Kawas Rolant Tarigan

-now or never-

Ada rencana keluarga besar kami untuk merayakan ulang tahun Opung yang ke 75, tahun depan dengan pesta besar. Semua keluarga kumpul di Siantar. Prinsipnya semua setuju, tapi tetep aja waktu diskusi ada suasana panas ketika ngomongin masalah biaya. Tapi memang Opung yang satu ini pantas mendapatkannya! Menjanda berpuluh-puluh tahun dan membesarkan 8 orang anaknya, dan dia hanyalah guru SD. Tapi sekarang sudah beranak cucu, dan bercicit. Ada beberapa hal yang kuingat tentang opung: dulu waktu umur 70 tahun gak mau dirayain ulang tahunnya, karena ada temannya, umur 70, setelah dirayakan malah meninggal. Diajak ke Yerusalem juga gak mau, tapi akhirnya setelah dibujuk dan gratis, mau juga. Katanya karena takut "dipanggil" Tuhan lebih cepat. Haha... Ada-ada aja. Katanya lagi, dia siap untuk "itu" setelah umur 75. Makanya tahun depan dia tidak keberatan kalau ulang tahunnya dirayakan. Ada yang kuingat lagi, dulu, awal-awal dikasi handphone, sebelum ngirim sms, semua pesannya ditulis rapi dulu di kertas, baru diketik di HP, itupun baru selesai setengah jam kemudian. Haha... Tapi dia opung yang hebat. Baru-baru ini dia sms aku: "Ku tonton di berita Karawang banjir. Apakah kamu terlibat?". Aku ketawa bacanya, tapi aku sangat mengerti maksudnya, dia memperhatikan cucunya. Terima kasih opung.
***
Akhir-akhir ini di telingaku sering terdengar lagu batak: Uju di Ngolungki. Syairnya bagus. Intinya: kalau mau menyenangkan orang tuamu, lakukanlah sewaktu dia masih hidup. Tidak ada lagi gunanya kalau sudah tiada. Sekalipun waktu meninggalnya kita buat acara maha besar, kuburannya megah, tidak ada gunanya. Makanya selagi ada kesempatan, hiburkanlah mereka... :)
Ini dia syair lagunya:

Hamu anakhonhu…
Tampuk ni pusupusuki…
Pasabar ma amang, Pasabar ma boru,
Lao patureture au…

Nunga ma tua au…
Jala sitogutoguon i…
Sulangan mangan au, Siparidion au,
Ala ni parsahitonki…

Reff:
So marlapatan marende, margondang, marembas hamu,
molo dung mate au…
So marlapatan na uli, na denggan patupaonmu,
molo dung mate au…
Uju di ngolungkon ma nian…
Tupa ma bahen angka na denggan,
Asa tarida sasude…
Holong ni rohami, marnatua-tua i...

Hehe...
Apakah anda bingung kenapa si Kawas ini ngerti bahasa batak? Karena ada darah batak di dalamnya... Ragu? Ini ada dua pantun (contekan) dariku:

Tu tao Marsolu - solu. Sai marlange ma tu topian.
sai godang pe anak borru. ai BORU BATAK do Naung denggan.

manottor ma akka pariban. diiringi gondang bulan -bulan.
manang pe au tubu di pangarattoan. alai Boru Batak Do tong tong Hu Boan.

Haha... Kembali ke topik awal, bahagiakan orangtuamu sekarang!
F.A.M.I.L.Y: Father And Mother I Love You

Read More..

Si tante (babbysitter) yang di rumah tulangku tiba-tiba ngomong begini: “Bang, lama banget ya bulan Januari ini berjalan...”. Aku pura-pura bijaksana menjawabnya: “Ya sama aja tante, 1 harinya semua 24 jam, gak ada yang lebih lama”. Ya, aku pura-pura bijaksana, karena dalam hatiku, aku juga merasakan hal yang sama. Walaupun ini pasti hanya perasaan, tapi aku mencoba mengingat-ingat perjalanan Januari ini, kenapa terasa sangat lambat. Bukankah kita sering merasa demikian? Ada rentang waktu; entah itu menit, jam, hari, minggu, bulan atau tahun, yang terkadang terasa sangat cepat terlewati, bahkan tidak terasa, sehingga kita ingin lebih lama lagi menikmatinya, namun terkadang terasa sangat lama dan ingin cepat berlalu dari situ. BEDA dan SAMA. Pasti beda: 2jam menunggu angkot, dibanding 2jam nonton blitzmegaplex bersama kekasih. Pasti beda, 1tahun dalam kondisi sakit, dibanding 1tahun kemudian di saat seseorang merayakan ulang tahunnya (yang tidak terasa bahwa umurnya bertambah 1 lagi). Padahal semuanya pasti sama: 1jam= 60 menit, 1hari= 24jam, 1minggu= 7hari, persoalannya bagaimana kita mengisi, menjalani, dan memaknainya.
Sambil menatap kalender danus PMK STAN yang di kamarku, akupun sadar Januari 2010 ini punya ceritanya sendiri. Berawal dari buka tahun (peralihan 311209 ke 010110), aku harus menjalaninya di bus Raharja menuju Jogjakarta. Aku sedang dalam perjalanan ke Jogja untuk menjenguk abangku yang sakit DBD di sana. Cukup mendadak, dan merusak beberapa planning yang telah kurencanakan jauh hari sebelumnya untuk mengisi liburan akhir awal tahun. Tapi apa daya. Kupandangi seisi bis, berbagai-bagai macam orang. Ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di saat-saat seperti ini, aku pasti sedang duduk diam, kebaktian dengan orang-orang terdekat (entah keluarga atau teman-teman). Tapi ini? Dengan orang yang tak kukenal sama sekali (walaupun ada yang wajahnya mirip-mirip dengan beberapa teman. Haha... Mungkin karena tidak ada lagi yang kupandang selama perjalanan, jadi lama-lama mirip). Jam 12 tepat, aku berharap ada sesuatu yang terjadi di bis, entah ada yang teriak, tiup terompet, tepuk tangan, salaman, atau apapun. Tapi semua terlelap, termasuk yang di sebelahku. Padahal aku berniat untuk menyalamnya pas tengah malam. Jadi yang kulakukan hanyalah bernyanyi dalam hati: Great is Thy faithfulness, berdoa, dan memandangi HP yang lowbat, bergetar terus karena sms-sms yang masuk (termasuk salah satunya dari temanku Dapot, yang minta didoakan karena DBD juga, sewaktu pulang ke Medan). Paginya, 1 Januari, aku mengawali tahun dengan mandi di kamar mandi rumah sakit, tempat abangku dirawat. Lumayanlah, menyegarkan tubuh yang lelah, dan berharap semoga air rumah sakit membuat badan lebih sehat. Hehe... Abangku sudah dibolehkan pulang, dan aku disana sampai tanggal 3, pulang lagi ke Karawang dengan tiket yang sangat mahal. Tanggal 4-12 bekerja seperti biasa, namun ada yang berbeda. Job desc yang bertambah dan semakin berat. Kadang ingin mengeluh karena ketidakseimbangan beban kerja antar pegawai, tapi diingatkan lagi dengan 1 resolusi 2010: makin semangat mengerjakan hal-hal kecil sampai besar. Akhirnya ya kerjakanlah... Kalau Januari aja udah malas, apalagi bulan-bulan berikutnya, yang melihat panjangnya 11bulan lagi aja makin bikin malas? Bukankah langkah awal punya peranan penting untuk langkah berikutnya? Baru aja berpikir begitu, tanggal 13 badanku rasanya sakit, kepala pusing banget, hangat, tanda-tanda mau demam. Aku pikir karena perubahan cuaca dan tiap hari hujan. Ternyata lebih dari itu. Malamnya demam tinggi dan pusing tak tertahankan. Tanggal 14-15 aku gak masuk kantor karena memang gak sanggup. Lemas, muntah, gak bisa makan. Malamnya semakin parah, akhirnya dibawa temanku ke UGD RSUD. Cek darah, ada bintik-bintik merah di badanku, dikirain DBD. Ternyata setelah 1jam hasil lab keluar (padahal janjinya 30menit), ternyata: cacar!!! Alamak... Awalnya sewaktu dokter bilang: “Apa pernah cacar?”, aku dengan yakin menjawab “Udah pernah, dok”, karena mamak memang bilang begitu. Tetapi setelah hasil lab keluar dan ku telepon lagi mamak, jawabnya: “ah, lupa mamak. Berarti belum pernah kau cacar”... Ya ampun,mak... Sekitar 4 jam aku di UGD, dan makin mau muntah, karena selain ruangannya gak bersih, tiap menit ada orang kritis keluar masuk, yang wajahnya hancur, penuh darah... egh....... Aku cepat-cepat pulang, dan dengan tegas mengatakan: tidak mau rawat inap! Malamnya panas tinggi banget sampai menggigil, kepalaku dikompres air panas (tanpa campur air dingin) pun gak terasa. Aku gak tau panasku berapa, tapi sangat menyakitkan, sempat beberapa hari kesal sama Tuhan yang seakan-akan tak peduli. Entah apa susahnya, kalau Dia mau, tinggal sembuhkan, sangat menderita rasanya (pantaslah kupikir cacar cuma 1 kali seumur hidup). Apalagi tanggal 17 aku ada pelayanan di STAN. Semua cacarnya mulai keluar, berair, dan panasnya mulai turun. Banyak kali masukan: mulai dari minum air kelapa, mandi pakai air pultak-pultak/ ceplukan (aku pikir, mana ada pultak-pultak di Karawang ini, di Doloksanggul nya ada itu), daun kapok, kulit jengkol, ada lagi yang bilang jangan mandi sama sekali, pakai betadine, kelapa parut, biocream, bioplacenton, entah apalah. Tapi akhirnya hari minggu itu, untuk pertama kalinya setelah 4 hari, aku mandi juga, pakai air hangat aja, habis itu diolesin bedak kulit, demi satu tujuan: berangkat ke STAN, pelayanan firman. Perjalanan jauh, hujan deras, muka bercak-bercak cacar, dipandangi orang selama perjalanan, tapi tak apalah, dijalani juga, karena pengurus gak dapat pengganti lagi. Habis itu langsung ke Bekasi, perawatan disana (alias gak masuk kantor) dari 18-24. Di Bekasi pun diejek terus, penyakit anak-anaklah, kena viruslah, entah apa lagi. Bingung juga aku, kayak hina kali penyakit cacar ini, kayak penyakit kusta di zaman Perjanjian Lama rasanya. Waktu doa malam, aku menyuruh Misni membacakan Markus 1:40-45 (Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: "Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku." Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir...”). Aku cemburu dengan si kusta itu. Walaupun aku sering berdoa buat orang sakit supaya bersabar menunggu waktu Tuhan dan tetap berpengharapan pada tangan Allah yang kuat, akupun belajar keras untuk itu.
Lama-lama cacarnya jadi gatal. Tapi jadinya ada perumpamaan yang ku dapat antara cacar dan dosa. Kadang-kadang kita menahan untuk tidak berbuat dosa seperti menahan untuk tidak menggaruk gatalnya cacar, karena memang tidak diperbolehkan. Tetapi seringkali, entah karena tidak tahan godaan, atau sewaktu tidak ada yang melihat, kita mulai kompromi untuk menggaruknya sedikit, dengan alasan di pinggir-pinggirnya saja, tidak di lukanya. Tapi lama-lama makin ke tengah, dan setelah kena, sakit atau berbekas, barulah kita menyesal. Hehe,,, perumpamaan yang bagus juga.
Masih dalam kondisi cacar (tapi mulai mengering), tanggal 23 ke Bintaro lagi, KTB ama teman-teman 2005, habis itu Natal STAN. Tanggal 25 memutuskan untuk mulai ngantor lagi, dengan beberapa bekas cacar yang mulai mengelupas, banyak pertanyaan dari kawan-kawan. Bahkan sampai malam ini, di saat menulis artikel ini, masih banyak bercak hitam, kenang-kenangan dari bulan Januari. Padahal tanggal 29-31 harus berangkat sendiri ke Puncak untuk Retreat STAN. Cukup? Sedikit lagi, tanggal 31 harus pulang duluan, karena ada PHP RK XI di UKI, habis itu pulang malam ke Karawang untuk bekerja besoknya di tanggal, minggu, dan bulan yang baru…010210.
Begitulah mungkin aku menjalani Januari ini. Sedikit terseok-seok, tapi sepertinya ada Tangan yang Lembut namun Kuat yang menuntun perlahan... Aku bersyukur untuk itu.

Hey, Februari, apa kabar? Sepertinya ada berita dari RK yang sudah dipersiapkan 6 bulan itu...?

Read More..

Seorang pendeta hendak membuat warta kebaktian pelayanannya minggu depan di surat kabar. Dia menghubungi biro iklan surat kabar via telepon: “Saya ingin membuat pengumuman pelayanan saya minggu depan, dari Mazmur 23”. Tempat dan jam pun dijelaskan. “Temanya apa, Pak?”, sahut petugas biro iklan. “Tuhan adalah Gembalaku”, jawab pendeta itu. “Itu saja?”, tanya petugas lagi. “Itu sudah cukup!”, jawab pendeta itu...
Keesokan harinya, betapa terkejutnya Pendeta itu melihat iklannya di surat kabar. Tempat dan jam pelaksanaan tidak ada yang salah, namun ada satu yang berbeda. Tema yang dituliskan di situ: “Tuhan adalah Gembalaku, itu sudah CUKUP!”. Selagi memegang surat kabar itu, sang Pendeta larut dalam sebuah perenungan serius, dan akhirnya sangat meyakini tema yang tertulis itu: “Tuhan adalah Gembalaku, itu sudah CUKUP!”. Apa lagi yang kurang?

Itu jugalah yang dirasakan Daud ketika menuliskan Mazmur 23 yang sangat indah ini. Daud yang adalah seorang gembala handal (1Sam17: 34-36) memposisikan Allah sebagai Gembalanya dan sangat menikmati pemeliharaan-Nya. Maukah kamu juga ikut menikmati hal yang sama? Galilah perikop Mazmur 23 ini, dan temukan kekayaannya kata per kata dengan observasi yang dalam...

Read More..

Ya, aku marah
Aku marah karena kau tak mau ikut denganku
Aku marah karena seringnya ketidakjelasanmu, masalah tempat makan, apalagi acara akhir tahun
Aku marah karena banyak rencana kita yang tidak jadi
Aku marah karena tak bisa buka tahun bersamamu
Aku marah karena saat hari ulang tahunmu, aku tak disampingmu
Aku marah karena yang duduk di sampingku di dalam bis adalah bapak-bapak, bukan dirimu
Aku marah karena seringkali kau menganggap gampang kata-kataku
Aku marah karena kau masih sering mengatakan maaf, artinya kau masih sering berbuat salah
Aku marah karena berjanji pada diriku sendiri takkan menghubungimu beberapa lama hanya untuk menunjukkan bahwa aku tidak main-main dan tidak mudah mengucapkan kata-kata
Aku marah karena tak tahan untuk tidak menghubungimu, tapi aku harus
Aku marah karena kalau aku jadi dirimu, aku pasti berusaha sekuat mungkin untuk datang dan bertemu denganmu, tapi itu tidak akan kau lakukan
Aku marah karena takut menatap masa depan yang seperti ini. Berapa banyak lagi rencana yang gagal karena kesibukanmu?
Aku marah karena melihat keadaanku yang tidak akan memungkinkan punya pendamping yang sibuk
Aku marah karena aku mau di saat aku ingin kau berada di sampingku, kau ada. Tapi itu tak pernah kudapatkan sampai sekarang. Apalagi nanti?
Aku marah karena hanya dirimu yang selalu kuingat. Sewaktu jalan-jalan, hanya hadiah buatmu yang ada di pikiranku. Bukan jeansku, sandalku atau sepatuku yang sudah rusak.
Aku marah karena banyak sekali hal yang mau ku ceritakan, pergumulan terima pelayanan, masalah berpengaruh di kantor, tapi tidak bisa kuceritakan karena aku menahan untuk tidak menghubungimu.
Aku marah karena banyak sekali hal yang sedang kupikirkan dan harus kukerjakan.
Aku marah karena sebenarnya aku tak ingin marah dan ingin mengatakan bahwa aku kehilanganmu…



Read More..

Regards,

Kawas Rolant Tarigan




Yang rajin baca:

Posting Terbaru

Komentar Terbaru

Join Now

-KFC- Kawas Friends Club on
Click on Photo