Kawas Rolant Tarigan

-now or never-

Anakku, nanti saatnya kau akan tahu, 23.03.13 adalah angka yang istimewa. Itu tanggal pernikahan papa mama, 23 Maret 2013. Artinya hari ini adalah hari perayaan cinta, peringatan akan kasih setia Tuhan yang memelihara keluarga kita, di usia yang masih sangat hijau, 1 tahun, dan kebanggaannya adalah suka duka yang telah dilewati bersama-sama.

Anakku, maafkan papa, yang terlalu dini mengajakmu bercerita kisah ini. Di perayaan 1 tahun pernikahan papa mama, kau adalah pemberian terindah dari Tuhan di momen ini, dan semenjak kehadiranmu, rasanya tidak mungkin bagi papa mama bercerita tentang cinta tanpa mengajakmu untuk turut serta. Kau adalah buah cinta kami. Karena itu, sekali lagi, maafkan papa, yang tak bisa membendung rasa ingin bercerita denganmu, walau masih 4,5 bulan dalam kandungan mama. Sudah setengah perjalanan, sayang. Sebentar lagi kau akan melihat dunia ini. Bahkan entah berapa lama lagi, kau baru bisa membaca tulisan-tulisan papa. Tapi tenanglah sayang, sekarang papa akan membacakannya dengan sempurna, membisikkannya kepadamu, sambil membantu mama mengelus perutnya sebagai cara membelaimu, nak. Mungkin di dalam sana kau akan tersenyum, atau bergejolak, mendengar kisah cinta papa dan mamamu ini. Kami sungguh takjub dan penasaran, apa yang kau rasakan di dalam sana. Apakah kau juga menyahut, beresponsoria waktu papa membacakan Mazmur 139 di perut mama? Papa baca ayat ganjil, kau baca ayat genap? Hahaha... “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!”. Papa mama selalu takjub setiap kali kau di-USG. Papa bahkan harus menahan haru tiap melihat pergerakanmu. Bu dokter pernah bertanya: “ih lihat pak, bu, dia lagi lipat tangan”. Waktu itu papa pengen bilang: “lagi berdoa kali, dok”. Habis itu kau bergerak riang seperti sedang bertepuk tangan.


Anakku, tidak ada maksud lain kalau cerita kali ini berbentuk monolog papa denganmu, selain alasan sukacita. Ini yang terbaik buat kami. Demikian tulis C.S. Lewis, Pujian merupakan bentuk cinta yang mengandung unsur sukacita di dalamnya. Pujian yang benar; tentang Dia sebagai Sang Pemberi, dan engkau sebagai pemberian-Nya. Sungguh, bukan ingin pamer apalagi sombong. Nanti kau akan tahu, bahwa papa dan mama juga sempat resah menanti kehadiranmu. Sejak menikah bulan Maret, papa mama berdoa, dan sepakat menunda sejenak untuk mempunyai momongan. Memang, ada yang mendukung, dan ada yang tidak setuju. Tapi kami punya pertimbangan. Papa dan mama tinggal dan kerja di kota yang berbeda, kami ingin belajar menjalani kehidupan awal suami istri dengan situasi ini. Papa mama juga ingin menikmati indahnya awal pernikahan, keintiman berdua yang indah dan membangun, yang berbeda dengan fase pacaran sebelumnya. Papa mama ingin menikmati waktu-waktu berkualitas bersama -yang tak banyak, menikmati pekerjaan sebagai seorang suami dan istri, mengerjakan pelayanan masing-masing dan bersama, yang mungkin bakal berbeda jika sudah memiliki anak. Tapi memang waktunya tidak lama, hanya 6 bulan dalam perencanaan kami. Bulan September, sesuai rencana, papa mama sudah sangat ingin memilik anak, apalagi banyak orang rasa-rasanya mulai bertanya-tanya, kapan kami akan memiliki anak, entah yang diomongkan langsung, ataupun hanya berupa tatapan mata tapi niatnya bertanya. Namun mama belum juga hamil. September, Oktober, November, masih negatif. Kami mulai gelisah. Apa yang salah, apa mungkin karena kecapekan, apa karena papa mama jauh. Dalam penantian ini, 3 bulan rasanya 3 tahun. Dan saat itulah kami sadar bahwa iman kami masih sangat rapuh. Lemah. Seakan-akan papa ingin mengajak Tuhan duduk berdua, berdiskusi, tapi papa yang harus menguasai pembicaraan. “Kalau rencana-Mu pasti baik, apa baiknya menunggu dan tidak segera memberikan kami anak? Atau kurang baik apanya kalau kami memiliki anak, sehingga Kau belum mengabulkannya?”; “kami sudah Kau persatukan dalam pernikahan, kenapa masih Kau pisahkan sehingga kami hanya bisa ketemu seminggu sekali? Keluarga macam apa ini?”; “katanya berdoa, biar dikabulkan. Kami berdoa biar memiliki anak sesuai rencana, enggak terkabul; kami (hampir bosan) berdoa biar disatukan dalam satu kota, enggak terkabul juga, dari sejak pacaran sudah jarak jauh”. Begitulah yang pernah papa gumamkan. Sampai suatu kali dalam percakapan sebelum tidur, setelah berdoa dengan pokok doa yang masih sama, mama menatap papa dan berkata: “kak, kita baru disuruh menunggu 3 bulanan, udah cepat kali komplain sama Tuhan, gimana mereka yang sudah menunggu bertahun-tahun ya? Pasti iman mereka lebih diuji. Kita sabar ya kak”. Memang waktu ini terasa lebih lama kalau orang menghitung sejak tanggal kami menikah, sudah 9 bulan, dan belum hamil. Tapi terbuktilah kalau Tuhan tidak diam. Waktu-Nya ternyata di minggu kedua bulan Desember. Di jumat malam, ketika perjalanan pulang, sudah lewat jam 9 malam, papa sudah di simpang rumah, mama nelepon, "kak, singgahkan beli test-pack dong”. Papa kaget, bertanya-tanya, tapi sukacita juga. Kok tiba-tiba? Papa singgah di minimarket dekat apartemen. Karena agak malu kalau cuma beli test-pack doang, papa sekalian beli kanebo (kain lap mobil), hehehe. Nyetir mobil dari situ ke apartemen yang tinggal beberapa meter rasanya sukacita, padahal belum tentu juga nanti hasilnya positif. Tapi memang sedikit berbeda, seingat papa, mama masih punya test pack, dan sejak hasilnya beberapa kali negatif, mama gak pernah lagi cerita secara khusus tentang itu. Sampai di rumah, papa lihat mama yang kelelahan, karena hari itu juga mama baru pulang dinas dari Kalimantan. Dia sajikan nasi padang yang dibungkusnya untuk makan malam papa, sambil ngobrol. Papa agak takut nanyain tentang test pack, jadi pakai pengantar dulu: "gimana sepulang dari Balikpapan?" Tapi mama langsung cerita, bahwa kemarin dia pakai test pack yang tersisa dan hasilnya positif, makanya nyuruh papa beli test pack yang baru, yang merknya lain. Besok pagi mau dites lagi. Dan... bener, paginya hasilnya positif lagi, walau garisnya agak kabur. Papa gendong mama, terus dia bilang: hati-hati..., dan dia bilang: “jangan terlalu yakin dulu, ayo cek dokter, lagian aku udah perjalanan jauh via pesawat, sempat minum kopi di sana (oh iya, mamamu penikmat kopi), badan capek, bahkan natalan sampai tahun baru ini kita mau pulang kampung lagi naik pesawat. Kita cek dululah, takutnya kenapa-kenapa”. Dan semua baik, Tuhan sertai. Sampailah saat ini, kau terus berkembang, nak. Mamamu sudah mulai terkaget-kaget merasakan gerakan-gerakanmu di dalam perutnya. Makanya papa mohon ijin untuk kali ini aja, boleh mengajakmu sejenak bercerita. Papa janji nanti gak akan terlalu sering meng-upload fotomu di media sosial, sesekali boleh ya, itupun untuk momen spesial, gak tiap hari, gak asal upload, lagi makan, lagi tidur, lagi ngompol. Jangan sampai tiap orang buka home facebook-nya ada fotomu. Papa sangat tahu, itu mengganggu bagi banyak orang, dan sensitif bagi beberapa orang. Papa pernah berada di posisi itu. Papa juga gak akan update status setiap saat, setiap hari, tentangmu: jagoan kecilku sudah bobo, lucunya anakku waktu nangis, anak papa mulai tengkurap, dlsb. Sepertinya mamamu juga setuju untuk itu. Yang biasa ajalah. Masa anak bayi udah bisa comment di facebook: terima kasih tante, kecup basah untuk om dan tante, dll. Jangan gitu ya nak. Kau harus lebih bijaksana. Papa dan mama juga gak akan membuat fotomu, full, di profile picture atau display picture di media sosial atau contact BB dan whatsapp, kecuali di foto itu ada papa dan/atau mama. Soalnya kasihan orang yang baru papa/mama hubungin, bingung ini siapa yang hubungin, lihat fotonya kok foto bayi, ini nomor siapa? Papa juga sering mengalaminya. Kasihan kan kalau pengurus kampus atau komisi gereja menghubungi papa jadi pembicara, kok gambarnya anak bayi?

Anakku, Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Kadang Ia terasa bertindak sangat lambat, kadang terasa sangat cepat, tapi yang pasti: Ia selalu tepat waktu. Sama seperti kehadiranmu, semakin menghiasi bulan Natal waktu itu, menghantarkan kami semakin berpengharapan memasuki 2014, dan perkiraan bulan kelahiranmu tahun ini juga sama seperti papa: Agustus, sama kayak opung boru Binjai juga, hehehe... Dari pengalaman ini, papa semakin mengerti dan mengalami apa artinya ber-iman, bukan berarti tanpa rencana, tetapi meletakkan semuanya di bawah kehendak Allah. Agak aneh juga kalau mendengar pasangan baru suami istri waktu ditanya “kapan punya anak”, jawabnya “kapan dikasinya aja”. Menurut papa, kemungkinannya dua: pertama, si pasangan ini pengen segera punya anak sebenarnya, tapi malu-malu, atau lebih rohani: tak berani melangkahi Tuhan katanya. Kedua, pasangan ini tak punya rencana apa-apa, jadi terserah. Menurut papa, jawaban terbaik, jujur saja. Awali dengan kata-kata: rencana kami... atau: pengennya sih... kalau boleh meminta..., dan akhiri dengan kata-kata: semua kami serahkan kepada Tuhan, Dia tahu yang terbaik, atau seperti akhir doa Tuhan Yesus: Jadilah kehendak-Mu. Thy will be done. Dulu, waktu papa ditanya kapan punya anak, papa jawab: “rencana kami sih mau nunda sebentar dulu, karena kondisinya ini dan itu”. Responnya sering juga begini: “jangan nunda2 lho, nanti sewaktu tiba pengen punya, eh dikasinya lama”. Papa jawab: “berarti belum waktu-Nya” (sambil berpikir apa rumusan Tuhan sekejam itu? Rasanya tidak).

Anakku, setahun perjalanan kisah cinta ini membuat memori papa kembali ke masa-masa indah dulu. Tahun ini juga (23 Juni), menuju 10 tahun papa mama berpacaran, sudah satu dasawarsa kami saling mengenal, satu dekade penuh cerita. Waktu SMA, mama bukanlah wanita tercantik, itulah yang sempat membuat papa malah lebih tertarik dengan gadis lain. Tapi mama waktu itu orangnya penuh rahasia, bikin papa penasaran, dan makin papa ajak ngobrol, makin papa sadar bahwa papa telah mencintainya. Papa masih ingat jelas, di malam perpisahan kelas 3 SMA, sewaktu papa dan band tampil menyanyikan lagu Bon Jovi “Never Say Goodbye”, papa lepaskan gitar, turun panggung, dan kasi boneka kecil ke mama, papa usap-usap kepalanya, terus naik ke panggung lagi. Dia malu, papa disorakin, karena memang saat itu kami belum jadian. Hehe... setelah jadian, papa ke Jogja, mama tetap di Sibolga. Pacaran jarak jauh, akhirnya kuliah bareng, setelah kerja, pacaran jarak jauh (lagi), setelah menikah, jarak jauh (lagi). Tapi bukankah mama begitu istimewa sehingga papa bisa merasakan cintanya meskipun jauh darinya? Papa ingat suatu kali harus menahan kesedihan di supermarket, di bagian roti, mama bertanya: “besok pagi, sarapan kakak di jalan apa ya?”. Papa terdiam, seperti tim yang sedang kalah dalam pertandingan, dan melihat wasit sebentar lagi akan meniup pluit terakhir. “Ah, kebersamaan ini segera berakhir; andai saja ada perpanjangan waktu”. Jam seakan berhenti, doa singkat terucap dalam hati: “Tuhan, kalau boleh, janganlah kami terpisah jauh lagi”. Kesederhanaannya dan ketulusannya tidak pernah berubah sampai sekarang. Kecantikannya makin bersinar, dan kehangatan kasihnya masih menyejukkan. Papa masih saja jatuh cinta kepadanya, dan bangun cinta bersamanya. Indahnya Bali sewaktu bulan madu waktu itu takkan ada artinya tanpa mama. Ya betul. Apalah artinya Bali kalau papa hanya sendirian ke sana. Yang membuat Bali tahun lalu begitu indah, adalah mama.

Di awal-awal tahun lalu seperti ini, kami lagi sibuk-sibuknya mempersiapkan pernikahan. Persiapan di Binjai kami pantau dari Jakarta, sambil mengerjakan apa yang bisa dikerjakan di Jakarta. Papa masih ingat menemani mama mencari bahan kebaya, dan mengantarnya setiap kali fitting baju. Semua kami lakukan bersama, memesan cincin nikah, nama kami terukir di dalamnya, memesan souvenir, foto prewed (gratisan sama Om Ido), mencetak undangan (yang desain tante Vera, gratis juga). Banyak sekali orang-orang yang dengan sukarela membantu papa mama, sampai akhirnya kami pulang dua minggu sebelum hari H, untuk persiapan akhir segala sesuatunya, martumpol tanggal 16, persiapan gereja, dan hari H. 23.03.13, pasti banyak cerita. Sewaktu pengucapan janji pernikahan, papa dengan lancar mengucapkannya, menggenggam tangan mama, menatap matanya... tapi, ternyata papa gak kuat menahan air mata saat mendekati kalimat terakhir “sampai Allah memisahkan kita melalui kematian”. Papa nangis. Ternyata ini ngefek ke mama. Dari awal mengucapkan janji pernikahan, mama udah nangis, terbata-bata sampai akhir. Papa curi-curi waktu ngusap air mata pakai saputangan. Setelah berbalik ke jemaat, eh ternyata banyak juga yang ikutan nangis. Gak tau pastinya kenapa. Tapi semoga momen sakral itu dipakai Tuhan juga untuk mengingatkan jemaat akan detik-detik kudus pernikahan mereka masing-masing, betapa bermaknanya janji pernikahan itu, kata per kata, berapapun usia pernikahan mereka, senang susah, sehat sakit, suka duka, setialah, berjuanglah, sampai akhirnya Tuhan sendiri yang memisahkannya hanya melalui kematian. Sewaktu teringat momen ini, lucu juga, karena sehari sebelumnya, waktu persiapan/ gladi bersama orang tua dan penatua, papa mama terus tertawa terbahak-bahak setiap ngucapin janji pernikahan, gak bisa selesai karena ketawa, diulang lagi dan lagi. Padahal sebelumnya udah hapal, udah latihan sendiri-sendiri juga. Gak tahu hari ini karena grogi atau apa, setiap ngucapin janji itu kami ketawa terus... eh besoknya ternyata nangis.
(Momen ini kami rekonstruksi lagi tahun ini). Selesai pemberkatan, lanjut pesta adat. Mama ganti gaun putihnya jadi songket. Secara terpisah, kami dihias jadi pengantin karo. Setelah selesai, papa lihat mama berpakaian karo, cantik sekali. Seperti dari khayangan, wajahnya bercahaya, dengan tudung karo, uis, dan kuningan2nya. Kau pasti setuju sama papa kalau lihat fotonya. Belum lagi kalau lihat rekaman video saat papa mama adu nari (landek), dan nyanyi karo. Hampir sempurna. Padahal hanya latihan satu kali, papa ajarin, mama langsung bisa, dan lagu dihapalin. Semua orang kagum, seakan melihat putri karo asli, bukan gadis batak toba yang besar di simalungun. Jadi pantaslah mama menyandang banyak marga sekarang: Tarigan, Sidabutar, Lumban Gaol, Sebayang. Besoknya resepsi juga seru. Papa mama berduet, langsung 2 lagu: Karena Cinta, dan Semua Baik. Kawan2 alumni PMK STAN memberikan kesaksian pujian: Bersama Keluargaku. Mereka banyak datang dari jauh lho. Ada juga kawan kantor papa dari Subang, dan kawan kantor mama dari Jakarta. Lihatlah foto-foto yang menceritakan 1000 kisah itu. Semua tamu-tamu yang datang, suatu saat nanti harus kau ucapkan terima kasih. Kado-kado juga banyak, mulai dari seperangkat alat tidur (sprei, sarung bantal, bed cover, selimut), handuk, bakal kain, alat pecah belah, alat masak, magic com, dan kado istimewa dari KTB: kulkas :) Tuhan sungguh baik. Sebelum pernikahan, papa mama masih kekurangan dana, karena memang kami berusaha untuk menikah pakai uang sendiri, tidak merepotkan orang tua lagi. Tapi akhirnya Tuhan cukupkan semuanya. Seakan-akan papa mama mengalami mujizat seperti Penikahan di Kana. Sesampainya di Jakarta, teman-teman Perkantas (Kak Pur, Kak Lina) dan panitia RK XI, mengadakan syukuran buat pernikahan papa mama. Lihatlah nak, kita dikelilingi orang-orang yang sangat baik. 

Mulai hari itu, petualangan keluarga baru dimulai. Banyak masalah, tapi selalu ada penyertaan. Intimidasi berbanding lurus dengan providensi. Tuhan selalu punya cara. Bukankah ini memang sudah dibuktikan-Nya di waktu-waktu sebelumnya? Setahun ini rasanya berjalan cepat, dan penuh dengan kejutan-kejutan. Sewaktu bingung mau tinggal di mana, tidak mungkin beli rumah karena harga rumah di Jakarta begitu tinggi, Tuhan menolong lewat Pak Uda danTante Arthur, yang menyediakan apartemennya untuk ditinggali dengan cuma-cuma. Papa masih di Subang, mama di Jakarta. Papa pulang setiap Jumat malam, dan balik ke Subang hari Senin subuh. Agak susah karena papa harus nebeng sama teman kantor yang bawa mobil dari Jakarta, kadang mereka ada tugas di hari senin atau jumat, papa susah kendaraannya. Akhirnya karena jadwal tidak fleksibel, dan ketidakjelasan kapan papa pindah ke Jakarta, ditambah rumah yang belum terbeli dan masih bisa tinggal di apartemen, kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah kendaraan, agar papa bisa lebih gampang pulang pergi, kami kredit-lah mobil di bulan Desember. Tak lama setelah itu, datanglah kabar kehamilan mama. Di tahun yang baru, mama tanya, “sampai kapan kita gak punya rumah, kak? Gak terasa bentar lagi kita udah punya anak”. Papa jawab santai, “sampai nanti Tuhan sediakan”. Saat itu sebenarnya ada Bang Reza dan Kak Ido yang Tuhan pakai untuk menolong kami, dengan menyediakan rumahnya di Kalimalang untuk kami tempati secara cuma-cuma, karena mereka pindah ke Manado. Tapi pembicaraan papa mama berlanjut lebih serius, mulai dari masih pisah kota, sampai lonjakan harga rumah. Memang dari pengalaman sudah 2 tahun mencari rumah, harganya makin tak terjangkau. Makin ditunda, makin tak terbeli. Setiap tahun, harga rumah di Jabodetabek rata-rata naik 100 juta. Padahal gaji kami cuma naik 100 ribu. Setelah anak, kami selalu mendoakan ini: hidup satu kota, ada rumah. Seakan jawaban doa, nantulang Nona ngasi kabar ada rumah dijual murah di Bekasi, di bawah harga rata-rata, yang punya pensiunan mau pulang kampung. Kami mau beli, tapi uang sudah tidak ada lagi. Tapi mengingat semua kondisi di atas, akhir Februari kami beranikan untuk minjam/ ngutang demi rumah ini. Akhirnya jadi. Kami makin yakin kalau ini pimpinan Tuhan, karena sewaktu pagi tanggal 1 Maret, keluar pengumuman papa lulus seleksi ke Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan. Artinya papa pindah ke Jakarta, ke Kantor Pusat. Mungkin bagi orang lain ini adalah hal yang biasa, seperti mutasi pegawai yang lainnya. Tapi bagi kami pegawai yang terpisah dari keluarganya, ini adalah anugerah. Kami bisa berkumpul, melihat pertumbuhan anak kami. Papa mama senang sekali pagi itu. Mama memeluk dan mencium papa. Terima kasih Tuhan. Bulan Juni nanti, papa ke Jakarta, ibukota yang keras ini. Kita bisa tinggal satu rumah, papa bisa antar jemput mama, kita bisa berjemaat tetap dan pelayanan di satu gereja. Kata orang itu rezeki bayi. Kejutan-kejutan susulan sejak kehamilan. Makanya setiap doa dan syukur, seringkali kami lakukan sambil mengusap-usap perut mama.

Tapi masalah tidak berhenti sampai di situ. Pergumulan ke depan masih sangat panjang. Banyak pertanyaan belum terjawab: siapa nanti yang menjagamu kalau papa mama kerja? Bagaimana kebutuhan hidup kita dicukupi sambil nyicil hutang dan tetap berdonasi? Bagaimana pertumbuhanmu nanti? Saat orang lain bicara mana susu yang terbaik, menghabiskan sekian duit untuk susu, papa percaya pada susu buatan Tuhan sendiri: ASI. Bagaimana pendidikanmu kelak? Saat orang lain sibuk bercerita tentang pendidikan anak usia dini, sekolah internasional, tes masuk yang wahid, les ini itu, uang pangkal dan iuran yang fantastis, papa percaya bahwa didikan orang tua yang takut akan Tuhan adalah kunci semuanya. Sekolah bagus dan mahal tidak menjamin seorang anak menjadi pintar, sopan, santun, sukses. Papa mamamu yang berkualitas ini bukan hasil produk sekolah mahal, malah gratisan. Begitu juga dengan abang dan kakaknya papa mama, kami dididik oleh orang tua yang hebat. Papamu yang musisi ini tidak pernah les musik, tapi malah jadi trainer gitaris. Papa mama tidak pernah les privat, tetapi sewaktu kuliah harus ngajar les privat untuk kebutuhan uang bulanan dan pelayanan. Jadi tenanglah, Tuhan telah, sedang dan akan terus pelihara kita. Mari jalani hari demi hari sambil menyaksikan bagaimana Tuhan menjawab satu demi satu semua pertanyaan tadi. Termasuk, apakah nanti mama tetap bekerja atau harus resign menjadi ibu rumah tangga fulltimer seperti yang sudah dilakukan beberapa orang? Kau tahu mama orangnya sangat bertanggung jawab sama kerjaan. Papa salut dengan wanita yang tetap bekerja dan tetap menjadi ibu yang baik, seperti opungmu. Juga salut dengan wanita yang berani resign demi keluarga dan anak-anak, atau berhenti bekerja dari kantor dan memulai bisnis rumahan. Asal jangan ketidakjelasan di antara keduanya: pengen tetap bekerja, pengen gajinya tetap gede, tapi tidak produktif lagi karena kerja setengah hati, atau nyambi kerja sampingan bisnis online/ MLM untuk ban serep. Papa dan mama akan berusaha selalu bertanggung jawab penuh, jujur, mencari berkat, dan menjadi berkat.

Anakku, kau terus bertumbuh di dalam sana. Sejak di kandungan saja, kau sudah menemani papa ke mana-mana. Kau tahu, mama setia sekali mendampingi papa pelayanan. Karena pertemuan kami cuma weekend, dan di situ papa pelayanan, mama setia ikut. Lihatlah berapa jauh sudah jarak yang kau tempuh sejak dalam kandungan, 3 pulau. Berapa kampus dan gereja yang kau datangi karena nemenin papa pelayanan? Berapa kali ikut KTB? Berapa lagu yang kau dengar sewaktu papa sebagai pemimpin pujian? Berapa khotbah sewaktu papa pembicara? Bahkan kau sudah ikut Retreat Koordinator XIII, pertemuan para pemimpin kampus Jakarta dan regional? Membahas eksposisi kitab Hakim-Hakim? Kalau bayi lain disarankan mendengar lagu-lagu klasik, kau sudah berkali-kali berada di tengah ratusan orang yang gegap gempita menyanyikan lagu-lagu hymnal. Ini gak akan ada di forum bunda atau majalah ayahbunda. Di mobil dengerin lagu Our Daily Bread, KJ, NKB. Sebelum saat teduh di sabtu minggu, papa mama menyanyikan lagu-lagu Buku Lagu Perkantas buatmu. Pantaslah mamamu juga semakin cantik. Tiap pagi, sebelum bangkit dari tempat tidur, ketika papa ada, mama selalu minta dibuatin teh manis panas, jangan terlalu manis. Kadang mama minta dipijitin pinggulnya. Benarlah paradoks papa ini: fisik melemah, cinta menguat. Sewaktu mengusap-usap kepala papa lagi tiduran, mama bilang uban papa makin banyak. Papa bilang “iyalah, kita makin tua, bentar lagi kita juga jadi orang tua”. Lalu mama mengacak rambut papa atau kadang mencabutkan uban yang terlihat, tujuannya sama: biar ubannya jangan kelihatan, biar tetap muda. Tapi waktu akan terus berjalan, anakku. Rambut yang hitam akan memutih, raga yang kuat akan merapuh, tetapi kisah kasih kita bersama Tuhan tak akan terhenti, sampai jiwa kita berlabuh. Tuhan yang pegang kini dan nanti. Seperti sepotong syair lagu: “Banyak hal tak kupahami akan masa menjelang, tapi terang bagiku ini: tangan Tuhan yang pegang”. Suatu saat nanti, ketika kau menemukan tulisan ini, ingatlah Papa sangat mengasihimu. Peluk cium untuk mama, wanita hebat yang juga sangat-sangat mencintaimu.




Read More..

Regards,

Kawas Rolant Tarigan




Yang rajin baca:

Posting Terbaru

Komentar Terbaru

Join Now

-KFC- Kawas Friends Club on
Click on Photo