Kawas Rolant Tarigan

-now or never-


Ada hal-hal yang di luar kemampuan manusia. Hal itu makin memperjelas bahwa manusia terbatas, dan tidak ada alasan untuk sombong apalagi memegahkan diri akan kehebatan. Ada hal yang tidak bisa dikendalikan, dirancangkan manusia. Siapa yang bisa menahan hal-hal berikut: suatu kali sewaktu makan siang, aku menyaksikan langsung sebuah pohon besar tumbang dan menimpa 2 warung serta 1 sepeda motor baru –yang sudah tentu belum lunas kreditnya (Karawang). Orang yang sedang menikmati istirahat, eh... tewas ditimpa bangunan rumah karena gempa hebat (Jogja) atau tsunami (Aceh). Orang sedang tidur, eh rumahnya hancur lebur dihantam meteor (kejadian di Jakarta Timur). Pesawat bisa jatuh hanya karena kabel kecil yang korslet, kapal besar bisa tenggelam hanya karena satu turbin tidak berputar. Sampai ada orang bilang: tidak ada lagi tempat yang aman di dunia ini: di jalan/ berkendara bisa kecelakaan, jalan kaki bisa ditabrak, di rumah bisa bahaya/ kebakaran/ bencana, dll. Semakin sadarlah manusia bahwa kita ini hanyalah debu.
Siapa sangka Jumat malam itu, ketika motorku berhenti di belakang taksi karena macet, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang dari belakang, dan sopirnya ngantuk, akhirnya menghantam 2 motor dan 1 taksi. Salah satunya adalah motorku, dan taksi itu adalah taksi yang di depanku. Semua berantakan. Aku dan boncenganku (Misni) terpental ke taksi dan ke aspal, luka lecet, memar, motorku masih terseret lagi beberapa puluh meter ke depan dan hancur. Kalau mau komplain, apa penyebab aku celaka? Dibilang pelan-pelan, kurang pelan apa lagi, aku dalam posisi berhenti. Mau dibilang kurang pinggir, aku sudah di pinggir, tepat di belakang taksi. Beberapa pelayanan pun batal karena kecelakaan itu. Entahlah... Memang di luar kekuasaanku. Atau sulit memang memahami ‘kemahakuasaan-Nya’ Allah, atau keadilan hukum. Orang yang sering kebut-kebutan, sepertinya lebih sering aman-aman saja, bahkan hampir tidak pernah kena tilang. Orang yang berhati-hati, pakai helm, mengalah/ sopan di jalan, malah sering ‘teraniaya’ di jalan, ditilang pula. Sehabis kecelakaan, sewaktu menuju unit kecelakaan lalu lintas, kami melihat lagi ada kecelakaan. Ternyata ibu-ibu yang jatuh dari sepeda motor, eh.. jatuhnya ke kolong container pula.. Patah kakinya. Supir containernya bilang; “mimpi apa aku semalam, bisa sesial ini? Gak ada salah apa-apa”. Kami ‘dipersatukan’ di laka lantas sampai jam 3 pagi. Yah,, itulah. Ketidak-hati-hatian orang pun bisa jadi celaka bagi kita. Atau memang kita makin disadarkan, banyal hal di luar kendali kita. Tapi kita imani, everything is under God’s control.

Ayub pernah mengalaminya. Sedang santai-santai di rumah, eh... hartanya semua habis, anak-anaknya meninggal. Belum cukup. Tubuh hancur melepuh karena kusta, istri dan teman meng-intimidasi. Entah apa pastinya yang dirasakan Ayub saat itu, karena memang rasanya dia tidak punya ‘andil kesalahan’ dalam ‘kesialan’ itu. Tapi dalam sujud menyembah, ia mampu berkata “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan!... Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (1:20-22; 2:10)
Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas. (23:10).

Biarlah dalam keadaan apapun, jangan sampai bibir kita berhenti mengucapkan “Tuhan itu baik”. Sekalipun dalam ke-tidak-mengerti-an, jangan ragukan kebaikan Allah. Kita terbatas, Dia Allah yang tidak terbatas. Jangan-jangan dalam keadaan yang sulit itu, sebenarnya diizinkan Tuhan terjadi sebagai "ujian naik kelas". Semua dalam kendali-Nya.

Read More..


"What's in a name? That which we call a rose by any other word would smell as sweet."
Begitu kata William Shakespeare dalam mahakarya-nya: Romeo & Juliet. Terjemahan bebasnya: “Apalah arti sebuah nama? Mawar, sekalipun kita ubah namanya, harumnya tetaplah sama manisnya.” Anda setuju? Kalau saya? Ya dan Tidak.

Sebentar saya tidak setuju dengan pernyataan itu. Nama tetaplah penting! Nama adalah doa dan harapan dari yang memberikannya. Begitulah nanti –orang yang namanya baru saja diberikan –dipanggil untuk seterusnya. Pasti orang tua kita dan ‘pihak-pihak yang terlibat’ dalam pembuatan nama kita, ingin memberikan yang terbaik.

Mari sejenak back to Bible. Tuhan tidak pernah sembarangan memberi nama. Setiap nama pasti ada maknanya. Tuhan bukan asal memberi nama kepada Adam (Kej5:2). Begitu juga Adam memberi nama Hawa (Kej3:20). Atau arti nama Nuh (Kej5:29) "Anak ini akan memberi kepada kita penghiburan dalam pekerjaan kita yang penuh susah payah di tanah yang telah terkutuk oleh TUHAN". Bukan sembarangan pula ketika Allah mengganti Abram dengan Abraham (Kej17:5) “Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham, karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa”. Kemudian ketika memberi nama Ishak, berkatalah Sara: "Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku" (21:6). Si kembar Esau dan Yakub: “Keluarlah yang pertama, warnanya merah, seluruh tubuhnya seperti jubah berbulu; sebab itu ia dinamai Esau. Sesudah itu keluarlah adiknya; tangannya memegang tumit Esau, sebab itu ia dinamai Yakub (25:25-26). Lalu ketika Yakub berganti nama menjadi Israel: “kata orang itu: "Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang" (32:28). Terus ke Musa: “sebab katanya: "Karena aku telah menariknya dari air." (Kel2:10).
Ah, banyak sekali. Setiap nama punya arti sendiri. Tak akan cukup halaman ini untuk menuliskan semuanya. Nama-nama para nabi juga punya artinya sendiri. Bahkan Sang Juruselamat Yesus, yang disebut juga Kristus (Mat1:16) “(Maria) akan melahirkan anak laki-laki dan (Yusuf) akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka... Imanuel" -- yang berarti: Allah menyertai kita (Mat1:21,23)" Kemudian ketika Yesus memberi nama baru kepada Simon: Petrus, sang batu karang (Mat16:18), juga arti nama murid-murid Yesus yang lain. Ketika Rasul besar, Saulus berubah menjadi Paulus (Kis13:9 The names mean "asked [of God]" and "little" respectively. It was customary to have a given name, in this case Saul (Hebrew, Jewish background), and a later name, in this case Paul (Roman, Hellenistic background). NIV Study Bible Notes).
Sekali lagi, terlalu banyak untuk diteruskan. Semua nama (orang bahkan tempat) dalam PL dan PB punya arti, dijelaskan tertulis ataupun tidak. Ada kisah, doa dan harapan di nama itu. Makanya makna nama seharusnyalah baik. Entah apapun dasarnya. Entah itu dari bahasa latin, bahasa asing, bahasa daerah, pasti punya makna baik. Atau bisa dengan mengambil nama tokoh besar (entah dari Alkitab atau tokoh dunia), atau tokoh sehari-hari, di lingkungan sendiri, nama teman lama, atau keluarga, semua yang baik-baik. Harapannya: semoga terus bertumbuh dan menjadi seperti nama yang diembannya.

Tapi saya juga setuju dengan ungkapan Shakespeare di atas. Apalah arti sebuah nama, kalau hanya sekedar nama. Toh, karakter kuat seseorang ataupun kharisma dan kenangannya tidaklah hanya ditentukan dari nama. Contoh Alkitab bisa kita lihat dari Daniel dan 3 temannya. Sekalipun diganti namanya, namun ketaatannya kepada Allah tidaklah berubah. Walaupun penggantian nama ini sebenarnya bukanlah hal sepele. Penggantian nama saat itu sebagai satu cara untuk ‘mencuci otak’ dan menjadikan mereka bagian yang utuh dari bangsa yang tidak mengenal Allah. Supaya diterima sebagai pegawai raja, Daniel dan kawan-kawannya memerlukan kewarganegaraan Babel; hal ini terlaksana dengan memberi mereka nama Babel. Bangsawan muda Daniel ("Allah adalah hakimku") dinamai Beltsazar ("Bel, [dewa tertinggi Babel], melindungi hidupnya"); Hananya ("Tuhan menunjukkan kasih karunia") dinamainya Sadrakh ("Hamba Aku," yaitu dewa bulan); Misael ("Siapa yang setara dengan Allah?") dinamainya Mesakh ("Bayangan pangeran" atau "Siapa ini?"); dan Azarya ("Tuhan menolong") dinamainya Abednego ("Hamba Nego," yaitu dewa hikmat atau bintang fajar). Sebagai penduduk Babel mereka kini mempunyai tanggung jawab resmi. Dan sekalipun memperoleh nama-nama baru, para pemuda Yahudi ini menetapkan bahwa mereka akan tetap setia kepada Allah yang esa dan benar, sekalipun diancam api yang menyala-nyala atau gua singa. Begitu namanya, belum tentu begitu orangnya. Misalnya ketika saya pelayanan ke Lembaga Pemasyarakatan/ Penjara, anda tahu nama-nama mereka? Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Paulus. Wah, wah... Saya merasa seperti berada di jemaat mula-mula :) Semua rasul ada di penjara. Tapi kali ini bukan karena Injil, melainkan narkoba. Apakah nama masih mencerminkan seseorang? Sepertinya tidak selalu. Saya juga mengetahui beberapa orang yang namanya: Derita, yang lain namanya Sedih (mereka ini orang Batak, dan saya memang bingung kenapa nama itu diberikan. Kalaupun untuk mengingat, karena kelahirannya bertepatan pula dengan kepergian anggota keluarga yang lain, mungkin ada alternatif nama lain, seperti Mangapul (artinya menghibur, atau Barnabas dalam Kis 4:36), atau kalau perempuan: Happy), namun dalam kesehariannya, mereka tidaklah sesedih namanya. Jadi baik atau buruk hidupmu, tidaklah selalu bergantung penuh dari namamu. Jangan terlalu bangga dengan nama yang bagus atau ‘hoki’, tunjukkanlah itu sebagai sebuah kebenaran. Nama itu sebuah harapan, jangan sampai harapan tinggallah harapan :) Jangan sedih ketika nama kita ‘mungkin tidak se-keren, tidak sehebat seperti yang kita harapkan kemudian’, hidupmu ada di dalam rencana Allah.
Beberapa 'nama rohani' yang belakangan sering 'diplesetin': Petrus: Penembak Misterius, Matius: Mati Misterius, Markus: Makelar Kasus, dan terakhir Lukas: Lupain Kasus. Hehe... Ada-ada aja...

Bagaimana dengan nama Allah? Allah itu kudus. Karena itu jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan. (Kel 20:7). Tapi, dengan sebutan hormat apapun kita memanggil-Nya: TUHAN, Tuhan, Allah, God, Lord, El, Elohim, Adonai, Yahweh, Jehovah, atau langsung menunjuk Pribadi-Nya: Bapa, Anak, Roh Kudus, Dia tetaplah Allah dengan ke-Maha-Kuasa-an-Nya, kasih-Nya, keperkasaan-Nya, dan karakter-karakter-Nya yang kekal itu, tidak pernah berubah!
Sekilas di ingatan saya, ada 3 momen di saat manusia mempertanyakan nama Allah: Kej32:29 Bertanyalah Yakub: "Katakanlah juga namamu." Tetapi sahutnya: "Mengapa engkau menanyakan namaku?" Lalu diberkatinyalah Yakub di situ. Kemudian cerita Musa di Kel3:13-15 “Lalu Musa berkata kepada Allah: "Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? -- apakah yang harus kujawab kepada mereka?" Firman Allah kepada Musa: "AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun”. Dan satu lagi dalam PB, saat Saulus bertanya (Kis9:5): "Siapakah Engkau, Tuhan?" Kata-Nya: "Akulah Yesus yang kauaniaya itu.”

Siapa namamu, kawan? Dan apa artinya?
Namaku, Kawas Rolant Tarigan. Kawas adalah (bahasa Karo) panggilan bagi setiap laki-laki yang bermarga Tarigan Sibero (hampir saja ada wacana namaku Agus, karena lahir bulan Agustus. Tapi bapak memutuskan: Kawas, supaya orang yang mengerti bisa langsung tahu ‘ciri’ nama ini). Rolant merupakan gabungan nama mamak dan bapak (Rol adalah 3 huruf pertama nama mamak, Ant adalah 3 huruf pertama nama bapak. Jadi aku adalah buah cinta mereka). Tarigan margaku.

Kamu?

Read More..

Aku tinggal di mess. Dulu mess ini bekas lahan kosong, penuh semak belukar dan tanah rawa. Sekarangpun tidak terlalu jauh berbeda dengan kondisinya dulu. Karena selain belum pernah direnovasi sejak dibangun, para penghuninya adalah orang-orang yang penuh kesibukan dan ‘hanya menumpang tidur’ di mess, ditambah lagi rumput cepat sekali bertumbuh di tanah kosong. Alhasil dari semuanya itu adalah: banyak banget nyamuknya. Dan bukan nyamuk biasa! Sepertinya mereka (nyamuk itu) sudah cukup tangguh, lihai, sulit sekali di-caplok dengan tangan.
Itulah kondisi yang kuhadapi tiap saat di mess. Entah waktu nonton TV, waktu membaca, waktu tidur, bahkan waktu nulis tulisan ini. Badan habis merah-merah, gatal, digigit nyamuk yang susah banget digampar. Seringkali membuat kesal, seakan semua usaha yang ku lakukan tanpa hasil. Pukul sana, pukul sini, hanya tepukan tangan yang terdengar. Bahkan terkadang yang rasanya sudah kena di tangan, eh tapi hasilnya tidak kelihatan. Sebel !!! Tapi............. diamlah sejenak, dan lihat 15-30 menit lagi, atau besok pagi, di sekitarku banyak bangkai-bangkai nyamuk, tanpa nyawa. Sudah mati. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Ada kok hasilnya. Aku aja yang sering gak sabar melihat hasilnya ‘pengen langsung kelihatan’.


Kejadian sederhana ini spontan membawaku pada perenungan dalam pekerjaan dan pelayanan. Seringkali sesudah aku merasa melakukan banyak hal, malah sering mengeluh karena tidak langsung melihat hasilnya, padahal kepingin, jadi yang dirasakan hanya capeknya saja. Padahal sesungguhnya belum tentu demikian. Siapa bilang TIDAK ada hasil? Mungkin memang BELUM ada hasil, tapi bukan berarti tidak ada, karena mungkin kita-nya tidak sabar. Atau jangan-jangan sebenarnya sudah ada hasil, tapi kita tidak mampu melihatnya karena ‘konsep’ berpikir kita tentang hasil yang ‘selalu spektakuler’.
Sudah setia mengerjakan hal kecil, rasanya langsung ingin lihat ‘dampak’nya, atau tidak sabar ingin hal besar. Sudah melayani, berkorban, namun kok belum ada pertumbuhan, kok belum ada orang lagi yang dihasilkan, kok belum ada pengaruh kepada orang lain... Ah, sudahlah. Jangan sampai ‘obsesi’ hasil membuat kita lupa mengerjakan bagian kita yang sesungguhnya: tetap setia lakukan yang terbaik, seperti yang Tuhan suruh. Nanti pada waktu dan kemampuan-Nya Allah, Dia akan tunjukkan hasilnya, entah kepada kita, atau kepada orang lain –ketika kita tidak punya kesempatan untuk melihat dan menikmati hasilnya. Tapi kerjakan saja. Toh pada akhirnya pujian dari Sang Tuan merupakan hal yang jauh melebihi segalanya, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat25:21,23).

Ingat, bagian yang kita lakukan adalah ‘memukul nyamuk’. Masakan kalau kita tidak melihat hasilnya (nyamuknya mati), kita berhenti melakukannya? Lakukan aja terus. “Pukul nyamuk”nya. Siapa tau “15-30 menit lagi atau besok pagi” kita lihat hasilnya (bangkainya) di sekitar kita. Tapi kalaupun tidak, setiap ada nyamuk lagi, pukul lagi. Karena itulah yang harus kita lakukan setiap ada nyamuk. Entah dia mati atau enggak. Plok! Plok!

Read More..


Banyak sekali hal yang harusnya kita syukuri. Tapi yang sering terjadi malah kita sulit bersyukur karena terlalu sibuk membanding-bandingkan berkat dengan orang lain. Jadinya lupa bersyukur untuk hal yang sebenarnya jauh lebih banyak dari itu.
Aku juga sering bergumul untuk hal itu. Cemburu, andai saja…, coba kalau…, kok bisa begini, kok bisa begitu, beruntung banget tuh orang, dll dst...
Aku cemburu dengan anak sarjana yang baru masuk dengan golongan dan gaji yang jauh lebih tinggi dari aku. Kalau orangnya memang handal sih gak papa. Tapi kalau dilihat, orang itu enggak unggul-unggul amat, malah banyak yang ‘lucky’, misalnya terbukti tidak capable secara ilmu, sikapnya juga pemalas padahal masih pegawai baru, dan tidak produktif. Masa orang seperti itu layak digaji dengan grade tinggi? Ada yang bilang bersyukurlah, was... kuliah udah gratis. Tapi aku pikir enggak juga. Masa karena kuliah gratis artinya nerima-nerima aja? Kalau gitu, mending aku lanjutin kuliahku S1 dulu, toh aku juga udah ketinggalan setahun. Gitu juga sebenarnya sama pegawai lama, atau kepala seksi yang malas. Rasanya gak adil banget orang-orang yang tidak produktif itu digaji mahal-mahal? Aku juga rasanya sulit menerima dengan ikhlas kalau anak S1 yang seumuranku yang baru diterima di Depkeu langsung golongan III/A dan jauh di atasku, padahal ilmu dan kinerja belum tentu jauh lebih baik. Aku juga kesal setiap kali disinggung entah di TV, atau percakapan sehari-hari tentang pekerjaanku di pajak. Sepertinya berdosa kali pekerjaanku ini. Perihal remunerasi. Banyak yang langsung sinis, ngapain digaji tinggi, padahal masih korupsi? Mau ku colok aja lubang hidung yang bilang kalimat itu. Yang gajinya tinggi itu seberapa sih? Kalau mau dibandingkan, gaji di pajak itu (apalagi untuk pegawai seperti grade-ku) gak ada apa-apanya dibanding pegawai instansi lain yang (padahal) tiap tahun merugi itu, atau perusahaan swasta yang lain, jangan langsung bandingkan ke bawah terus. Padahal pajak yang cari duit, instansi lain itu yang habiskan. Kalau remunerasi dicabut, benar-benarlah negeri ini negeri gila! Yang tidak bisa menghargai perjuangan orang benar. Kasihan orang-orang yang selama ini berjuang, bekerja jujur, harus menelan imbas kesejahteraannya terancam akibat ulah orang-orang yang kurang ajar. Padahal pajak memulai reformasi, termasuk dalam hal kesejahteraan pegawai. Harapannya nanti ,semua pegawai, entah itu negeri, swasta, guru, aparat penegak hukum, bahkan buruh, apapun, harus digaji layak, tinggi, namun harus berbanding lurus dengan produktivitas kerjanya (kecuali dalam kondisi kesehatannya) dan integritas kerjanya. Ketika tidak produktif, tidak jujur, langsung kasi punishment, entah itu tidak digaji atau dipecat atau dipenjarakan. Apa nunggu bersih total dulu suatu instansi baru layak digaji tinggi? Kalau begitu, DPR gak akan pernah mendapat gaji tinggi. Aku kesal melihat orang curang tidak kena jerat. Aku kesal melihat orang malas bertambah malas karena tidak pernah mendapat sanksi. Pinter goblok rajin malas gaji sama, bahkan lebih tinggi yang goblok malas. Aku kesal melihat orang kaya bertambah kaya karena ketidak jujurannya. Aku kesal melihat anak yang dengan gampangnya beli handphone, motor, mobil, padahal tidak berjuang apa-apa, hanya karena bapaknya adalah orang kaya, dan dia kecipratan jadi anak orang kaya, gak usah susah cari kerja, tinggal kawin aja gampang. Itupun sebelum kawin udah tersedia rumahnya lengkap dengan isinya, kulkasnya pun dengan isinya, mobilnya, tinggal nempatin doang. Ckckck... Ada juga anak yang udah sekolahnya mahal, gak serius pula belajar. Aku juga kesal melihat anak yang terlalu dihargai berlebihan, masuk kuliah dibeliin mobil, kalau nilai baik liburan ke luar negeri. Aku kesal melihat orang yang sering merendahkan orang berintegritas, sebagai orang sok suci, sok jujur. Pengennya orang-orang itu dilemparkan aja ke penjara yang paling suram dimana ada ratap tangis dan kertak gigi, kalau mereka tidak segera menyadari kesesatannya. Ah, banyak kali yang ku kesalkan. Tapi untuk apa kulanjutkan?
JAUH LEBIH BANYAK HAL YANG HARUS AKU SYUKURI. JAUH LEBIH BANYAK BERKAT TUHAN YANG TELAH TERSEDIA DAN TELAH TERCURAH, YANG TIDAK SELALU BISA DIUKUR DARI MATERI. Terima kasih Tuhan buat jantung yang masih berdetak, buat nafas kehidupan, buat bangun pagi, buat tidur nyenyak, buat doa-doa yang kupanjatkan dan dipanjatkan untukku, buat bapak, mamak, kakak, abang, keluarga yang lain, buat sahabat-sahabat di KTB, rekan pelayanan, teman-teman, buat Misni yang selalu memberi penguatan, buat senyuman yang masih melengkung di bibir, buat kesempatan untuk memberi, buat kesempatan untuk melayani, buat kesempatan untuk bekerja, buat matahari, bulan, bintang, udara, buat air putih yang ku minum dan makanan yang ku makan tadi pagi, siang ini, malam nanti..... ah banyaklah..... terima kasih Tuhan buat semua hal dalam hidupku, buat cinta dan kasih, buat suka duka yang Tuhan pakai untuk kebaikanku, terlebih buat anugerah hidup kekal, sungguh tak ternilai dan tak tergantikan. Tidak pernah habis untuk menuliskan semua berkatmu dalam hidupku. Ketika aku mencoba menghitungnya, aku tak akan menemukan jawabannya. Lagu riang ini justru sempat membuatku menangis. Perhatikan kata per katanya secara lengkap:

Bila topan k’ras melanda hidupmu, bila putus asa dan letih lesu
Berkat Tuhan satu-satu hitunglah, kau niscaya kagum oleh kasih-Nya
Berkat Tuhan mari hitunglah, kau kan kagum oleh kasih-Nya
Berkat Tuhan mari hitunglah, kau niscaya kagum oleh kasih-Nya

Adakah beban membuat kau penat, salib yang kau pikul menekan berat?
Hitunglah berkat-Nya pasti kau lega, dan bernyanyi t’rus penuh bahagia

Bila kau memandang harta orang lain, ingat janji Kristus yang lebih permai
Hitunglah berkat yang tidak terbeli, milikmu di sorga tiada terperi

Dalam pergumulanmu di dunia, janganlah kuatir, Tuhan adalah!
Hitunglah berkat sepanjang hidupmu, yakinlah,malaikat menyertaimu!

“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.“ (1Tes5:18)

Read More..


Saya tidak setuju dengan judul ini. Saya juga merasa judul ini adalah pernyataan yang salah. Tapi kenapa saya tulis judulnya begitu? Karena saya juga mikir jangan sampai begitu, atau bisa juga supaya anda ingin tahu dan baca tulisan saya.
Saya cuma terpikir sekilas tentang judul ini ketika melihat berita di TV (yang sama sekali bukan tentang gereja), ada orang-orang pintar, berbakat, unggul, tapi tidak dihargai di negeri ini, malah dikesampingkan, padahal dunia mengakui keunggulan dan kehebatan orang ini, dan ingin memakai tenaganya untuk kemajuan dunia. Akhirnya ketika diberi kesempatan, dia terima tawaran itu. Muncullah pertanyaan yang sulit dijawab pasti, malah lebih banyak dari mereka yang selama ini tidak menghargai: “Kenapa meninggalkan Indonesia? Apa gak sayang sama Indonesia? Katanya ingin membangun Indonesia?”. Entah apa jawaban sebenarnya dari persoalan itu. Secara netral pasti penuh pergumulan: ingin tinggal dan berkarya di negeri ini tapi tidak dihargai; mengambil kesempatan yang ada untuk berkarya bagi dunia malah harus meninggalkan Indonesia?

Aku terpikir. Jangan-jangan kejadian ini identik dengan yang terjadi di gereja (church) dan lembaga pelayanan sebagai perpanjangan tangan gereja (parachurch).Ada orang yang terlibat aktif dan bertumbuh dari parachurch, entah itu lembaga pelayanan siswa/ mahasiswa/ alumni/ kaum profesional, pelayanan medis, tim misi, pelayanan kaum marjinal. Banyak jiwa yang telah menikmati hasil pelayanan dan pengabdian mereka. Tetapi ketika balik ke gereja untuk membangun gerejanya menjadi komunitas yang sehat dan bertumbuh, malah sering tidak dihargai. Dianggap membawa pembaruan yang aneh, atau tidak se-visi, atau apalah. Memang dituntut kerendahan hati untuk pelayanan ini. Namun tantangan ini seharusnya bukan menjadi alasan untuk setiap orang yang telah menikmati banyak pembinaan dari parachurch untuk tidak kembali membangun dan memperbaiki church. Kembalilah, dan bangun church kita yang dulu, biar orang juga bisa menikmati pertumbuhan yang kita nikmati. Banyak orang memang akhirnya hanya sekedar simpatisan dan pendoa bagi church-nya, karena malah lebih bisa menjadi berkat di parachurch. Ini harus menjadi perhatian penting, butuh pergumulan yang sungguh, supaya kita tidak melayani asal melayani, tetapi pelayanan yang berkenan kepada Allah, dimana Dia ingin kita melayani dan apa yang harus kita kerjakan, sekalipun itu sulit.
Jangan sampai gereja Tuhan hanya sebatas bentuk organisasi dan lembaga-lembaga yang terkotak-kotak dan men-cap pelayanan masing-masing. Gedungnya saja yang semakin tinggi dan megah, namun kehadirannya tidak dirasakan oleh siapapun. Seharusnya church dan parachurch bergandengan tangan, kerja sama-sama. Bukankah kita melayani Allah yang sama? “Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri.Karena (kita) adalah kawan sekerja Allah; (jemaat) adalah ladang Allah, bangunan Allah”. (1Kor3:7-10).
Kalau kita bisa bergandengan tangan mengerjakan visi Allah bersama-sama, pasti akan menjadi kesaksian bagi dunia sekitar kita. Mereka akan merasakan dampak kehadiran gereja Tuhan di tengah-tengah mereka, yang bukan sebatas lembaga, tetapi perwujud-hadiran Allah di tengah dunia. Dan itu akan membawa pengaruh bagi masyarakat sekitar, bagi kota, bagi bangsa, negara atau bahkan dunia.

Read More..

Bulan ini banyak kejutan kecil. 2 April itu Jumat Agung dan tanggal 4 Paskah. Di 4 hari gak kerja di akhir minggu itu, aku ikut jalan-jalan ama keluarga ke Puncak, Bogor. Eh, ternyata, tanggal 4-nya, pas ibadah di rumah, disuruh tante untuk bawa renungan Firman. Kaget, senang dan takut. Kaget karena baru dibilang berapa jam sebelumnya. Senang, karena merasa dianggap, kapan pula ‘anak muda’ bawa firman kepada orangtua dan anak-anak, lagian mereka ingin mendengar firman dari ‘anak persekutuan’ katanya. Senang juga karena ini kesempatan yang entah kapan lagi akan datang untuk memberitakan Injil, bahwa kita manusia berdosa, masalah utama kita adalah dosa, solusi kita adalah keselamatan, makanya Allah datangkan Juruselamat, Yesus mati disalibkan sebagai ganti penghukuman atas kita, dan bangkit sebagai bukti kemenangannya atas maut, sebagai dasar pengharapan kita untuk setia mengikut Dia, karena Dia Allah yang menang. Masalahnya, maukah engkau buka hati dan menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi? (kaget,senang) dan terakhir, jujur aja ada rasa takut karena harus menyampaikan Injil ini dengan persiapan yang terbatas.
Dalam liburan itu juga kami berjalan-jalan ke Taman Bunga Nasional dan Kota Bunga. Di taman bunga, kita memang disuguhkan pemandangan yang sangat indah dengan bunga-bunga bermekaran, dan udara yang sejuk. Suasana ini memang cocok untuk refreshing dan sejenak membuat lupa akan masalah-masalah yang lain. Namun pulang dari sana, kembali lagi ke dunia kita, mungkin tetap menghadapi masalah yang sama, namun dengan pikiran yang lebih jernih dan tenang. Ada kebenaran teologis di sini, bahwa hidup tak selamanya seindah kebun bunga, kawan. Jangan terlena. Kita harus sadar bahwa kehidupan nyata juga terdapat lembah kekelaman. Namun kita bisa melewatinya bersama dengan Allah, baik dalam kebun bunga maupun lembah.
Di Kota Bunga, aku melihat begitu banyak rumah mewah dengan fasilitas lingkungan dan sarana rekreasi yang lengkap. Hampir semua rumah sudah laku, berisi perabot lengkap tapi kosong, dan mobil berparkiran dimana-mana. Mobil mana? 90% plat Jakarta. Artinya mayoritas pemilik rumah di situ adalah penduduk Jakarta, yang artinya punya rumah juga di Jakarta, dan hanya ke sini kalau liburan. Pantaslah wilayah hijau di Puncak semakin sempit. Gaya hidup orang semakin hedonis, yang penting punya rumah, entah siapa dan kapan ditempati. Sempat kepikiran, kalaulah semua orang kaya itu menjual ‘aset’ mereka yang di Kota Bunga itu, aku pikir bisa menutupi (bahkan mungkin melunasi) banyak utang Indonesia atau perbaikan taraf hidup masyarakat…
Tanggal 10, Paskah Perkantas, dan aku juga terkejut, karena seminggu sebelumnya diminta untuk jadi pendoa syafaat. Ini tugas berat bagiku, karena jujur aja, udah beberapa waktu aku tidak berdoa secara spesifik bagi bangsa yang sedang amburadul ini. Diminta untuk mendoakan kondisi bangsa. Aku pikir dalam hati, apa karena kasus pajak lagi marak-maraknya terungkap, makanya aku dipilih jadi pendoa syafaat? Hahaha...
Tanggal 17 kami KTB’05, membahas kitab Yunus, sang Nabi yang lari dari panggilan. Dan berefleksi, bagaimana kasih kami terhadap bangsa yang sangat butuh pertolongan Allah ini, seberapa rindu kami berdoa agar Indonesia yang berpenduduk 275 juta ini bertobat, dan adakah selama ini sikap kami yang mengindikasikan ‘lari’ dari panggilan awal?
Tanggal 20, ulang tahun PMK STAN yang ke 31. Allah yang setia yang terus memelihara persekutuan dan pertumbuhan di PMK STAN, menghasilkan satu demi satu alumni yang menjadi berkat bagi bangsa ini khususnya di Kementerian Keuangan. Aku berdoa, dalam pasang surut perjalanan PMK STAN, kiranya ada orang-orang yang tetap setia mengerjakan panggilannya di kampus, dalam studinya dan pekerjaan nantinya. Pekerjaan Allah tidak akan terhenti.
Selebihnya, selama bulan April juga, aku mengerjakan pelayanan di tim doa Paskah Bona Pasogit. Perayaan Paskah khususnya bagi orang Batak di Jabodetabek, sekitar 10.000 jemaat. Sesungguhnya kemenangan rohani dalam kebaktian penginjilan ini adalah di dalam doa, karena itulah ada tim doa. Terus berdoa bukan hanya bagi persiapan acara, tapi juga jemaat, biar Tuhan tanamkan kerinduan untuk datang apapun cuaca dan kondisinya, Tuhan buka hatinya, sehingga pada hari H ketika Firman Tuhan disampaikan, Roh Allah bekerja secara leluasa dalam hati setiap orang. Itulah yang kami doakan. Di situ jugalah kami beriman, Injil itu adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya, dan betapa Allah sangat mengasihi satu jiwa yang datang kepadanya, termasuk orang Batak, dari kondektur sampai direktur. Horas!

Read More..

Regards,

Kawas Rolant Tarigan




Yang rajin baca:

Posting Terbaru

Komentar Terbaru

Join Now

-KFC- Kawas Friends Club on
Click on Photo