ucapan syukur dari orang-orang yang sudah ditebus Kristus, diselamatkan, dengan kesadaran penuh akan kebutuhan untuk terus berelasi dengan Allah dan sesama, serta rasa berhutang agar orang lain juga dapat menikmati apa yang telah dia nikmati bersama Allah. Melayani dengan sadar bahwa Allah terlebih dahulu melayani, dengan ‘turun tahta’, datang ke dunia, mengambil rupa seorang hamba dan taat sampai mati di kayu salib demi orang-orang yang dikasihi-Nya. Hal ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang hidupnya telah diubahkan Kristus dan membiarkan Kristus yang terus menguasai seluruh hidupnya, hati dan pikirannya. Dia tau apa artinya menghamba, melayani, siapa yang sesungguhnya sedang dilayani, dan apa yang berkenan saat melayani, bukan sekedar berbuat ini itu, bukan sekedar mengerjakan target, deadline, program, atau sebuah event. Tidak jarang melihat ‘pelayanan yang tidak hidup’ karena pemusiknya hanyalah musisi, tapi bukan pelayan (mungkin sedang show); singernya adalah penyanyi, tapi bukan pelayan; panitianya adalah event organizer, tapi bukan pelayan. Selama dia belum terima Kristus, tidak ada relasi dengan Kristus, belum cinta Kristus dan benci dosa, dia bukanlah pelayan. Dan pelayanan apakah yang pantas disebut sebagai pelayanan jika tidak dikerjakan oleh para pelayan?
3. Pelayanan yang egois
Sepertinya ini terjadi secara tidak sadar, bahkan oleh seorang pelayan yang jam terbangnya sudah tinggi, atau pelayan yang sudah begitu banyak terlibat dalam pelayanan di sana sini. Kenapa melayani? Untuk menjaga kondisi kerohanianku, supaya aku tetap terlibat dalam pelayanan, untuk mengisi waktu kosongku dengan hal yang mulia, supaya aku tetap disegarkan oleh firman Tuhan, supaya aku tetap bisa bersekutu, supaya aku, aku, aku... Tidak ada yang salah dari alasan-alasan itu, tetapi adakah alasan lain selain aku, aku dan aku? Kita terlibat begitu banyak pelayanan, tanpa henti, bahkan rangkap, supaya apa? Supaya aku... aku... Sampai di situkah? Tidak heran kalau banyak pelayan yang kelelahan, karena dia sedang melakukan ‘pelayanan yang egois’. Anugerah terbesar dalam kehidupan manusia adalah saat Allah (yang tidak egois) memberikan anakNya, Yesus Kristus, sebagai Juruselamat bagi umat manusia. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka. Pembaharuan ini seharusnya membuat para pelayan mampu mengasihi Allah dan orang-orang yang Allah kasihi. Jadi bukan sekedar supaya aku, tapi supaya Allah, dan supaya umat Allah... Pantaskah disebut pelayanan jika pelayanan itu egois?
Aku jadi teringat cerita 3 tukang batu. Dari satu pertanyaan: “Apa yang sedang kamu kerjakan?”, ada 3 jawaban (yang tidak salah, namun berbeda):
Tukang batu 1: aku sedang meletakkan satu batu di atas batu lainnya.
Tukang batu 2: aku sedang mencari nafkah untuk istri dan anakku
Tukang batu 3: aku sedang membangun sebuah gereja besar, suatu saat nanti semua orang akan menyembah Tuhan di gereja ini.
Kita juga sering terjebak berpikir demikian. Namun tukang batu yang ketiga mampu melihat visi besar dalam hal sederhana yang dia lakukan. Harusnya kita juga berjuang untuk terus melayani dan menyadarinya sebagai bagian kecil dari rencana kekal Allah bagi dunia ini. DIA bisa pakai siapa saja untuk melayani-Nya, tetapi sungguh sayang ketika kepercayaan/ anugerah itu diberikan kepada kita namun kita menyia-nyiakannya dengan tidak memberikan yang terbaik di waktu yang tidak banyak/ terbatas ini.
Ngomong tentang pelayanan juga, pasti teringat perikop Maria dan Marta (Lukas 10:38-42). Marta sibuk sekali melayani. Tidak ada yang salah dengan Marta, tapi dia hampir kehilangan kesempatan terbaik untuk mengenal Tuhan Yesus. Dan itu yang ada dalam diri Maria: “...hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” (ay.42). Banyak hal baik yang bisa kita lakukan, tapi jangan-jangan itu bukan yang terbaik? Saya setuju LAI memberi judul Maria dan Marta, padahal yang disebut duluan dan paling banyak beraksi adalah Marta, baru Maria. Tapi bukan banyaknya aksi, hanya Maria memilih bagian yang terbaik, melakukan apa yang Tuhan mau (bukankah itu pelayanan? Pelayan melakukan apa yang disuruh Tuan), duduk diam dengar Tuhan ngomong. Jadi, bagaimana evaluasi pelayanan kita selama ini?
Mungkin setelah membaca tulisan ini, Anda akan berkata: “ah... tulisan ini mah udah biasa. Semua juga udah pada tau. Apalagi yang udah terbina di pelayanan siswa, mahasiswa, alumni, gereja, sekolah minggu sampai kaum lansia. Gak ada yang baru”. Memang. Sama seperti halnya seorang teman berkata kepada anda untuk membersihkan kamar anda yang berantakan. Anda pasti sudah tau itu. Tapi ketika akhirnya anda melakukannya juga, anda lalu berkata: “Oh... ini nih pulpen yang gw cari dari kemaren-kemaren... Ketemu juga akhirnya... thanks ya...”.
Tidak ada salahnya menjadi Marta, asalkan ada hati Maria di dalamnya...
*buat mereka yang merasa sedang melayani atau mengurus pelayanan...
Apa kata-kata paling sering muncul dalam ucapan-ucapan ulang tahun di facebook? “Selamat ulang tahun, Wish you all the best.” (met ultah ye… wis yu ol de bezt). Apa kalimat penutup sms paling populer? “Gbu”. Awalnya menarik, tapi lama-lama kelamaan jadi hambar. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu, sangat baik. Tapi apakah ungkapan itu betul-betul doa dari yang mengucapkan? (supaya yang terbaik, yang terjadi bagi kawanku ini, supaya Tuhan memberkati kawanku ini). Atau sekedar lewat, sekedar kalimat penghias, atau kalimat penutup, supaya tidak dihubungi lagi? Hehehe… “Lagi ngapain?”, “Lagi makan, Gbu”. Habis deh… Padahal tadinya pengen ngobrol lebih panjang. Hihihi…
Terlalu sering kata-kata tersebut diucapkan, jadi bias karena biasa, tidak ada lagi emosi di balik kata-katanya. Bukan karna seringnya, kata itu jadi hambar, sehingga kita harus membatasi mengucapkannya, tapi masihkah kata-kata itu keluar dari hati yang tulus? Seperti kata-kata seorang suami yang telah menikah 30 tahun, kata “sayang, I love you” masih begitu hangat di telinga istrinya, sekalipun diucapkan tiap pagi.
Bukan sembarangan ketika berkat diucapkan. God bless you and keep you… TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. (Bil 6:24-26). Itu Tuhan sendiri yang menetapkan agar melalui para imam, Ia memberkati bangsa Israel. Bukan sembarangan ketika dalam mengawali semua suratnya, Paulus mengucapkan salam, syukur, dan berkat. Roma: Pertama-tama aku mengucap syukur kepada Allahku oleh Yesus Kristus atas kamu sekalian, sebab telah tersiar kabar tentang imanmu di seluruh dunia. Karena Allah, yang kulayani dengan segenap hatiku dalam pemberitaan Injil Anak-Nya, adalah saksiku, bahwa dalam doaku aku selalu mengingat kamu: (Rom1:8-9); Efesus: Dari Paulus, rasul Kristus Yesus oleh kehendak Allah, kepada orang-orang kudus di Efesus, orang-orang percaya dalam Kristus Yesus. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu. (Ef1:1-2), Filipi: Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. (Flp1:3-4), atau salam penutupnya, Kolose: Salam dari padaku, Paulus. Salam ini kutulis dengan tanganku sendiri. Ingatlah akan belengguku. Kasih karunia menyertai kamu. (Kol 4:18), Tesalonika: I pray that the Lord, who gives peace, will always bless you with peace. May the Lord be with all of you. I always sign my letters as I am now doing: PAUL. I pray that our Lord Jesus Christ will be kind to all of you. (2Tes3:216-18). Salam ini benar-benar keluar dari kerinduan hati yang paling dalam, dari rasul Paulus, sekalipun di penjara. Dia berani mengatakan bahwa Allah adalah saksinya betapa dia rindu dengan jemaatnya, dia memang bertindak nyata bahwa dia sangat ingin berusaha untuk menemui/ berkunjung ke jemaat itu… bukan sekedar ucapan atau kalimat pengantar dan penutup.
Ok deh. Semoga mulai sekarang kita tidak gampang lagi mengucapkan kata-kata yang indah itu. Wish you all the best, Gbu, ada yang mau di didoakan?? Benarkah kita berdoa demikian? Supaya jangan jadi bias karena biasa, atau jadi basi karna kelamaan, tapi jadi bisa karena terbiasa, dengan doa senantiasa.
Ah, udahlah… Tengkyu, Gbu. Eh, keceplosan… Ada yang mau didoakan? Ups, kebiasaan… Bye… Lho, kok goodbye? Mungkin lebih baik: see you… Bukan selamat tinggal, tapi see you, berharap bertemu denganmu lagi… Prikitiew… Gbu, cu :)
Iman itu sederhana. Percaya saja dan lakukan. Bukan sekedar believe (percaya), tetapi trust (mempercayakan); bukan sekedar do (berbuat), tetapi obey (taat penuh). Sekalipun banyak hal yang tidak dimengerti dan dipahami, tapi tetap taat dan lakukan saja apa yang berkenan kepada Tuhan. Tidak gampang memang, tapi sesederhana itu. Kita harus berlutut dan sadar bahwa kita sangat terbatas dan tidak ada apa-apanya dibandingkan Allah yang tidak terbatas. Kita tidak akan mampu memahami sepenuhnya pikiran dan kemauan Allah. Kita hanya mampu mengetahui sebatas apa yang dinyatakan-Nya pada kita, khususnya yang tertulis di Alkitab. Itu saja. Dan Alkitab cukup, untuk memberi tahu segala sesuatu yang perlu kita ketahui, bukan yang ingin kita ketahui. Jadi jangan paksakan diri kita untuk mengerti dan mengetahui secara utuh pikiran-Nya Allah. Kita akan kecewa. Allah bukanlah objek yang bisa diteliti manusia melalui mikroskop. Manusia adalah ciptaan, dan Dia Pencipta. Mungkin kalau dibandingkan, jika pikiran Allah seluas samudera raya di bumi ini, maka pikiran kita hanyalah seperti gayung kecil. Mana mungkin satu gayung kecil mampu menampung isi seluruh lautan di bumi ini?
Iman itu sederhana. Sesederhana tindakan Abraham meninggalkan keluarganya menuju negeri yang ditunjukkan Allah baginya. Sesederhana perkataan Abraham sewaktu diminta mengorbankan Ishak, Sahut Abraham: "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku." Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. Sesederhana tindakan seorang janda miskin dari Sarfat yang memberi Elia makan dengan segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-bulinya. Sesederhana tindakan Ester saat menghadap Sang Raja Ahasyweros untuk memperjuangkan nasib bangsanya walaupun hukuman mati ada di depan mata. Sesederhana pernyataan Sadrakh, Mesakh dan Abednego saat akan dicampakkan ke dalam perapian yang menyala-nyala: "Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu”. Sederhana bukan? Sesederhana tindakan iman perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan yang mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya dengan harapan "Asal kujamah saja jumbai jubah-Nya, aku akan sembuh."
Iman itu sederhana. Saya rasa perempuan yang sakit pendarahan itu percaya pada Tuhan sekalipun dia belum mengerti apa itu doktrin eskatologi, soteriologi, eklesiologi, dan logi-logi yang lain. Yang penting dia percaya, itu Tuhan, yang sanggup mengubahkan hidupnya. Maka kata Yesus kepada perempuan itu: "Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!" (Luk 8:48). Sederhana bukan? Tapi sayang, iman sesederhana itu jarang dijumpai di kalangan Kristen saat ini. Orang banyak bergantung pada mujizat yang spektakuler, kalau tidak terjadi, dia kecewa, dia meragukan Tuhan. Mungkin dia lupa, banyak mujizat-mujizat sederhana yang telah dia alami. Bukankah masih bangun pagi itu adalah mujizat? Nanti malam masih ada nasi di meja makan, bukankah itu mujizat? Banyak orang semakin pintar, tapi justru makin meragukan imannya, ketika dia tidak bisa memecahkan dengan pikirannya dan menguasai sepenuhnya apa itu: konsep keselamatan, soteriologi, eskatologi, gimana nanti akhir zaman, apa itu Allah Tritunggal, apa itu predestinasi, konsep pilihan, konsep anugerah, keadilan, pengampunan, dst dlsb… Makin dia tidak mengerti, makin ragu dia akan apa yang dia imani. Padahal sederhana: seperti yang sudah saya sebut di atas: kita terbatas, jadi trust and obey aja. Memang, dalam pertumbuhan iman dan kedewasaan seseorang, kita harus semakin bertumbuh dalam knowledge dan character, kita harusnya semakin mengerti dan menguasai apa yang kita imani, tetapi jika kita tidak mampu mengerti seluruhnya, itu wajar, karena kita bukan Allah, dan itu harusnya membuat kita tertunduk takjub dan semakin mengagumi kemaha-kuasaan Allah, bukan malah meragukannya. Belum tentu apa yang tidak kita ketahui sekarang, memang tidak ada, atau bukan kebenaran. Seperti anak SD yang kita paksa mengerjakan soal matematika kalkulus yang rumit, dia akan stress dan mengatakan: jawabannya tidak ada! Benarkah demikian? Oh, ternyata setelah kuliah kita baru mengerti jawabannya. Sederhana bukan? Yang tidak kita ketahui sekarang bukan berarti tidak ada. Ikuti aja. Bukan harus mengerti segala sesuatunya dulu, baru kita ikut Tuhan, tapi itulah uniknya iman, dalam ketidak-tahuan kita, bukan kita yang sibuk untuk menggapai tangan Allah, tapi membiarkan tangan kita untuk dipegang oleh Tuhan. Seperti yang dialami Petrus, ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: "Tuhan, tolonglah aku!" Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" (Mat 14:30-31).
Apakah kau mengerti sepenuhnya cara kerja otakmu? Kalau tidak, mengapa engkau masih memakainya? Apa tidak lebih baik, keluarkan otakmu, pelajari sungguh-sungguh, setelah mengerti, baru pakai lagi? Kalau tidak mengerti, jangan pakai lagi!! Begitu? Kan tidak? Jadi, kita pelajari aja semampunya, dan jangan pernah lepaskan. Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. (Rom12:3)
Jadi, jangan tunggu mengerti dulu baru ikuti, tapi ikuti saja sambil mengerti. Makin mengerti, makin baik. Banyak yang tidak mengerti, pelajari, masih gak ngerti juga, ya imani… Sederhana.
*buat mereka yang pernah satu kelompok denganku, untuk belajar apa artinya beriman.