Lanjutkanlah kasih setia-Mu ya Allah…
(Menyongsong Sidang Sinode GBKP 2010)
Oleh: Kawas Rolant Tarigan
1. Spiritualitas; Kesaksian yang Utuh
Keagamaan biasanya diekspresikan melalui tiga cara, yaitu: ritual (ibadah), creed (pengakuan), dan life (cara hidup). Hal inilah yang membedakan agama yang satu dengan yang lainnya, secara khusus pagan religion (agama kuno, penyembah berhala/ tidak menyembah Allah), dengan revealed religion (agama penyataan/ yang dinyatakan). Bagi penganut pagan religion, ritual adalah hal yang paling utama, namun mereka tidak memiliki creed (pengakuan), karena tiadanya theologi yang utuh. Hal ini ditunjukkan dalam cara hidup mereka yang sangat jauh berbeda dibandingkan saat mereka melakukan ritualnya. Berbeda dengan revealed religion, contohnya agama Kristen, ritualnya ditunjukkan melalui ibadah dan kegiatan rohani, memiliki theologi yang utuh dengan pengakuan ke-tri-tunggal-an Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Sejatinya, umat Kristiani mampu menunjukkan apa yang ia percayai melalui cara hidupnya.
Apakah hal ini sudah tercermin dalam cara hidup jemaat GBKP? Sudahkah GBKP menjadi gereja seutuhnya yang menjadi saksi di tengah-tengah keberadaannya? (bukan hanya sebatas kegiatan keagamaan saja). Karena seringkali orang seakan-akan sangat taat beribadah, namun tidak demikian dalam kehidupan sehari-hari. Ini tantangan bagi gereja, bagaimana membentuk jemaat yang di dalam dirinya tidak ada dikotomi antara kehidupan pribadi dan kehidupan di muka umum, antara yang disaksikan dan yang diterapkan, antara yang diucapkan dan yang dilakukan. Jonathan Lamb dalam bukunya Integritas mengutip: “Sebagian besar kekristenan Amerika telah kembali ke paham-paham penyembahan berhala murni, di mana para penyembah berhala ternyata bisa sangat khusuk menjalankan agamanya tanpa harus terikat dengan nilai-nilai etika, moralitas, pengorbanan diri atau integritas”. Adalah bahaya yang besar apabila banyak jemaat GBKP seperti penyembah berhala ini. Jemaat yang tiap minggu rajin ke gereja namun di kehidupan keseharian tidak berbeda dengan seorang atheis. Dia tidak sadar bahwa dia sedang hidup di hadapan Allah yang maha hadir dan maha melihat, memperhatikan, memelihara dan menghakimi, meminta pertanggungjawaban.
Beberapa kali dicatat dalam Injil ketika Yesus mengecam ahli Taurat dan Farisi (Mat 15:7-9; 23:13-36), padahal mereka sangat-sangat taat beribadah, tapi cara hidupnya jauh dari kebenaran. Mengapa? Terbukti bahwa ibadah mereka bukan lahir dari pemahaman dan relasi yang benar dengan Tuhan. Bandingkan dengan kehidupan seorang jemaat GBKP yang aktif (bisa saja Pertua/ Diaken): Minggu ke gereja, Senin-Sabtu kerja, ditambah Selasa PJJ, Rabu Moria, Kamis Mamre, Jumat rapat-rapat, Sabtu menghadiri pesta-pesta, kembali ke Minggu lagi ditambah arisan-arisan persadan merga, atau PA Permata, di samping (jika ada) ngapuli, kunjungan orang sakit, dan kerja-kerja. Rutinitas yang sangat menyibukkan dan mungkin saja tak bermakna lagi, sehingga seringkali timbul keluhan karena yang didapat hanya lelahnya saja. Herannya lagi, banyak orang yang bangga dengan kesibukannya ini, bersosial, padahal tak membuahkan apa-apa bagi perubahan hidupnya. Pernahkah kita bergumul jujur di dalam hati: “jangan-jangan” sebenarnya Tuhan tidak menyuruh kita sibuk melakukan ini-itu, melainkan ada hal yang lebih penting? Mari ingat cerita Maria dan Marta dalam Luk11:38-42; Yesus memuji Maria yang duduk diam mendengarkan-Nya berbicara, bukannya pada Marta yang sibuk menyusahkan diri melayani sekalipun itu baik. Bukan menyalahkan “sibuk”-nya, justru sebagai seorang jemaat yang peduli haruslah menyisihkan waktunya untuk pelayanan, namun jangan pernah lupakan hal yang paling esensi: relasi dengan Tuhan; spiritualitas, itulah yang harus diperjuangkan GBKP bagi jemaatnya.. Spiritualitas adalah gaya hidup seseorang sebagai hasil dari kedalaman pemahamannya tentang Allah secara utuh. Spiritualitas adalah gaya hidup sehari-hari yang merupakan buah dari hubungan kita dengan Yesus. Spiritualitas adalah kedekatan atau keakraban hubungan kita dengan Yesus secara transenden yang ditampakkan dalam sikap hidup kita terhadap orang-orang yang adalah imanensi atau perwujud-hadiran Yesus . Kegiatan keagamaan yang banyak tidak menjamin spiritualitas hidup seseorang. Pelayanan bukanlah sibuk sana-sibuk sini, tetapi persekutuan dengan Allah dalam doa, saat teduh, disiplin pembacaan Alkitab dan persekutuan. Relasi itulah sebenarnya yang disebut pelayanan, dan “hal-hal yang tampak dari luar” (seperti PA, kebaktian, kunjungan diakonia, bahkan kesaksian hidup) adalah buah dari relasi kita dengan Allah. Yesus, yang adalah Tuhan, juga melakukannya (Mrk 1:35, Mat 14:23): sesibuk apapun pelayanan-Nya, Dia tidak pernah meninggalkan persekutuan dengan Bapa, karena itulah yang terutama. Dalam Yoh15:1-8 (Pokok Anggur yang Benar), kata yang lebih ditekankan adalah “tinggal (remain)”, kemudian “berbuah (bear/fruitful)”. Jangan dibalik! Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh15:5).
Hal-hal seperti ini yang harusnya diperjuangkan dalam program-program GBKP bagi pembinaan jemaat, menghasilkan jemaat yang memiliki relasi intim dengan Allah, yang disaksikan dalam sikap hidupnya. Bagaimana gereja dapat melakukan mandat Injilnya secara efektif, apabila jemaatnya gagal menjadi saksi? Ketika satu orang jemaat gagal menjadi saksi, kegagalan ini bisa meracuni satu komunitas, menghancurkan kepercayaan, menggagalkan misi yang saling terkait dan menyatu, dan yang paling berbahaya, kegagalan ini bisa mengkhianati usaha-usaha dalam pengabaran Injil dan merendahkan Allah yang kita sembah. Terlalu sedih rasanya menulis bagian ini, apalagi sepertinya tidak ada lagi passion yang menghasilkan action. Misalnya dalam beberapa sidang runggun, hampir semua hal dianggap biasa, ingin cepat selesai, tak jarang terdengar kata: “nggo me. Lanjutken kari yah...”. Sidang yang lama dianggap sebagai hal yang membuang waktu saja, padahal bisa saja ide-ide baru muncul dari situ. Akibatnya pelayanan gereja pun begitu-begitu saja, tidak ada perubahan signifikan. Banyak pula jemaat yang tidak mau tahu dan menerima saja. Bagaimana orang bisa menerima pesan Injil yang kita beritakan kalau mereka melihat “produk” Injil tersebut tidak seperti yang dikatakan? The man is the message. Kitalah yang sebenarnya saksi hidup itu. Apalagi para presbyter, penilik jemaat harus mampu menjaga dirinya terlebih dahulu, baru menjaga kawanan dombanya. Jangan “pembina” yang justru membuat pusing karena harus dibina (meskipun sedihnya, hal ini sering jadi pergumulan di GBKP). Bukankah dalam Kis 20:28 dikatakan: Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.
Biarlah hal ini menjadi perenungan di penghujung regenerasi kepengurusan ini, bagaimana pelayanan dan pembinaan yang dilakukan bisa membawa jemaat menjadi Kristen yang sesungguhnya, memiliki hubungan pribadi yang intim dengan Tuhan, yang ditunjukkan dalam cara hidupnya, bukan sekedar sibuk dengan banyaknya kegiatan agama. Kalau tidak ada perubahan nilai hidup jemaat, bukankah GBKP sedang menciptakan “ahli Taurat dan Farisi” yang baru, yang begitu sibuk (katanya) melayani, namun gagal menjadi saksi hidup?
2. History is His story (Past, Present and Future)
Sejarah kita adalah cerita tentang Allah. History is His story. Ketika kita mengingat ke belakang, bagaimana Allah memulai penginjilan bagi orang Karo, seharusnya semangat kita “terbakar” untuk terus melakukan tanggung jawab gerejawi secara pribadi. Kalau pada abad ke-19, ada orang-orang (dan itu bukan orang Karo) yang rela mati demi Injil disampaikan kepada orang Karo, bukankah kita yang mengaku berdarah Karo harusnya lebih punya kerinduan yang jauh lebih dalam agar semakin banyak orang Karo mengenal dan memper-Tuhan-kan Kristus dalam hidupnya? Para penginjil di Tanah Karo, rela meninggalkan segala sesuatunya dan melakukan segala usaha agar Injil semakin diberitakan. Mereka belajar bahasa dan adat Karo, menjadi tenaga pendidik, mendirikan rumah-rumah sekolah, tenaga kesehatan, memberikan pelayanan kesehatan/ medis, mendirikan poliklinik, setelah adanya gereja, mereka menerjemahkan lagu-lagu rohani dalam bahasa Karo agar orang Karo bisa memuji Tuhan, perbaikan perekonomian dengan pengadaan sarana pertanian, pembangunan irigasi dan jalan, dan membina pemuda sebagai generasi penerus gereja.
Bagaimana dengan kita warga GBKP? Semangat dan pembelajaran yang lalu (past), harusnya membuat kita melakukan yang terbaik saat ini (present), untuk menghasilkan masa depan (future) yang jauh lebih baik. Moderamen membentuk badan-badan pelayanan untuk efektifitas kinerja. Ada Biro Theologia dan Litbang, Biro Sekretariat dan Administrasi, Biro Humas dan Informasi, Biro Hukum dan Harta Benda, Biro Penggalian, Pelestarian dan Pengembangan Budaya (BPPPB), Biro Pengembangan Ibadah dan Musik Gereja (BPIMG), Biro Oikumene, Komisi HIV-AIDS dan Napza, Pembinaan Warga Gereja (PWG), Penginjilan ke dalam (evangelisasi), Penginjilan Keluar, yang secara job description sudah cukup baik (walau perlu dipertajam agar lebih aplikatif), namun dalam pelaksanaannya masih sangat perlu ditingkatkan. Dengan mengingat “kasih mula-mula” itu, mari saat ini kita “membangunkan” badan-badan pelayanan GBKP yang saat ini (khususnya pada tingkat runggun) masih banyak yang “tertidur”. Dalam Kis 2:41-47, sungguh indah kehidupan jemaat (gereja) mula-mula yang saling peduli, mau tahu dan memberikan kontribusi nyata: “…Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan…mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa…tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama,…dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”
Bukankah kerinduan kita semua, GBKP memiliki persekutuan yang erat dan hangat (koinonia), persekutuan itu menjadi kesaksian hidup dalam penyebaran Injil, pemberitaan Firman Tuhan dan pelayanan mimbar yang kuat (marturia), dan pelayanan yang menghadirkan Kristus di tengah-tengah keberadaan kita (diakonia)?
3. Man oriented
Menurut data statistik 2006 , anggota GBKP sebanyak 72.696 kepala keluarga, dengan jumlah jiwa 277.693 orang. Pertambahan anggota rata-rata setahun sebanyak 2.373 orang/tahun, dan faktor yang utama dalam penambahan jemaat GBKP adalah kelahiran anak di tengah keluarga jemaat yang otomatis menjadi anggota GBKP. Hanya itulah yang memberikan kontribusi dalam pertambahan jemaat ini. Kalau demikian, bagaimana program pembinaan jemaat dan penginjilan selama ini untuk “menjala manusia” menjadi murid Kristus? Sepertinya kita harus jujur, bahwa hal itu masih “berjalan di tempat”. Angka-angka di atas itu bukan hanya sekedar data statistik! Itu orang, itu jiwa yang harus “digembalakan”. Sudahkah kita merenungkan hal itu? Dalam Mat 9:35-38 “…melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus dengan belas kasihan”. Apakah murid-murid Yesus tidak melihat “orang banyak itu” sehingga tidak berespon? Sepertinya tidak mungkin. Namun yang membedakannya adalah cara pandang (kedalaman visi). Ketika Yesus melihat, Ia “terbeban” bahwa orang banyak itu butuh digembalakan, sekalipun tuaian banyak, pekerja sedikit. Berdasarkan data 2008, jumlah daerah pelayanan GBKP adalah 434 runggun yang dilayani oleh 200 Pendeta; 42 Vikaris dan 10 calon Vikaris, jadi totalnya 252. Sebenarnya kalau diteliti lebih jauh berdasarkan bajem, jumlah jemaat tiap runggun yang tidak merata dan sebagian ada yang lebih dari 400 kepala keluarga, dan Pendeta yang tidak membawahi runggun, dibutuhkan sekitar 500 pendeta lagi agar pelayanan ini efektif. Namun dengan jumlah yang masih kurang ini (dan berdoa Tuhan akan terus tambahkan), kita yakin bahwa kuasa Tuhan tidak akan terkendala. Little is much when God is in it. Lebih dari itu, setiap orang percaya harusnya bertanggung jawab terhadap sesamanya yang belum mengenal Kristus. Jumlah orang Karo yang terus bertambah mau dibawa ke mana? Bukankah tanggung jawab kita-GBKP untuk membawanya dan terus mengenalkannya kepada Kristus? Apalagi “kita” yang sudah menikmati banyak pembinaan dan mengenal Kristus melalui GBKP, sebenarnya adalah orang-orang yang “berhutang” kepada orang-orang Karo yang belum menikmati hal yang sama. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam Roma 1:14-15, “kita” adalah orang-orang yang berhutang, “hutang Injil” kepada orang-orang yang belum menikmati Injil.
Terkhusus bagi para presbyter (Pendeta, Pertua, Diaken) sebagai gembala jemaat, yang diberikan mandat oleh Kristus untuk “menjaga kawanan domba-Nya”, dalam menetapkan berbagai kebijakan, sudahkah pertumbuhan jemaat menjadi prioritas utama? Pelayanan ini ada karena “orang”, bukan program. Seringkali orang bekerja karena program, sehingga kehilangan visinya. Ketika ditanya kenapa melakukan ini-itu? Jawabnya adalah karena sudah program. Tidak tahu lagi, apa dan kenapa program itu ada, dan diapun tidak mengerti untuk apa, sehingga hanya menjadi sekedar pelaksana program. Dan itu bukanlah pelayan! Seorang pelayan harusnya tahu what, why, who, where, when dan how, atas pelayanannya. Program itu ada karena visi, jangan dibalik! Visi-lah yang harusnya menggerakkan semua pelayanan. Dan fokus dari visi adalah “orang”-nya bukan programnya. Visi lahir dengan melihat kondisi jemaat dan melakukan apa yang Tuhan suruh. See to the world, and listen to His word, that’s vision! Jadi seharusnya semua program pelayanan, berangkat dari dan menuju ke visi, yang fokusnya adalah pertumbuhan jemaat. Makanya, seharusnya pelayanan yang dilakukan adalah pelayanan yang “man oriented” dan bukan “program oriented”. Berfokus pada orang yang dilayani.
Visi GBKP dipertahankan moderamen selama 2 periode (2000-2010): “Hidup Setia kepada Tuhan”. Visi yang tidak diperjuangkan hanyalah menjadi sebuah mimpi. Bagaimana visi ini bisa menjadi perjuangan bersama? Jadikan visi itu sebagai visi pribadi dulu, dan tularkan ke pribadi yang lain, kemudian menjadi visi sektor. Semua sektor memiliki visi yang sama, jadilah visi runggun, visi klasis, dan seluruh jemaat GBKP.
Saya tidak tahu seberapa jauh evaluasi pelayanan dan feedback yang dilakukan baik di tingkat runggun, klasis ataupun moderamen. Apakah hanya sekedar “program ini terlaksana atau tidak”, atau lebih dalam lagi: bagaimana kualitas manusia melalui program yang dilakukan? Kalau evaluasi selama ini masih sekedar “terlaksana atau tidak terlaksana”, saatnya untuk berubah, berpikir lebih keras lagi: melalui pelayanan ini, bagaimana perubahan nilai hidup jemaat kepada Kristus? Itulah tugas gembala.
Regenerasi (sebagian) Pertua/ Diaken dan kepengurusan yang terjadi, sebenarnya adalah sebuah harapan, dan sidang sinode 2010 adalah kesempatan (kairos) yang sangat strategis untuk menetapkan hal-hal yang fundamental, program dan kebijakan yang “man oriented”, berfokus kepada “orang”, bukan digerakkan program, serta pengawasan dan pendampingan yang tak henti-hentinya dari tingkat moderamen ke klasis dan ke runggun, hingga tiap jemaat merasakan buah pelayanan dan pembinaan yang berdampak pada kualitas, kuantitas dan kontinuitas pelayanan.
4. Penutup
Berefleksi dari Matius 25, bagi Pendeta, Pertua, Diaken, dan Pengurus Kategorial: pertanggungjawaban sesungguhnya pelayanan ini adalah kepada Allah, yang empunya pelayanan. Ketika Dia bertanya: Apa yang sudah kita lakukan atas kepercayaan yang diberikan-Nya, apa jawab kita? Dan kira-kira apa respon Tuhan: hamba-Ku yang baik dan setia (ay.21,23); atau hamba yang malas dan jahat (ay.26-30)?. Dan kepada anggota jemaat: sudahkah yang terbaik kita berikan kepada Tuhan? Seberapa besar kita mengambil bagian bagi pertumbuhan gereja-Nya? Sewaktu digembalakan, kita menjadi domba yang setia (ay.32-33)?
Biarlah kerinduan hati Tuhan menjadi kerinduan hati kita: jemaat GBKP yang melekat kepada Tuhan, mencintai Tuhan lebih dari apapun dan membenci dosa lebih dari apapun; jemaat GBKP yang berperan, mampu menunjukkan “garam”-nya dan “terang”-nya, bukan hanya di keluarga dan gereja, tapi menembus masyarakat dan bangsa ini. Banyak orang pesimis, sepertinya tidak mungkin? Bukankah bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin (Luk 1:37; 18:27)? Ternyata bagi orang percaya juga (Mrk 9:23). Maka itu percayalah, kepada Allah! Semua ambil bagian, lanjutkan perjuangan ini, melakukan yang (paling maksimal) bisa kita lakukan. Mungkin saja bukan bagian kita melihat hasilnya kelak, yang penting, kerjakanlah tanggung jawab kita sebagai pengikut Kristus sepenuhnya, dan Allah akan bekerja dengan cara dan waktu-Nya. Selamat berjuang. Berjuang untuk setia. Setia kepada Allah yang setia. Saat ini adalah saat yang baik untuk menoleh ke balakang, kasih setia Tuhan yang menyertai hingga saat ini, menatap ke depan, di sana pun kasih setia dari Allah yang sama tetap menanti, dan menengadah ke atas, berdoa mengucap syukur, dan berseru seperti ungkapan hati pemazmur di Mazmur 36:8-11, “Lanjutkanlah kasih setia-Mu (ya Allah) …”. Soli Deo gloria.
Antara Medan, Jakarta dan Manokwari
14 tahun yang lalu