Di
kebaktian Minggu tadi, si pengkhotbah di mimbar mengeluarkan penggalan
kalimat ini: "jadi baca Alkitab itu bukan baca sekian pasal tiap hari,
terus lapor di grup bahwa sudah baca. Bukan. Tapi kamu taati tidak?".
Lagi-lagi
saya hanya bisa menghela nafas. Geram rasanya tiap kali kalimat sejenis
ini muncul. Menurut saya, kalimat seperti itu bukan kebenaran utuh,
malah bisa melemahkan orang-orang yang sedang berjuang disiplin membaca
Alkitab tiap hari.
Ada kalimat yang sering kita dengar dengan pola
yang sama: Untuk apa rajin ke gereja, tapi gak berubah kelakuannya.
Bukan rajin berdoa yang penting, tapi kasih yang nyata. Bukan seberapa
banyak firman yang kita tahu atau hapal, tetapi seberapa banyak yang
kita lakukan.
Kalimat ini sedikit contoh dari banyak jenis lainnya.
Duh, gemasnya tiap dengar kalimat-kalimat itu. Memang, mungkin maksud si
penutur ingin men-challenge rutinitas seseorang, punya dampak atau
tidak, sekedar ibadah yang mekanis, ritual, asal ada, atau
sungguh-sungguh? Tapi lihatlah bagian awal kalimat itu: untuk apa rajin
ke gereja, bukan rajin berdoa yang penting, bukan seberapa banyak firman
yang kita tahu, baca Alkitab itu bukan baca tiap hari, dst. BAHAYA kan
kalimat seperti itu. Kita tahu rajin ke gereja itu penting, berdoa, baca
Alkitab, semuanya perlu dilakukan teratur, latih diri disiplin. Dan
kita setuju, jangan berhenti sampai di situ. Disiplin rohani tersebut
harusnya cepat lambat punya hasil, buah yang terlihat, terasa,
menyenangkan hati Tuhan dan orang sekitaran. Jangan karena ada orang
yang sering datang ke gereja tapi hidupnya tetap ngerepotin orang,
kata-katanya pedas, terus kita simpulkan kalimat: untuk apa rajin ke
gereja. Ini bisa jadi mengecilkan hati orang yang sudah berjuang rajin
ke gereja, dan sebaliknya: membuat bangga, bertepuk tangan, pemakluman,
bagi orang yang malas ke gereja. Jadi bukan rajinnya yang salah, tapi si
pelaku yang harus mendapat pemahaman lebih dalam: datang ke gereja
tidak otomatis membuat dirimu beribadah. Itu adalah 2 hal yang berbeda!
Saya
jadi teringat waktu SD. Di satu tes ulangan, yang harusnya dikerjakan
masing-masing, tetapi beberapa siswa kerja sama, nyontek, membuat guru
marah. Ngamuk di kelas: "Untuk apa kalian sekolah tapi tukang nyontek?
Untuk apa capek ngajarin kalian tapi tidak bisa dibilangin? Satu kelas
tidak boleh keluar main-main (jam istirahat)!!". Saya merasa kalah. Si
pencontek merasa menang, sama-sama kena hukuman. Sampai detik ini saya
tidak terima. Saya rajin ke sekolah, saya sudah persiapan belajar
semalaman, saya jujur, saya tidak mau dihukum atau disamaratakan dengan
si curang. Saya tidak mau direndahkan dengan kalimat: untuk apa sekolah,
untuk apa capek ngajarin! Karena saya serius dan saya menghargai tiap
perjuangan saya untuk itu! Jangan membuat saya merasa sial atau sia-sia
melakukannya.
Dari hati yang paling dalam, saya meragukan...
orang yang melontarkan kalimat: "untuk apa rajin ke gereja, bukan rajin
berdoa yang penting, bukan seberapa banyak firman yang kita baca",
jangan-jangan orang yang jarang gereja, doa seadanya, atau malas baca
Alkitab. Kalau sempet, kalau inget, kalau dapet. Kalimat racun tadi jadi
pembenaran atas lubang-lubang kegagalan.
Kalau didalami:
"Untuk apa rajin ke gereja, tapi gak berubah kelakuannya". Apakah maksudnya gakpapa gak rajin ke gereja, asal baik?
"Bukan rajin berdoa yang penting, tapi kasih yang nyata". Jadi malas berdoa bisa dimaafkan, asal kasih?
"Bukan
seberapa banyak firman yang kita baca atau hapal, tetapi seberapa
banyak yang kita lakukan". Jadi malas baca Alkitab tidak masalah, asal
ramah?
Yang seperti ini membuat banyak orang Kristen merasa baik-baik
saja, padahal kerohaniannya parah. Kegagalan yang satu ditutupi dengan
penghiburan semu yang belum tentu terbukti.
Yakin mengaku Kristen
tapi malas ibadah, berdoa ala kadarnya, dan gak akrab dengan Alkitab?
Ngapain aja selama ini? Berpuluh tahun jadi Kristen gak pernah selesai
baca 1 buku yang namanya Alkitab?
Setelah itu kita masuk ke
tantangan lanjutan: gak malu kelihatan rajin ibadah, doa, baca Alkitab,
tapi gak bisa dirasakan sekeliling kita perubahan kita?
Jadi
keduanya perlu dikoreksi dengan berimbang. Janganlah melemahkan satu
sisi. Aksi dan aplikasi keduanya penting! Ubah kalimat itu.
Terus rajin ibadah! Tunjukkan kualitasnya.
Terus rajin berdoa! Jadi jawaban doa.
Baca Alkitab tiap hari! Hapalkan, lakukan.
Karena
kita bukan super hero, maka wajar jika fase jatuh-bangun, gagal-bangkit
itu ada. Kesanggupan kita adalah pekerjaan Allah (2 Kor 3:5). Bagian
kita berjuang setia melakukannya. Maka, jangan selalu memandang remeh
yang namanya "rutinitas". Rutinitas tidak selalu buruk. Justru itu yang
menjaga kita tetap melakukan sesuatu sekalipun sedang tidak baik. Akan
ada kalanya saat teduh kurang dinikmati, doa terasa hambar, baca Alkitab
kurang gairah. Jangan berhenti, atau menunggu sampai kita semangat
lagi. Kenyataan yang sering terjadi, sekali berhenti, permisif, susah
lagi mendisiplinkannya. Di sinilah rutinitas menolong. Kita tetap
lakukan disiplin itu sampai nikmatnya muncul lagi: agungnya ibadah,
akrabnya doa, kaya dan dalamnya firman Tuhan.